Kacamata Hukuman Mati
Milik
Eksekutor
Jilid I
Pertentangan hati nurani dan sifat
dasar sebagai seorang manusia
dengan sumpah seorang prajurit dan
tugas negara.
I think that Governor’s phone is
broken. He hasn’t called yet.
-David Matthew
“Menarik pelatuk itu mudah, tapi yang lebih sulit adalah
membiarkan peluru dari pelatuk yang kita tarik menyentuh korban, tepat dan
langsung.”
Prosedur Hukuman Mati terdiri atas tujuh tahapan (cr :
tribunnews and google connection). Yakni :
1.
Menentukan
tempat eksekusi, di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Cilacap,
Jawa Tengah.
2.
Menentukan
waktu eksekusi, dilaksanakan 3x 24 jam setelah korban hukuman mati menerima
informasi mengenai jatuhan hukuman yang diberikan kepadanya.
3.
Menentukan
mereka yang berhak hadir dalam pelaksanaan eksekusi, terdiri atas kelurga
dekat, pejabat kepolisian, rohaniawan, dan dokter.
4.
Menentukan
tim penembak, consist of Brigade Mobil (Brimob) Unit, that filled by 1 Bintara,
12 Tantama, dan 1 Perwira.
5.
Persiapan
Pelaksanaan, di dalam hutan yang remang/kurang pencahayaan (mendekati gelap). Dengan
jarak tembak minimal lima meter, dan maksimal 10 meter.
6.
Pelaksanaan
eksekusi, diarahkan ke jantung.
7.
Pasca
pelaksanaan eksekusi, membuat berita acara.
Terlepas dari semua pro-kontra kasus Hukuman Mati yang
akhirnya menjadi legal di tanah air, ada satu cerita yang ingin sekali saya
dengar dari seorang narasumber yang saya rasa memiliki jutaan kecamuk yang
menghantui mentalnya, eksekutor hukuman mati. Sebelumnya saya menolak
mentah-mentah keputusan negara untuk menjatuhi hukuman mati kepada 4 pengedar
narkoba dengan alasan yang menurut saya cukup untuk menjadi pertimbangan ulang
kepada majelis hakim dan instansi yang terkait di dalamnya.
Kendati demikian, sebagi seorang warga negara indonesia, saya
tak bisa berbuat banyak selain hanya meluapkan apa yang saya rasakan melalui
tulisan ini. Selain tak punya kekuasaan untuk bicara, juga tak ada tempat bagi
saya untuk meminta negara agar kembali memikirkan keputusan itu sampai ribuan
kali, karena hakikatnya saya bukan seorang negarawan, bukan seorang politisi,
bukan pula seorang penasehat negara yang bisa menjelaskan setiap dampak dari
kebijakan yang diambil. Oleh karena itu, sebagai seorang warga negara, saya
mencoba untuk menerima dan memaklumi setiap keputusan maupun segala bentuk
kebijakan yang diterapkan di negara ini.
Alih-alih bicara mengenai ketidakadaannya kekuasaan yang saya
miliki di negara ini, pernahkah terbayang di pikiran kita semua, andai saja,
suatu ketika seorang kepala negara menemui kalian, kemudian memberikan sebuah senapan
M16s dengan perintah agar kalian menembak mati seorang pengedar narkoba tepat
di jantungnya. Tapi, kalian menolak, mati-matian kita berusaha agar kalian
tidak melakukan tindakan tersebut. Hingga akhirnya membuat kepala negara
berjalan menghampiri kalian dengan ajudan di kedua sisinya, seraya berkata, “Inikah janjimu sebagai seorang prajurit?”
Andai saja, saya terlahir untuk menjadi seorang jurnalis, ada
dua narasumber yang begitu ingin saya jumpai. Mereka adalah dokter yang membuat
visum (mengotopsi) jenazah para korban G30S/PKI, dan para eksekutor yang
terlibat dalam proses eksekusi mati. Kepada dokter, saya ingin bertanya, apakah
dokumen-dokumen yang berdebu itu memang benar adanya? Mengapa penyiksaan yang
terjadi pada para korban tidak pernah diketahui oleh publik? Mana yang benar,
antara komentar orang-orang di sekitar waktu itu atau hasil visum yang belum
juga terungkap isinya?
Terlepas dari itu semua, untuk sekarang ini, saya benar-benar
ingin bertemu dengan para eksekutor. Meski bukan sebagai jurnalis, biarkan saya
mendengar cerita mereka sebagai seorang biasa, saya ingin mendengar secara
langsung, bagaimana perasaan mereka sebelum ataupun sesudah perintah itu
ditujukan kepada mereka.
Saya ingin bertanya kepada mereka, bagaimana rasanya melihat
sebuah lingkaran dengan diameter sepanjang 10 cm mengisi kegelapan tepat di
jantung seorang manusia yang bersalah di mata negara dan tak berdaya ketika di
ikat di tiang eksekusi? Saya ingin bertanya kepada mereka, bagaimana rasanya
mereka melihat wajah manusia yang bersalah itu di saat eksekusi akan
dilaksanakan dalam hitungan detik, sementara mereka sendiri pernah melihatnya
dari dekat, dari saat dia masih hidup, bicara, hingga mereka dinyatakan sudah
tak bernyawa? Saya juga ingin bertanya kepada mereka, berapa banyak selang
waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut? Apakah lima menit? Sepuluh
menit? Atau lebih dari itu? Sayapun ingin bertanya kepada mereka, apakah mereka
tau senjata macam apa M16s tersebut? Apa perbedaan efek yang ditimbulkan
olehnya ketika pelatuk ditarik dari jarak lima meter? Sepuluh meter? Atau tanpa
jarak sekalipun?
Saya ingin sekali melihat ekspresi mereka ketika melakukan
itu semua? Andai kesempatan datang kepada saya, untuk melihat prosesi eksekusi
mati, saya hanya akan terfokus kepada para eksekutor itu. Karena ini bukan
masalah tugas semata, ini bukan masalah janji seorang prajurit semata, ini
masalah hati nurani dan sifat dasar seorang manusia. Saya pikir, tak ada ilmu
khusus yang mengajarkan mengenai sifat dasar seorang manusia; lapar, haus,
kesal, marah, lelah, iba, dan tak tega. Dan saya yakin, para eksekutor itu
memiliki dua sifat terakhir yang saya sebutkan tadi, terlepas atas dasar apa
dia melakukan tindakan tersebut, khususnya untuk di negara kita. Bagaimana mungkin
bisa mereka melakukan itu semua? Terlebih lagi ketika korban eksekusi mati itu
memilih untuk duduk dengan tetap membuka kedua matanya.
Jika saja saya memiliki kesempatan demikian, saya benar-benar
ingin mendengar mereka, melihat mereka, dan menjadi saksi bahwa tugas mereka adalah
tugas yang lebih berat daripada hanya sekedar menjaga pulau atau perbatasan
negara. Tugas ini; yang bermuara pada hati nurani dan kondisi psikologi
seorang eksekutor mati, adalah tugas yang tak pernah bisa kita sentuh dengan
hukum manapun. Rasa iba, dan tak tega lagi-lagi adalah sifat dasar manusia yang
tak mengenal batas.
Komentar
Posting Komentar