Foreword
Every human remembers his tragic story and tries to capture
and do it for recapture that sorrow hour, the memory that changes his deepest
feeling and makes him so sad of all his mystery.
Quote unfaedah buat orang-orang yang patah semangat dan
putus acara secara mendadak.
In the fucked list collage of the last wonderful year, ada
satu berita yang langsung menggemparkan isi hati beserta seluruh tulang
belulang di sekitarnya. I accepted a good that dibungkus pake amplop coklat,
ditutup rapi, terus dalamnya adalah isi dari keseluruhan naskah Aksara Rasa
yang udah dikerjain pas libur semester dua kemarin.
Bruk! Rasanya melejit, pengen nangis, tapi malu. Akhirnya dibawa
have fun aja, nyante, pake acara pasang muka bahagia ke mana-mana. Dalam hati,
meratapi kegagalan buat yang kedua kalinya.
Meratapai sejadi-jadinya, sambil
berusaha bangkit and go up again.
Berlalu lah kesedihan itu seiring berjalannya waktu dengan
kehadiran ujian semester. Semoga aja hasilnya maksimal, lebih baik dibanding semester
kemaren. Moga IPK-nya kagak ugal-ugalan. Biar sekalian bisa buktiin sama para the fakeds kalo I can do it, clear all
of it without you; bullshit human in my life that have entered.
As the sun went down and went up, and went down and went up
again, berharap banyak sama diri sendiri. Ada puluhan target yang pengen bisa
dicapai di tahun 2018 yang semoga membawa banyak berkah dan kebahagiaan. Nggak cuman
pengen dapet nilai bagus, tapi pengennya ilmu fisika yang udah dipelajarin bisa
bikin makin deket ama Yang Maha Kuasa. Pengen bisa selesaian The Broken Wings
tanpa harus buka-buka dictionary dulu kalo nemu strange vocab. Pengen naikin
nilai TOEFL, ngelatih buat ikut IELTS juga. Dan ada satu target yang
digadang-gadangin semangatnya segede gaban, yakni BIKIN LAGI. Ubek-ubek sejuta
diksi dan work hard buat nyari inspirasi biar bisa nulis lagi.
Hidup bukan soal meratapi keadaan. Hidup harus berjuang,
kan? Jadi, selama masih ada niatan buat bisa mejengin nama di toko buku, selama
itu juga pintu inspirasi terbuka lebar-lebar. Semesta punya ruang yang luasnya
lebih luas dari gedenya si gaban. So, nggak ada alasan menyerah.
Dengan demikian, Aksara Rasa terpaksa harus mengalami
perubahan alur cerita, secara keseluruhan. Mau nggak mau, ini harus dilakukan. Sekalipun
sakit, tapi berasa terhormat banget. Penolakannya bukan karena Aksara Rasa
jelek, tapi karena mereka emang nggak butuh naskah begonoan. Sedikit lega,
setidaknya, masih bisa ngambil beberapa bagian dari Aksara Rasa versi 2017 buat
diselipin di Aksara Rasa 2018.
Btw, inilah surat tersedih yang I ever accepted.
These a pieces of the script.
Begitu
membuka mata, kulihat tirai hujan menyambut kedatangan Arfian yang berlari ke
arahku. Sesekali dia berjingkat, melompati genangan air, menabrak beberapa
kubangan air. Percikan tanah dari guyuran hujan turut mengotori celana dan
sandal jepitnya. Dia mengenakan kemeja polos berwarna biru malam. Kedua
tangannya sibuk memegang paper cup
minuman. Dari kejauhan, kulihat rambut hitamnnya dibiarkan basah begitu saja,
sementara dia menghampiriku tertawa ringan.
Pemuda
itu tiba di depanku dengan napas ngos-ngosan.
Dia berdiri tepat di depan kakiku yang telanjang. Tubuhnya yang tinggi
menghalau tempias hujan, menutupi pandanganku dari keramaian jalan.
“Makanya
kalo kerja itu pakai sepatu.” ujar Arfian tersenyum mengejek. Bolamatanya
menangkap jari-jari kakiku yang mulai memucat. Dia mendorong-dorong kakiku yang
nyaris membeku. Menjahilinya dengan sengaja.
Aku
menatapnya tidak senang. “Kayak kamu lagi make sepatu aja.”
“Saya,
kan nggak kerja.” dia balas menatapku dengan wajah kemenangan.
Aku
menghela napas panjang. Dalam hati aku bergumam, “Kami bertemu tempo hari dalam suasana yang tidak seperti ini. Kenapa
sekarang jadi kayak orang temenan lagi?”
“Nih.”
ujarnya seraya menyodorkan satu paper cup
di depan wajahku.
Arfian
menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum yang sampai saat ini masih
sangat kusuka.
“Yakin,
nggak mau? Ristretto, tau. Masih
hangat pula.”
Mendengar
itu, aku langsung tersenyum lebar.
Lewat
sedotan yang sebelumnya telah Arfian berikan, aku menarik Ristretto itu perlahan. Mengantisipasi panas yang kemungkinan akan
membuat lidahku terbakar.
Baru
satu tegukan, minuman itu nyaris kumuntahkan. Tapi, kerongkonganku sudah
terlanjur menelannya. Mataku mengerjap-ngerjap dan suaraku lirih seketika.
“Fian!”
aku mendengus kesal.
Rasa
pahit Espresso Macchiato meninggalkan
jejak-jejaknya di papila lidahku.
Wajah Arfian diselimuti kebahagiaan. Dia menatapku tanpa ada sedikit pun rasa penyesalan. Bunyi hujan bahkan tidak bisa menyembunyikan tawanya yang pecah di udara.
Begitu
bemo tiba, Arfian menyuruhku segera
pulang. Sebelum langkahku benar-benar memisahkan kami berdua, aku kembali
menatap pemuda itu lewat punggung belakangnya. Kulihat titik-titik air
berjatuhan dari kemeja biru malam yang dia kenakan. Rupanya Arfian tadi berdiri
di depanku untuk menahan tempias hujan.
Dan
aku menyadari, itulah kebiasaan yang selalu dia lakukan. Tidak ada satu pun
yang berubah dari diri Arfian. Dia tetap orang yang dulu. Persis dengan
sikapnya seperti itu.
So, sampai ketemu di edisi Aksara Rasa 2018! Hope I won't drop down on it's grave and wept!
Komentar
Posting Komentar