Mahasiswa dan Bajakannya

Fortunate

Jadi, tadi nggak sengaja gue ngebuka insta story admin kelas gue, di mana dia nanya perihal buku bajakan dari sudut pandang viewersnya. Well, gue sempat ngerasa “Duh, nih pertanyaan nyingung siapa?” Serius, karena jujur, nih, gue adalah tipikal manusia yang suka baca tapi nggak suka ngambur-ngamburin duit. Jenis manusia macam apa kah diri gue ini, gue juga nggak tahu.

Di postingan inilah gue akan bicara bagaimana pandangan gue terhadap buku-buku bajakan yang beredar luas dan orientednya itu buat mahasiswa.

Sebenarnya, sebelum gue jadi mahasiswa, gue udah sering banget ngunduh-ngunduh novel luar atau majalah luar secara gratis. Yang cuman butuh login gmail gue dan gue bebas buat download apapun yang gue mau baca. Meskipun sebenarnya, every website has always limited the number of categorize we want. Actually, perihal bajak-bajakan ini sebenarnya udah booming sejak tiga atau empat tahun yang lalu. Dan gue cukup interest sama topic ini karena gue udah pernah ngubek-ngubek sedikit tentang metode illegal dalam penyediaan sumber pengetahuan, terus gue juga sempet ngangkat argument tentang itu di lomba debat mahasiswa.

Kayak yang pernah gue bilang sebelumnya, setiap kebijakan, keputusan, dan bahkan sampai pilihan sekalipun selalu memunculkan peran uang koin di dalamnya. Akan selalu ada dua sisi yang berseberangan dalam setiap hal yang kita ambil. Begitu pula sama bajak-bajakan itu. Dan kalo mau beropini tentang sudut pandang terhadap sumber pengetahuan yang beredar secara illegal, kayaknya nggak fair kalo gue hanya membahas satu sisi aja. Serupa dengan uang koin, gue bakal mengupas POV gue terhadap dua sisi yang menjadi pertimbangan dan perdebatan banyak orang.

Oke, bicara masalah buku bajakan yang notabennya tertuju sama kebutuhan mahasiswa. Btw, di daerah gue nggak ada tempat atau spot yang khusus dialokasian buat beli buku bajakan atau beli buku bekas (itu nggak ada di Banjarmasin). Makanya, kepribadian gue akhirnya terbentuk sebagai manusia yang memanfaatkan segala cara untuk dapetin buku yang murah dengan kualitas bacaan yang maksimal, hahahaha. Gue nggak masalah sama buku bekas, selama buku itu layak digunakan, masih bisa dibaca, dan yang pasti nggak boleh ada satupun lembar dibuku itu yang kececer atau hilang atau lenyap entah ke mana. Dan gue tidak memungkiri, bahwa hampir setiap mahasiswa itu terkendala di bidang keuangan. Makanya nggak salah, kalo buku bekas jadi sasaran.

Nih, ya, gue kasih tau, teman gue yang hidupnya menurut gue enak aja, masih sering nggak enak kalo mau minta duit ama Ibu-Bapaknya. Yaaa, namanya juga mahasiswa, pemikirannya udah berkembang dan udah mampu menilai situasi. Yang dulunya buka telapak tangan tinggal minta doang, sekarang jadi mikir-mikir ribuan kali dulu kalo mau bilang. Apalagi yang namanya mahasiswa, udah nggak zaman lagi buku pegangannya dalam bentuk LKS atau buku PR kayak SMA, gitu. Anak kuliahan itu bawaannya segede gaban, bukunya kayak kitab kerajaan, tebel, berat, beratus-ratus gram, dan yang pasti itu harganya mahal.

And kendala terbesar yang dialami mahasiswa adalah, buku-buku pegangannya itu dikarang sama orang-orang yang hidupnya di luar Indonesia. Yaaah, silahkan kita hitung berapa banyak budget yang harus dikeluarkan untuk beli buku yang dikarang sama orang luar. Kalo buku itu ori, lo harus nanggung biaya pajak tuh buku yang berangkat dari negara dia ke Indonesia. Dan kalo buku itu terjemahan, jangan lupa ada sosok penerjemah yang butuh makan. Makanya, jangan heran kalo buku anak kuliahan itu harganya mahal.

Next, akhirnya anak kuliahan harus banting kemudi. Yang mulanya mati-matian ngumpulin duit buat beli buku, pindah haluan lah dia ke ranah yang jauh lebih mudah. We have internet connection, kuota dijual bebas di mana-mana, wifi gratis tersedia di halte dan kampus. Wajar, kan kalo mahasiswa merasa bahagia dengan adanya akses internet yang semakin mendunia.

Karena harga buku itu mahal, jadi sumber pengetahuan yang mereka cari bisa mereka temukan lewat internet. Daaan, sebagai mahasiswa, gue tidak memungkiri bahwa kebutuhan mahasiswa terhadap jurnal-jurnal itu sangat tinggi.

Satu hal yang mungkin nggak banyak orang tau, bahwa buat akses jurnal resmi di situs publikasi Internasional itu lo harus nyiapin duit sekitar 30-40 USD. Bayangin, itu duit cuman buat satu jurnal doang. Dan kalo lo pengen unduh jurnal itu, lo cuman dikasih synopsis doang. Yaaa, pikirin sendiri, deh, apajadinya kalo jurnal yang kita akses atau kita beli dengan harga segitu ternyata nggak sesuai sama kebutuhan penelitian atau riset yang kita lakukan.

Sakit banget, kan?

Makanya untuk kebutuhan penelitian, riset, dan pengetahuan semacam itu muncullah berbagai website yang membantu rakyat-rakyat qismin kayak kita supaya bisa merasakan esensi ilmu pengetahuan secara lebih mendalam. FYI, kalo lo tau Sci-hub, 2016 kemarin dia rilis pernyataan dalam bentuk  data yang bilang kalo 28 juta download terjadi di situs-situs illegal dalam rentang waktu 5 bulan. Dan, serius, gue melongo nggak percaya bahwa ternyata negara-negara maju kayak Iran dan  Amerika Serikat adalah pengguna terbesar Sci-hub. Bayangin, orang-orang yang punya banyak duit aja masih berusaha buat meanggarkan budget riset mereka dengan nominal sekecil mungkin.

Sekarang gue membuka mindset kita semua perihal riset atau penelitian, karena pada akhirnya kita bakal ngelakuin itu, kan?

Dari yang gue tau tulis di argument debat gue, ada empat negara yang jadi perbandingan untuk menunjukkan seberapa besar benefit situs illegal. Di Indonesia, penelitinya 89 : 1 juta. Di India, penelitinya 140 : 1 juta. Dan di Amerika Serikat, penelitinya 500 : 1 juta. (And FYI juga, di India, website Sci-hub itu tidak dipandang sebagai situs yang illegal. Ajib, kan?)

Kalo gue bahas dari PDB atau bahasa kerennya gross domestic product, negara dengan ekonomi maju itu punya komitmen yang sangat tinggi untuk riset. Karena riset ternyata punya peran yang sangat tinggi dan krusial dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dan universitas dengan komitmen tinggi dalam riset, ternyata masuk peringkat 50 besar universitas terbaik di dunia. (Silahkan lo kait-kaitin sendiri fundamentalnya)

Tapi, di lain pihak kita nggak bisa pura-pura tuli, buta, bisu atau pura-pura nggak tahu sama sosok penulis dan penemu yang udah menghabiskan semua yang dia punya. Jam tidur dia, duit dia, tenaga dia, pikiran dia, dan elves problem yang mungkin menghantui pikiran dia saat dia ngerjain proyek atau penelitian itu.

Kita bahas dari situs resminya dulu, deh. Publisher yang naroh jurnalnya di situs resmi, itu validasinya berkali-kali dan biayanya itu nggak murah. Validatornya harus nelaah baik-baik jurnal itu, terus ngeluarin duit pula. Dan situs-situs illegal datang buat nyomot doang?

Di lain pihak, muncul pertanyaan yang commonly juga ditanyain sama orang banyak tentang kenapa jurnal resmi itu harganya mahal? Woy, yang namanya situs mah butuh perkembangan. Kalo nggak pake duit, tuh situs mau diisi pake apa?

Dan kalo dari POV gue, terkhusus untuk buku nih, ya. Bajakan adalah karunia yang tidak boleh disia-siakan. Cuman masalahnya adalah akan muncul rasa bersalah dalam diri gue, “Kira-kira penulisnya ikhlas nggak, yah?” “Gue dosa nggak, ya?” dan lain sebagainya yang menyiratkan rasa bimbang gue untuk memilih buku bajakan.

At least, gue bisa bayangin, sih, gimana rasanya tulisan kita cuman di comot doang. Meskipun pada bagian akhirnya, orang yang nyomot itu tetap nginput nama kita di tulisan dia.

But, gue yang pernah nulis, dan gue tahu gimana rasanya kalo tulisan yang kita bikin dengan susah payah ternyata tidak mendapatkan apresiasi sebagaimana mestinya. FYI, jangan lo pikir menulis itu pekerjaan yang mudah, writing is simple, but it’s not easy. Kalo lo nggak percaya, silahkan lo coba. Menulis itu adalah pekerjaan paling low budget di dunia, tapi dia adalah salah satu tantangan paling besar yang tidak semua orang bisa taklukan. Ngetik, scanning, mikir, revisi, ngetik lagi, scanning lagi, mikir lagi, gitu-gitu. Gitu-gitu aja sebenarnya, cuman nggak semua orang bisa.

That’s why, kenapa gue bilang, setiap penulis itu hebat, dan setiap penulis layak mendapatkan apresiasi. Cuman, terkadang kita terlalu naif dengan mengait-ngaitkan apresiasi dan royalty. Gue nggak tahu seberapa besar passion menulis seseorang sehingga dia bisa dikatakan penulis. Karena gini, kalo sesuatu itu udah jadi passion dalam diri lo, lo bahkan bisa sampai sukarela tanpa bayaran cuman buat ngelakuinnya.

Kalo dari gue pribadi, sih, ya menulis itu tujuannya buat berbagi. Bagi informasi, bagi opini, bagi pengalaman, bagi cerita, bagi-bagi rasa. Kalo ada orang lain yang nyomot tulisan gue dengan tanda kutip dia tetap menyertakan nama gue, yaaa nggak apa-apa.

Gue selalu menekankan sama diri gue bahwa yang namanya apresiasi tidak harus selalu dalam bentuk nominal. Ketika gue merasa tulisan gue itu bermanfaat buat orang lain, entah bermanfaat buat sisi pengetahuannya, segi pemikirannya atau dalam mempengaruhi pola pikir dia dari yang sebelumnya kerasa kepala jadi open minded, dari yang sebelumnya mati rasa peduli jadi bisa caring ke semua orang, dari yang sebelumnya egois bisa sedikit mengalah, gue rasa itu sudah cukup menjadi apresiasi buat diri gue. Masalah royalty atau keuntungan lainnya, biarkan itu menjadi bonus dalam bentuk doorprize dalam hidup gue. Karena gue percaya, feedback atau imbalan yang gue terima tidak harus datang di saat gue sedang memberi. Karena bisa jadi, manfaatnya gue dapetin saat gue mau skripsi, saat gue mau nikah, saat gue ngebina rumah tangga, saat gue punya anak, saat gue jadi orang tua, saat gue nikahin anak gue, saat gue jadi nenek-nenek, atau saat kapanpun ketika Tuhan mengizinkan.

Jadi, kita balik ke permasalahannya, nih. Intinya adalah kalo lo sebagai pembaca yang udah struggle banget buat nabung duit beli buku tapi nggak kesampaian, silahkan lo unduh jurnal atau apapun yang lo butuhkan sambil berdoa semoga penulis dan setiap orang yang terlibat dalam produksi jurnal atau buku itu selalu bahagia dalam hidupnya. And kalo lo pembaca yang kaya raya, jangan pernah mikir dua kali untuk beli buku ori. Setidaknya kekayaan dan duit yang lo punya, bisa jadi ladang sedekah buat diri lo sendiri.

So, thankyou for listening to me today.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020