Menikah

Antique gue


Hallo semuanya, selamat datang di postingan receh gue di Bulan Agustus kali ini. Btw, gue sebenarnya mau ngeshare tentang event Asian Games 2018, cuman gue pikir akan lebih baik kalo gue tungguin dulu eventnya dimulai sampai nanti selesai, baru deh gue bisa memberikan secercah- duacercah kata dari sudut pandang gue terhadap penyelenggaran event itu.

Jadi, sekarang gue mau ngeshare tentang topik yang kayaknya rame banget di bahan diskusi anak umur 20 tahunan, yaitu menikah. Sebelumnya gue sempet nanya-nanya sama grup medsos setiap jenjang pendidikan yang gue punya seputar menikah itu kayak gimana, tapi sayangnya para kaum adam banyak yang tidak ikut berkomentar. Dan, ohhhh iya, gue juga sempet ngebhas topic ini di postingan gue yang kemarin-kemarin meskipun tidak menyeluruh. Makanya, sekarang gue bikin segmen yang ngebahas menikah secara lebih runtut dan terperinci.

Oke, dari Cambridge Dictionary marriage is a legally accepted relationship between a woman and a man in which they live as husband and wife. Kalo dari situs psikologi yang familiar di orang-orang bilang marriage is the process by which two people make their relationship public, official, and permanent. It is the joining of two people in a bond that putatively lasts until death, but in practice is increasingly cut short by divorce. Over the course of a relationship that can last as many as seven or eight decades, a lot happens. Personalities change, bodies age, and romantic love waxes and wanes. And no marriage is free of conflict. What enables a couple to endure is how they handle that conflict. Terlepas pada definisi seperti apapun, intinya menikah adalah sebuah ikatan antara cowo sama cewe yang legal dan sah di mata agama yang mereka anut maupun di negara yang mereka tempati.

Btw, gue juga belum menikah, lho ya. Gue masih sibuk dengan dunia gue, masih sibuk kuliah, masih sibuk ngerjain naskah, sibuk kegiatan ini-itu, sibuk menata masa depan yang gue coba untuk persiapkan dari awal. Karena menurut gue, manusia itu harus punya rencana. Gue sangat tidak setuju sama orang yang bilang, “Let it flow aja.” Karena menurut gue stigma terhadap “Let it flow.” Itu kebanyakan mengarah ke definisi menyerah. Padahal sebenarnya manusia itu harus berusaha dulu, meskipun endingnya nanti dia pasrahin sama Yang Di Atas. Bedain, antara menyerah sama pasrah. Menyerah itu bertekuk lutut sebelum berjuang habis-habisan (habis-habisan lho, ya). Tapi, kalo pasrah, itu bentengnya udah ada effort dulu, udah ada usaha yang dilakuin (semaksimal dan se all out-nya).

Menurut gue, kalo kita nggak punya rencana, kita ngambang aja. Nggak tau mau ke arah mana, mau ngapain, mau gimana nantinya. Kendati ekseskuinya di tangan Tuhan, setidaknya kita punya future plan yang kita bakal hadapi nanti. Gue yakin, lo semua yang baca tulisan gue punya visi dalam hidup yang sekarang lo jalanin, punya misi yang pengen banget lo selesaikan, serta dengan serba-serbi goals yang udah lo tulis dalam pikiran lo, gue yakin banget sedikit banyaknya kita harus punya rencana buat achieve semua itu.

Makanya gue bilang, apalagi kalo kita sebagai perempuan, jangan jadi perempuan yang cantik, lucu, dan menggemaskan kayak gitu-gitu. Karena kalo kayak gitu doang, boneka Barbie juga bisa. Perempuan itu harus APIK (orang Suku Banjar mendefinisikan apik itu sebagai kata sifat yang artinya awet) Aktif, Produktif, Inovatif, dan Komunikatif. Menurut gue, selain harus punya rencana, setidaknya perempuan harus pernah menjalani atau setidaknya pernah mencoba keempat fase itu. Yaaa, sebagai perempuan, wajar kalo cuman di rumah aja. Tapi, nggak wajar juga kalo kita buta informasi sama apa yang terjadi sekarang. Aktif di sini maknanya kita nggak malas buat mencari informasi, nggak malas buat nambah wawasan, nggak ogah-ogahan kalo diajak buat nambah pengalaman.

Etttsss, jangan cuman berhenti di situ. Percuma kalo kita tau isu dan permasalahan yang ada, tapi kita nggak mau berkontribusi membantu, mengurangi, mencegah, menanggulangi atau bahkan kalo bisa sampe ke tahap menyelesaikan. Berikan effort kita dengan kekreatifan yang kita punya, inovasi yang selama ini berhibernasi dalam otak kita, buktikan sama orang-orang kalo perempuan juga bisa punya microphone di atas panggung (istilah apaan, sih). Endingnya, perempuan harus bisa memberikan warna buat siapapun. Sebar semua kebaikan yang kita dapatkan, bagi-bagi semua rasa suka duka yang pernah kita alamin, bikin orang-orang itu tergugah dan mereka appreciate sama perempuan. Kalo nggak kita sebar, itu artinya kita egois. Dan perempuan itu... nggak boleh egois.

Singkatnya gini, deh APIK itu kita harus lakukan sesuatu, ciptain sesuatu, hasilkan sesuatu dan bagikan sesuatu itu.

Next, selain rencana dan APIK tadi, perempuan juga harus punya priority. Gue nggak tahu apakah menikah ada top priority lo sekarang atau gimana. Karena masing-masing orang punya top priority yang beda-beda. Ada yang pengen selesain S1 dulu, ada yang pengen kerja dulu, ada yang pengen S2 dulu, ada yang pengen ngeberangkatin ortunya haji dulu, macem-macem, kan. Tapi, semua keberagaman itu sebenarnya beriringan dengan pikiran untuk menikah. Gue yakin, sedikit banyaknya pasti pernah terlintas di pikiran kita tentang hal itu.

Kalo menurut gue, kalo lo mau nikah sebelum tamat S1, mau nikah waktu lo kerja, mau nikah waktu lo mau S2 atau kapanpun itu ketika jodohnya udah datang dan lo udah siap, itu semua nggak masalah. Selama itu bisa ngejalanin semuanya, lo bisa bertanggung jawab sama pendidikan lo, sama pekerjaan lo, sama kelurga lo, yaaa nggak apa-apa. Kalo kata Honda, one heart. Jadi, akan lebih nyaman sebenarnya menurut gue, kalo pasangan kita itu orang yang satu visi sama kita, (satu visi lho, ya. Bukan sama urgensi). Sederhananya, gini. Lo sama pasangan lo, nggak harus suka club bola yang sama, tapi kalian sama-sama suka bola. Misal, kita nih orang yang fond banget sama pendidikan, dan ranah kita itu ke dunia sastra, misalnya. Pasangan kita nggak harus orang yang suka sastra juga. Tapi, dia punya dedikasi di bidang pendidikan, mungkin ranah dia di mentor buat pendidikannya, atau mungkin di dunia literasinya, gitu. Karena kalo lo sama pasangan lo udah punya visi yang sama, ngejalanin bareng-bareng itu jauh lebih nyaman.

Karena di sini gue bukan memberikan tipikal pasangan buat menikah, jadi masalah fisik dan sebagaianya itu hak paten yang ada dalam diri lo. Karena gini, kenapa gue sangat menekankan pasangan satu visi, menurut gue ketika lo nanti menikah, lo punya partner yang always 24/7 selalu jadi bagian dari diri lo. Menikah itu simplenya lo menemukan partner yang akhirat dunia buat hidup lo. Kalo visinya klise, yaaa entah apa yang akan terjadi berikutnya.

Selain itu, gue juga ingin mengomentari budaya yang beredar di daerah gue perihal menikah. Gini, ya, temen-temen. Menikah itu masalah yang krusial, dan cuman diri kita aja yang pantas menentukan “gue kapan siapnya?”. Yaaa, emang, sih, salah satu efek yang ditimbulkan dari masyarakat sosialistik (socialism) adalah tingkat kepedulian mereka itu terkadang bertansformasi ke bentuk kepo dan selalu pengen tahu. Cuman, jangan pernah menjadikan omongan orang sebagai alasan untuk kita terburu-buru. Karena pasca menikah, yang ngejalaninnya, kan kita, bukan mereka, gitu.

Di daerah gue, menikah di atas 24 tahun itu kayak tabu. Belum lagi perihal uang jujuran dan elves problem di belakangnya, semuanya diomongin, deh. Mulai dari dekorasi pelaminan, masakanan waktu resepsi, venue pernikahan, dan yang kayak gitu-gitu, deh. Gue sempat bingung juga, gitu. Kenapa harus selalu menyempurnakan asumsi dan pandangan orang lain terhadap diri kita? Lebih baik kita sempurnain aja asumsi dan pandangan diri kita terhadap diri kita sendiri. Karena pasca menikah itulah kehidupan yang sebenar-benarnya bakal kita jalanin. Menikah itu krusial yang dimudahin sama Allah. Kitanya aja yang kadang bikin ribet. Undangannya harus kayak gini lah, souvenirnya harus kayak gitu lah. Padahal di belakang undangan dan souvenir yang kita pikirkan, ada masalah tempat tinggal, biaya listrik, biaya air, biaya hidup, biaya melahirkan, biaya sekolah anak dan biaya-biaya lainnya yang unexpected dalam perhitungan kita.

Tapi, kita juga nggak bisa lepas begitu aja dari adat dan budaya yang menjadi darah daging di keluarga. Semuanya kembali ke pribadi masing-masing, juga sih. Tinggal gimana kita menyikapi perbedaan persepsi kita aja sama orang-orang sekitar. Yang pasti, perempuan nggak boleh ketinggalan. Pastikan kalo perempuan juga punya tempat di masa sekarang dan di masa depan.


Yaudah, sebelum gue akhiri, gue kasih monolog menikah, nih.


Menikah itu mudah,
Jangan dibuat jadi susah.
Menikah itu ibadah,
Nggak usah mewah-mewah.

Menikah itu bukan trend hidup semua orang,
Tapi, didasarkan pada kebutuhan dan kesiapan.
Kalo belum siap jangan pake acara paksa-paksa-an,
Kita nggak harus menikah karena cuman ikut-ikut-an.

Menikah itu esensi pribadi,
Nggak ada yang bisa menghakimi.
Jodoh, kan udah ada yang atur,
Tinggal kitanya aja yang jangan takabur.

Nggak ada yang bisa menolak keputusan Tuhan.
Siapa tahu minggu depan kita naik pelaminan.
Lusa depan kita udah jadi istri atau suami orang.
Kan, nggak ada yang bisa baca masa depan.

Yang pasti, kita sebagai perempuan,
Harus selalu punya persiapan.
Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020