Sudut Pandang Apresiasi

Dokumen Penulis
(maafkan copyright ini tidak nyambung dengan tulisan)


Hallo, semua. Postingan di awal bulan Juli, dengan semua scene yang sedikit banyaknya bakal gue kupas tuntas. Dan postingan kali ini bertemakan apresiasi.

Well, jadi sekitar semingguan yang lalu, gue bikin satu video sederhana hasil main tangan gue sama salah satu apliksi edit video, filmora, yang mana video dari aplikasi itu gue combine dengan monolog enyeh-enyeh, dan beberapa vocabulary yang mendeskripsikan tentang Kota Banjarmasin. Awal mulanya, sih gue bikin itu dengan niat untuk memberikan warning sama temen-temen gue yang kuliah di luar Banjarmasin, kalo sebenarnya mereka akan selalu punya cara buat balik ke BJM. Terserah dengan cara apapun itu, terlepas pada alasan apa aja, yang pasti video itu jadi reminder buat mereka yang ngerasa kangen banget sama Banjarmasin, mereka yang udah pernah bikin kenangan di sini, pernah tinggal di sini, sempat nyicipin gimana suasana kotanya, makanan tradisionalnya, terus gimana cara orang banjar ngomong dengan bahasa yang menurut gue; bakal sangat lo rindukan ketika lo pergi jauh.

Nah, karena gue juga punya sosmed, akhirnya video itu gue upload ke akun instagram. Dan Alhamdulillah, gue dapat respon positif dan orang-orang pada suka. Gue juga nggak nyangka, kalo ternyata gue bisa menyuarakan karya gue dengan cara yang sesederhana itu. Dan menurut gue, sekecil apapun bentuk kesenangan orang terhadap video monolog yang udah gue bikin, gue merasa sangat tersanjung. Gue sangat bersyukur kalo ternyata content dan apa yang udah gue create ternyata bisa diapresiasi dengan baik sama orang lain. Sampai-sampai, Bapak Ibnu Sina juga sempat ngasih love di video itu (gue nyombong, dikit wkwkkwk). Wow. Gue sampai takjub sendiri, ternyata respon yang gue terima sangat luar biasa.

Bicara masalah apresiasi, gue pengen sedikit mengulas piala dunia tahun ini. Di mana jagoan gue, Jerman, harus angkat koper duluan dan nggak masuk enam belas besar. Gue kaget banget, serius. Gue sampe mikir, kok bisa gitu. Padahal kalo mau diitung-itung, gelandang di Jerman udah super banget, Sami Khedira menurut gue udah sangat sangat luar biasa banget. Dan kekalahan Jerman dari Korsel waktu itu bukan berarti permasalahannya terletak pada qualitynya, tapi lebih ke arah strateginya, lebih ke arah the way they played, gitu. Bukan hanya sampai di situ, pemain yang emang punya kualitas buat (setidaknya) tampil di babak perempart final, nggak bisa lanjut performance mereka karena kualitas yang mereka punya terhalang/terblocked sama keadaan. Satu hal yang gue pelajarin dari bola adalah, kekalahan lo, bukan berarti karena kualitas lo buruk. Ketidakcakapan lo pada suatu hal atau suatu bidang tertentu, bukan berarti karena lo emang bodoh atau apalah namanya. Argentina nggak lolos delapan besar bukan berarti Argentina buruk, bukan berarti juga Spanyol yang kalah adu penalty bisa kita bilang sebagai tim yang biasa-biasa aja. Kita nggak bisa memberika judgement terhadap mereka hanya karena mereka gagal.

Dan setelah gue pikir-pikir, hidup gue sebagai mahasiswi sama banget kayak orang main bola. Nggak peduli skill lo sehebat apa, orang-orang nggak butuh skill itu. Mereka yang nonton cuman butuh gol. Terserah elo mau nyetak gol pake cara apa, mau patahin tungkai kaki lawan lo dulu, kek, atau mau nyengol sana-sini, terserah. Selama menurut wasit itu bukan pelanggaran, there’s no probs. Yang penting lo bisa nyetak gol, dan tim lo lolos ke babak selanjutnya. Dan sejauh ini nggak ada penilaian dari wasit atau asosiasi terkait yang bakal ngasih nilai dari keadaan di mana skor awal tim lo 0, terus karena lo mainnya bagus, skor tim lo naik jadi setengah.

Sama tuh kayak mahasiswa/i, dosen lo cuman butuh nilai UTS sama nilai UAS lo. Terserah lo mau dapetin dengan cara apa, selama itu tidak menimbulkan kecurigaan atau kesalahpahaman di benak dosen lo, lo bebas mau pake cara apa aja. Mau nyontek sana, kek, nyontek sini, kek, nanya soal ke kelas sebelah kek, atau apapun itu, there’s no probs. Yang penting nilai UTS lo oke, dan nilai UAS lo juga bagus. Dan sejauh ini selama gue kuliah, sangat kecil sekali peluang di mana dengan sikap rajin lo, maka akan membantu nilai akhir  lo, sejauh ini itu nggak ada. Yaaa, gue mikir kayak, percuma dong. Lo misalnya belajar keras, latihan ngerjain soal, terus lo ngerjain ujian dengan jujur dan itu sama sekali nggak dihargai, kayak nggak ada nilainya gitu. Nggak ada apresiasinya sama sekali. Sementara rekan sesama mahasiswa yang cuman duduk, terus kalo ada tugas ikut nyalin nama atau hasil kerjaan lo, dan kalo mau ujian minjam catatan lo buat di copy, ternyata bisa dapet nilai akhir yang jauh lebih tinggi di atas lo.

WOW

Gue termenung selama beberapa saat (lebay) ketika gue menelaah hal itu. Gue sadar, mau di manapun kita berada, di level berapapun itu, kita pasti bakal nemuin kondisi yang sama. Akan ada populasi rakyat penguasa, komunitas pribumi jelata, kalangan yang cuman mau enaknya aja. Yang gitu-gitu menurut gue udah lumrah. Dan gue juga udah capek ngebahas tentang perilaku manusia yang bersikap di luar batas normal seorang mahasiswa jurusan keguruan, at least gue udah pernah ngebahas itu di postingan-postingan gue yang kemarin.

Makin ke sini, gue makin apayah… bisa dibilang gue makin berdamai dengan semua itu. Seberapun kerasnya usaha gue buat bikin mereka aware bahwa tindakan kecurangan itu nggak berfaedah, tetap aja mereka kayak gitu. Dan pada akhirnya, finally, sekarang gue berusaha untuk memaafkan diri gue sendiri aja. Gue yang nggak bisa dapet nilai bagus, yang nggak bisa deket banget sama dosen, nggak bisa kayak yang lain, deh pokoknya. Gue mencoba untuk bersyukur sama kemampuan yang ada dalam diri gue. Gue berupaya agar tidak menyalahkan diri gue terus atas semua yang gue alamin.

Gue terlalu mengekang diri gue, sih. Gue memporsir abundant free time gue, membatasi hal-hal yang sebenarnya bisa gue lakuin di sela-sela kesibukan gue jadi mahasiswi. Dan sekarang gue sangat menyayangkan hal itu. Teman gue yang masih bisa jalan-jalan, nongki-nongki, nyante banget kuliah, nggak taunya bisa dapetin nilai yang sangat bagus.

Meskipun pada akhirnya, gue yakin, kalian yang ngalamin hal yang sama kayak gue, akan sangat sulit menerima kenyataan di mana usaha maksimal yang udah lo lakuin, pada akhirnya tidak membuahkan hasil. Berat banget, serius. Ditambah kalo misal pertanggungjawabannya itu udah bahas ke orang tua. Itu sensitive, banget. Dan gue rasa, setiap dari kita punya tanggung jawab yang sama ke orang tua kita, cuman sayangnya ingredient buat pertanggungjawaban itu terkadang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Di satu sisi, gue yang tadinya menyalahkan diri gue sendiri, sekarang gue mencoba untuk get up dan menerima semuanya. Karena gue percaya, bahwa ketika gue sudah melalukan yang terbaik, maka gue nggak akan pernah menyesal tentang apapun yang gue terima di hidup gue. Dan kini, gue pengen membuka diri gue ke ranah yang lebih luas. Gue pengen belajar buat jadi diri gue di masa depan, gue mencoba untuk kembali menumbuhkan ketertarikan gue sama dunia tulisan, kegemaran gue di bidang pendidikan, dan gue harap dengan langkah itu gue bisa lebih santay dan bisa menikmati semua proses yang gue alamin.

Satu hal yang pengen gue tekankan di tulisan gue kali ini, bahwa seberapun hasil yang kita terima, selama kita udah berupaya melakukan yang terbaik, maka itu nggak bakal pernah berniali sia-sia. Biarkanlah mereka yang memandang lo dengan asumsi mereka masing-masing, lo nggak perlu memusingkan hal itu. Sekalipun lo emang berhak nerima sebuah apresiasi, yang harus lo tau bahwa lo hanya berhak nerima sebuah apresiasi dari hasil kerja keras lo sendiri. Itu yang pasti.

Komentar

  1. 21.54 masih hangat...
    pembaca yg ke berapakah akuuu? wkwkwk
    double thumb up btw fau 😁👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Btw makasih sudah berkunjung hahahaha.
      Tau ay aku, pas ku share, kam langsung baca pakai metode membaca cepat bisa nih

      Hapus
  2. Mungkin kalimat yg tepat untuk keadaan sekarang adalah kejujuran lebih berharga di bandingkan harta
    Menurut asumsi ku, karena sekarang orang jujur lebih sulit di temukan drpd orang yg banyak hartanya (orang kaya)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya bener, sih. Sekarang sikap orang-orang dan termasuk aku sendiri jua rentan lepas kendali dari yang seharusnya. Cuman sedemikian daya upaya diusahakan supaya tetap bener aja. Btw, thanks sudah membaca dan meninggalkan opininya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020