Life is Perspective
Assalamualaikum.
Sorry banget ya saya kebablasan
ngeposting berkali-kali di akhir bulan (Unusual
month activity). Mumpung pikiran lagi ngalir dan lancar, mending saya sharing idea, kan?
Jadi,
masih dengan topik yang sama kayak postingan kemarin, ‘bout collage. Terutama tentang hasil ujian final semester III.
Di hari
terakhir input nilai di situs portal,
finally hasil studi saya berakhir dengan
kabar yang Alhamdulillah baik. Sebaik nilai ujian Fisika Dasar I yang lulus
dengan alfhabet B.
Sebenarnya
sebelum tuh nilai divalidasi, saya juga udah yakin ujung-ujungnya juga pasti B.
Tapi, waktu itu saya masih berharap ada perubahan, masih berharap ada kenaikan,
masih berharap ada peningkatan, dari B ke B+, atau B ke A-, atau B ke A.
Btw
Fisika Dasar I itu mata kuliah yang menurut saya sendiri bukan cuman angker, tapi
horror. Dan syarat lulusnya emang
harus B. Jadi, waktu recourse dan
dapat nilai B, I’m so glad. Meskipun
sebenarnya rada-rada “mengaduh” karena
cuman dapat B, saya mencoba jadi orang yang bersyukur. Toh, ternyata saya
lulus, kan?
Sambil
tepuk-tepuk pipi kanan-kiri, saya beralih pada keadaan lainnya di mana ada
sebagian teman-teman saya yang berakhir dengan C, bahkan ada yang nanggung
banget di B-?
Begitu
saya mendengar kabar itu, saya langsung mikir “Terus saya mau mengeluh, gitu? Masih mau menggerutu? Emang saya pantas
ngelakuin itu? Setelah Rabbi saya ngabulin semua do’a-do’a saya, saya masih
pantas protes?”
I used to how it was felt. Dulu,
sewaktu saya dapat predikit cacad, saya guling-guling nggak karuan. Saya nanya
ama diri saya sendiri, “Salah di mana?
Jawabannya nggak bener atau apa, sih?” Pokoknya saya menghakimi diri saya
sendiri, menyalahkan diri sendiri gitu lah.
But, I’ll try get used to be better on the next
chapter. Setelah dijalanin, ternyata faedahnya BANYAK
BANGET. Kekeliruan saya sewaktu dulu terjawab dengan adanya edisi recourse together. Saya lebih nyaman
dengan dosen pengajar sekaligus juga beliau adalah dosen pembimbing akademik
saya. Saya jadi lebih mengetahui apa yang sebenarnya kurang pada pemahaman
saya. The point is, ternyata recourse membawa berkah yang so wealthy quite bangettt.
Abis
itu saya jadi mikir, ternyata sesuatu yang sebelumnya sempat saya judge, sempat saya tolak, sempat saya
hakimi, pada akhirnya justru happy ending.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(Q.S Al-Baqarah : 216)
Dan akar dari semua judgement saya
waktu itu hanya tentang kekeliruan saya dalam memandang aja. Logikanya sama
kayak tentang ke-relatif-an gerak, jarak
dan waktu. (Anak fisika pasti udah ngeh sama
yang kayak beginian). Kesalahannya adalah karena ketidaktepatan kita dalam
menempatkan diri ketika memandang sesuatu.
Remember this one, relative has one
important context. PE-NGA-MAT.
Yang pada bilang bumi bergerak, itu pengamatnya pasti ada di sun atau di moon maybe. Terus yang pada bilang bumi diam di tempat, itu pengamatnya
pasti standing here. Kerangka acuan
yang berbeda itulah yang bikin semuanya jadi relative.
Nah, terkait dengan Al-Baqarah ayat 216 di atas, ternyata itu deket
bangettt sama konteks fisika. Relatif, kan?
Yang bilang ujian itu masalah, pasti kerangka acuannya yang bermasalah.
Tapi, yang bilang ujian itu bentuk kasih sayang, maka kerangka acuannya adalah
iman.
Sesuatu yang kita anggap ujian Allah itu adalah masalah, actually karena kita berdiri di tempat
yang salah. Kita berdiri di tempat yang; harusnya orang-orang ngomong kanan,
kita malah ngomong kiri. Kita berdiri di tempat yang; harusnya orang-orang
ngadep utara, kita malah ngadep selatan. Kita berdiri di tempat yang; harusnya
orang-orang pada lihat pelangi, kita malah nggak bisa lihat apa-apa.
Salah siapa, coba? Salah kita, kan? Kita yang salah posisi.
Terus, pertanyaannya kenapa kita ampe bisa salah posisi?
Kok, orang-orang pada ngomong kanan, tapi kita justru ngomong kiri?
Kok, orang-orang pada ngadep utara, tapi kita justru ngadep selatan?
Kok, orang-orang pada bisa lihat pelangi, tapi kita justru nggak bisa
lihat apa-apa?
Berarti kita salah jalan. Kita salah rute. Kita nyasar. Kita kehilangan
arah. Kompas yang kita punya ternyata nggak berfungsi dengan baik.
Salah siapa, coba? Salah kita, kan? Kita yang jarang banget nge-check keadaan dan kondisi kompas
kita. Kita yang nggak nyadar kalo kompas kita itu bermasalah. Makanya waktu
kita pake kompas itu, kita lepas dari rombongan temen-temen kita.
Lalu, kenapa kita jarang banget nge-check keadaan dan kondisi kompas
kita?
Nggak punya waktu? Nggak sempat? Nggak biasa nge-check? Atau nggak pernah nge-check
sama sekali?
Gimana mungkin kita mau nyampe ke tempat yang bener, kalo kompas yang
kita pake itu bertentangan sama jalan yang udah dilegalin sama Allah. Allah
minta kita lurus, ehhh kita nikung. Allah minta kita berjalan dengan cara yang
baik, ehhhh kita ngebut. Allah minta kita lari hati-hati, ehhh kita nyelip.
Kalo udah kecelakan, udah dapat masalah, pantas nggak sih kita nyalahin Allah? “Ya Allah, kenapa Engkau timpakan…..”
Aturannya udah jelas, rambu-rambunya udah ada, peringatannya udah dipasang di mana-mana, tapi kita tetap aja nggak bisa bilang itu kanan, kita
tetap nggak bisa bilang itu utara, kita masih nggak bisa lihat apa-apa.
Kenapa?
Kenapa kita sampai mengacuhkan the rules itu?
Kenapa kita nggak ngikutin the guide yang udah disediain?
Kenapa?
Kenapa kita sampai mengacuhkan the rules itu?
Kenapa kita nggak ngikutin the guide yang udah disediain?
Teman-teman sekalian, jadi jelas banget, bahwa sudut pandang yang kita
punya, kerangka yang kita bangun dan mindset
yang ada dalam diri kita itu menunjukkan kualitas diri kita. Boleh jadi orang-orang nganggep kita jadul, ternyata mereka mandang kita dari zaman
modern, makanya kita dibilang jadul. Boleh jadi orang-orang nganggep kita
gaptek, ternyata mereka mandang kita dari sisi teknologi. Boleh jadi
orang-orang nganggep kita miskin, ternyata mereka mandang kita dari sisi harta
benda yang kita punya. Boleh jadi-boleh jadi yang kayak gitu, fixed karena urusan point of view.
So, yang masih merasa ujian Allah itu masalah, mari mulai sekarang kita
bergerak secepat-cepatnya supaya kita bisa pindah posisi. Posisi, dari yang
dulunya bilang itu masalah akhirnya bisa
bilang ujian itu membawa berkah, ujian itu
membawa hikmah.
Teman-teman harus perhatiin dengan baik. Posisi itu penting, lho
teman-teman. Saya menganalogikannya dengan salah satu ilmu fisika, tepatnya
Hukum Tiga Kepler. Hukum itu bilang, bahwa makin jauh jarak suatu planet dari
pusat tata surya, makin semakin lama periode revolusinya, semakin lama waktu
yang diperlukan planet itu untuk menyelesaikan satu kali putarannya
mengelilingi pusat sistem.
Kita tuh sama kayak gitu. Makin jauh dari Rabbi kita, maka makin lama
waktu yang kita butuhkan untuk bisa lulus ujian. Makin jauh dari Rabbi kita, maka
makin terlunta-lunta kita, makin kepayahan, makin kesusahan, makin kecapean.
Makin jauh dari Rabbi kita, makin besar rentang jarak yang tercipta antara kita
sama Rabbi kita. Maka ketika Rabbi kita manggil, kita dengernya samar-samar,
kita dengernya nggak jelas, atau bahkan bisa jadi kita nggak denger sama
sekali.
Jadi, teman-teman sekalian, ketika kita punya masalah, terus kita ngerasa masalah kita tuh nggak ada solusinya, masalah kita tuh nggak ada jalan
keluarnya, masalah kita tuh beratnya luwar biyasah, itu pasti alasannya cuman
satu; kita yang terlalu jauh sama Rabbi kita.
Terutama buat anak fisika yang udah pada ngeh sama karateristik gelombang bunyi, pasti udah pada tau kalo
gelombang bunyi itu perlu medium. Artinya gelombang bunyi itu butuh perantara.
Kita analogiin perantara kita sama Rabbi kita itu iman. Kalo panggilan dari Rabbi
kita itu tiba-tiba nggak bisa nyampe ke telinga kita, itu berarti ada kendala
sama perantaranya, ada masalah sama iman kita. Tapi, kalo perantara kita sama
Rabbi kita itu baik, maka apapun yang Rabbi kita ucapin, pasti bisa kita denger
dengan sangat jelas. Kalo perantara kita sama Rabbi kita itu baik, kita mau minta
apa aja, itu pesannya cepat banget nyampe. Bahkan meski tanpa harus disuarakan
melalui media the voice, kalo iman
kita itu baik, suara hati kita aja bisa langsung sampai ke Rabbi kita.
Simak
baik-baik Q.S Al - Baqarah ayat 144, “Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.”
Silahkan
teman-teman cari sendiri makna dibalik Q.S Al - Baqarah ayat 144 di atas. Karena
kalo teman-teman nyari sendiri jawabannya, teman-teman bakal terharu. Bangettt.
Duh, saya
nulis udah nyampe ke mana-mana, nih. Btw, saya senang banget mengaitkan hal-hal
beraroma (berbau) fisika buat bisa diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku
kita di kehidupan. Jadi, buat teman-teman sekalian yang punya masukan lain
untuk hal itu, silahkan tambahkan di akun komentar, atau bisa juga kontak saya
di akun email.
Semoga
berkah ya, teman-teman. Saya akhiri sampai di sini dulu. Semoga nanti bisa sharing-sharing lagi.
Mari
perbaiki pribadi diri dan saling mengingatkan dalam kebaikan.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Komentar
Posting Komentar