Faisal dan Ibu

Nama saya Faisal Arqam, anak ayah yang paling tua, anak kesayangan ibu.
Cerita ini tentang saya dan ibu saya sewaktu saya masih kecil, kira-kira ketika umur saya lima tahun; berjudul saya dan sebiji anggur milik ibu.

Waktu itu, sore selepas sholat ashar, ibu memanggil kami, "Arqam. Humaira." Dari ruang tengah, saya dan adik-adik saya yang lain bergegas menghampiri ibu di dapur. Saya bisa melihat kesibukan beliau lewat pintu samping; ibu sedang mengupas kuah semangka, yang besarnya sebesar bola sepak.
"Ayo duduk. Ibu akan siapkan ini dulu."

Saya menyuruh adik-adik saya untuk duduk melingkar diatas meja bundar, dengan kaki di sila. Kami menunggu sambil bicara banyak hal; tentang mengapa adik saya yang bernama Fahri terlambat ketika datang ke sekolah hari ini, tentang adik saya yang lain, Atikah, selalu maju ke depan untuk mengerjakan soal-soal matematika, tentang Fazza; adik saya yang selalu senang ketika belajar ilmu pengetahuan alam. Dan banyak hal, kami bercengkrama hingga ibu juga ikut tertawa.
Tiba-tiba, adik saya yang paling kecil; Afifah, berdiri dan langsung berjalan ke arah kulkas, dia membuka pintu frezzer dan berseru gembira. Saya masih sempat mendengar dia berteriak sampai sebelumnya saya dan adik-adik saya yang lain juga ikut bergerombol di depan pintu freezer. "Ibu masih simpan anggurnya, ya. Afifah minta satu ya, bu." pinta adik saya yang bernama Afifah, dan ibu mengangguk setuju.

Setelah itu Afifah kembali duduk di depan meja bundar, saya lihat masih tersisa empat biji anggur merah di toples kecil di dalam freezer. Adik saya Aisyah mengambilnya terlebih dulu, kemudian Atikah, lalu disusul oleh Fazza. Dan akhirnya hanya terisisa satu, saya pun bergegas mengambilnya. Sebelum sempat saya memasukkan anggur itu ke dalam mulut, Ibu menghampiri saya. Beliau menatap saya dengan tatapan yang tidak bisa saya artikan. Di depan saya, adik saya yang lain, Fahri masih berdiri, dia menatap saya. Saat itu saya langsung bingung. "Mengapa ibu menatap saya demikian?"

Tanpa bicara, tanpa memikirkan banyak hal, saya kemudian memberikan satu biji anggur merah itu kepada Fahri. "Terimakasih. Saya akan memberi satu kilogram anggur dengan warna yang sama saat saya memecahkan tabungan saya nanti." ucapnya, dan saya hanya terdiam. Fahri kemudian kembali duduk bersama adik-adik saya yang lain di meja bundar.

Saya kemudian menatap ibu sata, saya dapati sebuah senyum di kedua sudut bibirnya, rasanya damai sekali melihat beliau seperti itu.

"Saya akan makan semangka saja." ucap saya. Ibu kemudian mengangguk.

"Terimakasih. Sudah menjadi anak Ibu yang baik." ucap beliau.

Sampai sekarang, saya masih sering teringat peristiwa itu. Nampak sederhana, tapi benar-benar melekat dalam pribadi saya, bahwa seorang kakak tertua, saat dia masih kecil sekalipun, dia harus bersikap seperti layaknya seorang "tertua"

Bukan berarti seorang kakak harus terus mengalah, tapi saya menyadari bahwa ibu saya senang jika saya menunjukkan kasih sayang yang saya miliki kepada adik-adik saya. Saya senang melihat ibu saya senang, bagi saya melihat beliau tersenyum dengan begitu damai adalah sesuatu yang tak pernah bisa saya tukar dengan apapun, takkan pernah bisa saya beli dengan apapun. Oleh karena itulah, saya selalu mengalah kepada adik-adik saya, bukan karena adanya statement bahwa yang lebih tua harus mengalah, bukan, bukan karena itu. Tapi, mengalah kepada adik-adik saya adalah salah satu hal yang bisa membuat ibu saya tersenyum, dan saya melakukannya dengan tulus, tanpa meminta balasan apapun dari adik-adik saya, karena cukup demikian, saya sudah merasa cukup dengan adanya ibu saya di dekat saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020