Laki-Laki dan Hegemoni Patriarki

Laki-Laki, Hegemoni, Patriarki


Setelah sekian purnama, akhirnya gue punya waktu luang buat bikin tulisan ini. Oh, Lord, I must wait for a long time to post this topic. Sempat mengganggu pikiran gue pas akhir tahun 2019, dan beruntungnya sebelum tahun baru tadi gue udah eksekusi tentang pandangan kaum laki-laki terhadap diri mereka sendiri tentang, “Menjadi Laki-Laki”

Menurut gue, ini bahasan yang asyik sebenarnya, karena sebagai perempuan gue gak pernah sekalipun tau gimana pandangan manusia yang terlahir sebagai seorang laki-laki memandang hidup mereka dengan segala rahasia. Ya, gue sebut rahasia karena dari hasil tulisan teman-teman gue yang namanya ada di deoan cover, ternyata kebanyakan punya luka yang kalo dipikir-pikir riskan banget terjadi sama laki-laki.

Okay, sebagai pembuka gue mau sedikit berbagi cerita tentang gue yang merasa sangat terbebani dengan yang namanya hegemoni dan patriarki. Jujur, ya, sebagai perempuan gue sangat menolak budaya kalo perempuan itu ga boleh kerja, perempuan ga boleh sekolah tinggi-tinggi, perempuan ga boleh berkarir, perempuan harusnya di rumah, dan semua hal yang berkaitan dan dititikberatkan pada perempuan. Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama gue ngejalanin hubungan sama seseorang, pada akhirnya kita harus selesai karena perbedaan pandangan terhadap masing-masing dari kita.

Tapi, meskipun kita berakhir dengan tidak baik, gue tetap memberikan ucapan selamat datang dengan hangat saat dia balik buat ngejelasin alasan kenapa kita harus selesai. Dan, saat itu gue sadar, bahwa  ternyata egoisme laki-laki itu lebih besar daripada perempuan. Nah, kan, jadi ke mana-mana.

Okedeh, kita luruskan arah pembicaraan kita supaya ga melebar ke mana-mana. Jadi, gue nanya sama sepuluh temen gue yang laki-laki tentang pandangan mereka terhadap budaya hegemoni dan patriarki. Dan ada beberapa yang bikin gue tertarik buat diskusiin soal itu, akhirnya gue nemu titik cerah kenapa budaya patriarki itu tetap tumbuh di society kita.

Jadi, sebenarnya hegemoni ini bentuk penguasaan, bentuk dominasi, mayoritas, dan patriarki itu sendiri adalah penempatan laki-laki sebagai penguasa yang mendominasi di sebuah system sosial. Ada banyak hal yang sempat gue diskusiin sama temen-temen cowo gue, beberapa di antaranya adalah pertanyaan yang sempat gue singgung di tulisan gue Aku dan Egoku

Mari, kita diskusiin bareng-bareng, satu per satu.

1. Laki-laki sebenarnya ga mau mendominasi, dia cuman mau memimpin.
Ini tuh kesimpulan yang gue tarik setelah temen gua bilang bahwa sebagai laki-laki, dia gamau dikemudiin sama perempuan. Kalo diibaratin; sopir sama mobil, nah laki-laki itu gamau jadi mobilnya, mereka pengen jadi sopirnya.

Ya, ini tuh klasik sebenarnya. Pertanyaan gue muncul,

Aku: “Emang kenapa kalo yang memimpin perempuan?”

Dia: “Kalo lo, sebagai perempuan, mimpin kelompok presentasi, atau mimpin kelompok penelitian, atau mimpin tim lo buat ikut lomba, itu sah-sah aja. Tapi, kalo lo sebagai perempuan, mimpin rumah tangga, itu nggak bisa.”

Aku: “Kok, jadi rumah tangga?”

Dia: “Tau sifat manusia yang paling berbahaya?”

Aku: “Iya, tau.”

Dia: “Apa?”

Aku: “Egois.”

Dia: “Perempuan atau laki-laki, punya masing-masing keburukan itu. Di hidup yang seorang perempuan atau laki-laki jalani, mereka pasti pengen menang sendiri. Sifat itu ga bisa dimiliki perempuan kalo udah punya kelurga sendiri.”

Aku: “Jadi laki-laki boleh egois?”

……………..

Aku paham dari sana, bahwa ternyata perempuan memang sudah dikasih standar untuk terus mengalah. Harus siap dipimpin, siap diatur, siap diarahkan.

Parah, ga, sih?

2. Laki-laki sebenarnya ga suka punya pasangan yang lebih pintar dari dia, gengsi katanya.
Untuk yang ini, gue nemuin penjelasannya dari seseorang yang dulu pernah suka sama gue tapi rishi buat ngedeketin. Pas sekarang gue tanya alasannya apa, dia baru bilang,

Dia: “Perempuan yang pintar atau cerdas itu keras kepala.”

Aku: “Yang keras kepala itu bukan cuman perempuan.”

Dia: “Dan nggak semua perempuan.”

Aku: “Makanya.”

Dia: “Makanya, cuman perempuan yang pintar aja yang keras kepala.”

Aku: “Permasalahannya di mana? Di perempuan yang pintar atau perempuan yang keras kepala?”

Dia: “Bukan pintar atau keras kepala yang jadi permasalahannya.”

Aku: “Terus apa?”

Dia: “Gengsinya.”

Aku: “Apa?”

Dia: “Gengsinya.”

Aku: “Kenapa?”

Dia: “Perempuan yang pintar itu topic bahasannya susah, humor juga berat.”

……………………………

Ini, nih. Ini yang bikin gue bingung banget. Kenapa?

Perempuan kalo suka cowo pinter kayaknya sah-sah aja. Lah, aku pas SMA gebet kakak kelas yang berprestasi, pinter, menang lomba sana sini, perasaan ga apa-apa. Baik-baik aja.

Ga semua perempuan intelek yang berpendidikan tinggi, punya sikap keras kepala. Karena sekalipun gak intelek, banyak banget perempuan yang juga masih keras kepala, kan?

3. Laki-laki selalu memiliki sudut pandang bahwa perempuan harus bisa masak dan ngurus rumah
Ini sih, sebenarnya pandangan hampir seluruh responden laki-laki gue. Kebanyakan mereka mikir bahwa perempuan harus kudu wajib masak, harus kudu wajib bisa nyapu, ngepel, nyetrika, jemur pakaian, ngurusin pekarangan. Ya, meskipun ada juga responden gue yang nulis kalo sebenarnya keterampilan itu adalah keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang manusia, sebagai bekal untuk menghadapi hidup saat kehilangan pasangan entah di saat kapan.

Dia nulis gini, “Menurut aku, perempuan ya emang harus bisa masak, bisa bikin kue, nggak kemanisan bikin teh, nggak kepahitan bikin kopi, nggak keasinan bikin sup ayam.”

Nyelutuk lah gue, “Berarti laki-laki nggak harus bisa masak? Nggak harus bisa bikin kue? Nggak harus kudu kemanisan kalo bikin teh atau kepahitan bikin kopi atau nggak keasinan bikin sup ayam?”

Dia: “Laki-laki itu ranahnya kerja,”

Aku: “Fixed lu patriarchy detected.”

Dia: “Kok dikata patriarchy detected?”

Aku: “Perempuan yang kerja gimana?”

Dia: “Ya, makanya. Perempuan ranahnya rumah aja.”

…………………………..

Sorry ya, Us. Kesel gue soalnya HAHAHAHA.

Ya, gini, nih. Biar gue kasih tau, kenapa gue sebagai perempuan dan temen-temen gue yang punya jalan pikiran yang sama pengen banget sekolah tinggi-tinggi, pengen kerja, punya karir yang baik, itu karena banyak perempuan merasa dirinya butuh cadangan untuk hidup di masa depan. Perempuan nggak pernah tau, kalo misal suatu hari, tiba-tiba hubungan pernikahannya kandas atau selesai di tengah jalan sebelum garis finish, perempuan harus punya sesuatu yang bisa bikin mereka tetap bertahan buat hidup.

Realistis aja, sih menurut gue. Setiap orang juga pengen punya finansial yang baik, nggak cuman laki-laki. Masa iya perempuan mau makan ronde, musti nunggu suami balik kerja dulu? Lagian, dimana letak salahnya kalo laki-laki juga bisa masak dan ngurus rumah tangga?

4. Trauma
Jadi ini untold story sebenarnya, dan dikasih ikhlas sama responden gue dengan niat untuk berbagi rasa. Waktu itu kita ngebahas tentang perempuan yang kerja tapi udah punya anak.

Responden gue cerita gini, “Aku tau banget rasanya pas pulang sekolah nggak ada mama di rumah.”

Karena dulu pas pulang sekolah gue selalu ketemu ama emak gue, gue nanya.

Aku: “Emang gimana?”

Dia: “Sepi.”

Aku: “Iyalah, kan cuman sendirian.”

Dia: “Bukan. Soalnya nggak ada yang ngajak ngobrol. Dulu kan aku nggak bisa pelajaran IPA, mau nanya mamaku yang jadi guru, tapi mamaku masih ngajar di sekolah SMA. Maunya tuh, pas pulang sekolah disambut, ditanya tadi di sekolah kayak apa. Kan bagus.”

Aku: “Tapi kan mama lu kerja juga buat keluarga, buat lu.”

Dia: “Aku ga pernah minta mamaku kerja buat aku.”

Aku: “Kita nggak pernah ngerasain jadi orangtua, jadi kita nggak tau alasannya apa.”

Dia: “Emang kalo kita jadi orang tua, harus punya alasan buat kerja atau nggak kerja.”

Aku: “Ya banyak lah pertimbangannya.”

Dia: “Bahagia nggak cuman dari harta, fau.”

………………………………

Ya, bener, sih. Bahagia nggak cuman dari harta, anak juga harta. Kalo kata responden gue yang lain, kalo kita kerja nyari rezeki, anak mah juga rezeki, gitu.

Nah, di sini, nih, titik habis alasan seorang perempuan untuk terus nyari apa yang dia mau; anak.

5. Laki-laki selalu berpikir kalo perempuan yang berpenghasilan sendiri, bakal merasa lebih unggul.
Nah, ini, sih sebenarnya cuman tinggal soal komunikasi aja. Menurut gue, rata-rata perempuan yang kerja itu juga pengen ngebantu ekonomi keluarga, nggak cuman sekedar alasan untuk “Sayang ah, gue sekolah tinggi-tinggi, masa jadi ibu rumah tangga aja.” atau “Suntuk di rumah, mending juga kerja, rame.”

Gini, nih, dalam pandangan gue terhadap perempuan, finansial itu penting. Karena perempuan sifatnya lebih realistis. Nggak cuman melulu karena cinta. Hidup emang butuh cinta, tapi bayar biaya listrik pake cinta? Sekolah anak pake cinta? Beli sayur-mayur pake cinta?

Kasusnya misal gini, deh, kita nikah ama seseorang, terus karena nikah, hidup kudu musti wajib mandiri, akhirnya kita nyicil rumah. Pake gaji suami, biaya angsurannya selesai 10 tahun. Setelah dihitung-hitung, kalo istri kerja meskipun gajinya nggak harus sama gede kayak gaji suami, ternyata angsurannya selesai 8 tahun. Dua tahunnya bisa nabung buat beli perabotan, kan?

Perhitungan-perhitungan kayak gitu cuman bisa dimengerti sama perempuan-perempuan yang pengen kerja dengan niat bantu ekonomi keluarga.

6. Laki-laki juga punya ketakutan yang sama terhadap society.
“Ya bayangi aja, kalo gajih suami dua kali di bawah gajih istrinya. Apa kata tetangga?”

Ini nih celutukan responden gua. Dan gue baru sadar, bahwa ternyata beban itu yang bikin budaya patriarki tetap ada. Ketakutan tentang diungguli dan omongan orang-orang bikin setiap laki-laki tanpa mereka sadari, mengikat budaya patriarki itu dalam kehidupan mereka.

Gue pernah baca buku tentang parenting sih sebenarnya. Nah, di buku itu ada ngebahas tentang kesiapan mental kita buat jadi orangtua, buat punya anak, buat ngasuh anak, buat gimana caranya menghadapi anak. Dan, lo tau nggak, sih, ribet banget.

Gue sebagai perempuan, merasa bahwa “Harus segitunya banget jadi orangtua.”

Waktu gue baca bukunya, gue dilemma, dilemma antara jadi ibu yang selalu siap siaga ada kapan aja di rumah atau jadi ibu yang ngorbanin banyak hal sama anaknya buat ngasih yang terbaik di kemudian hari. Nih jujur, ya, gue ketawa kalo ngebahas tentang menjadi orangtua. Ini sebenarnya tentang kesiapan, sih. Bukan siap untuk menjadi orangtua, tapi siap belajar untuk jadi orangtua. Parah, gengs. Saat jadi orangtua, kita harus mastiin banyak hal; anak kita  nggak ngerasa kesepian, nggak kurang kasih sayang, nggak kekurangan dalam finansial juga, kebutuhan yang harus dia rasakan dan dia punya. Kita nggak akan pernah bisa menjadi orangtua yang sempurna buat anak kita, tapi anak kita bisa merasa menjadi anak yang sempurna saat punya orangtua kayak kita.

Ngelantur ke mana-mana, nih. Okedeh, untuk babak berikutnya, kita ketemu di postingan yang lain.

Sampai jumpa.



Komentar

  1. Poin ketiga jadi inget cerita seseorang pas lagi makan bareng

    BalasHapus
  2. Oh obrolan kita masuk di sini juga ya ternyata. Aku ketawa2 aja nih bacanya fau hahaha

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  5. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020