Schadenfreud
“We are capable feeling grateful without
seeing unfortunate even of others. Never compare yourself even your life to
others just only to make you realize that your life is beautiful. Your dark side always be inside of you. But you have to know, your life is complete
with you are, with the way you have.”
Sebagai
manusia yang terlahir biasa-biasa aja dari kalangan keluarga yang juga
biasa-biasa banget, sejak kecil gue selalu dibilangin bahwa kalo hidup itu
jangan kebanyakan nengok ke atas, tapi banyak-banyakin liat ke bawah. Dan gue
rasa itu adalah petuah turun temurun yang lahir dari nenek moyang kita dan
terus berlanjut sampai ke anak cucu.
Petuah
itu gue pake selama bertahun-tahun, dan petuah itu bener-bener jadi suatu
doktrin dalam otak gue. Jadi, gue pernah liat orang naik pajero, detik itu juga
gue segera buang muka, terus gue langsung buang pandangan ke arah orang lain
yang lagi jalan kaki dan naik transportasi umum. Dengan apa yang gue lakuin
itu, gue mendadak kayak mikir, “Bener.
Kalo liat ke atas mulu, nggak bakal ada habisnya.”
Sampai
pada suatu ketika, tepatnya tiga hari yang lalu. Gue nggak tau mau ngapain. Gue
nggak ngerjain apapun, gue nggak ada ide buat nerusin jilid dua, terus gue juga
nggak bikin instrument penelitian, pokoknya gue duduk doang gitu. Yaudah,
karena gue ngerasa saat itu gue nggak berfaedah sama sekali, akhirnya gue milih
buat browsing dan mampir ke Elsevier. Btw, yang belum pernah denger Elsevier, gue kasih tahu. Jadi Elsevier itu adalah website jurnal
ilmiah, yang isinya keren abis, sumpeh. Gue pernah nyomot salah satu jurnal di
sana buat melengkapi teori aerodinamika gue waktu seminar fisika semestar yang
lalu. Terus, kan gue juga pernah ngebahas soal bystander effect, tuh, nah rata-rata gue riset bystander effect lewat sana. Kebetulan, waktu gue mampir di sana,
gue nemu salah satu jurnal yang lumayan tua, sih. Tapi, gue langsung “WOW”. Judulnya Politics, schadenfreude, and ingroup identification: The sometimes
happy thing about a poor economy and death.
Gue
nyadar ada kata Schadenfreude, dan
gue tahu itu bukan vocabulary dalam Bahasa Inggris. Terus gue ngucapin kata itu
berulang-ulang, sampai akhirnya gue yakin itu adalah vortschatz dalam Bahasa
Jerman. Menarik, karena gue juga baru pertama kali denger kata itu.
So, postingan yang bakal gue bagi bulan ini adalah
seputar Schadenfreude.
When
other people suffer misfortunes, observers usually feel sympathy and express it openly. But this is not
always true. Sometimes, the misfortunes of others can be pleasing (e.g. Brigham, Kelso, Jackson, & Smith,
1997; Feather & Sherman, 2002; Gorman, 2006;
Hareli & Weiner, 2002; Leach, Spears, Branscombe, & Doosje,
2003; Smith et
al., 1996; van Dijk, Ouwerkerk, Goslinga, & Nieweg, 2005). Sama tuh,
kayak yang berlaku di masyarakat kita bahwa kadang orang-orang itu nggak
sebenernya peduli, mereka cuman kepo dan pengen ngejadiin masalah yang kita
hadapi sebagai bahan obrolan mereka sama temen-temen mereka yang lain.
Jadi, gue sempat nyari versi
digital buku Richard. The full name is Richard Smith, dia bikin buku yang judulnya The Joy of Pain:
Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature yang diterbitin sama Oxford tahun 2013. Waktu
baca judul bukunya gue mikir lagi, the dark side of human? Sama dong kayak bystander effect
yang pernah gue bahas
beberapa bulan yang lalu?
Tapi, karena gue nggak nemu
versi digital bukunya si Smith, dan harganya hampir 20 dollar, akhirnya gue
pake cara konvensional aja. Gue coba buat cari-cari tau tentang Schadenfreude lewat Google dan tulisan-tulisan dalam Bahasa Jerman yang
terkait dengan itu.
Schadenfreude,
gue nggak tau baca yang
bener kek gimana. Cuman kalo pronunciation gue sih bilangnya sa’denfroide. Nah, Schadenfreude yang ternyata bener berasal dari istilah Bahasa
Jerman ini, datang dari dua suku kata. Jadi, sebenarnya Schadenfreude ini bukan kata, tapi frase. Schaden itu artinya harm, dan freude itu
artinya joy. Kalo diartikan secara
istilah Schadenfreude itu bermakna sederhananya
kayak; kita bahagia ngeliat orang lain susah, dan kita jadi kesusahan saat
ngeliat orang lain bahagia.
Mungkin, and I’m pretty
sure, setiap dari kita
mengkategorikan diri kita sebagai orang yang nggak tegaan, kek misal “Duh, kasian
banget, sumpah. Gue yang segini aja nggak cukup, apalagi dia yang segitu.” atau misal
“Ya
ampun, gue pas ke sini liat si itu jalan kaki. Nggak kebayang capeknya, yang
naik motor aja panas minta ampun, apalagi jalan kaki.”
And I’m being part of you. Sama, gue juga kayak gitu. Gue juga
orang yang nggak tegaan, hati gue lembek banget kayak yupi. Makanya kalo ada
orang yang kesedihannya lebih parah dari gue, gue kadang ngerasa nggak tega
liatnya. Gue coba buat hibur dia sebisa gue. Padahal, kalo gue ada di posisi
dia, gue juga pasti bakal sama menderitanya, jamin gue. Kek misal, waktu nilai
ujian keluar, gue dapet C. detik itu juga gue mikir, “Ya ampun, gue kenapa jadi dapet segini doang? Cupu banget nilai C,
mah.” And suddenly waktu temen
gue nanya, gue dapet berapa, gue bilang, “Duh,
gue mah jebol banget ini nilainya C. Lo gimana?” And the she/he replied, “Untung lo C, lah gue? Gue D plus, nih.”
Automatically, habis itu kita pasti cuman bisa bilang, “Sabar ya, bro/sis.”
And maybe, well I’m sure, absolutely, setiap dari kita membutuhkan sebuah
motivasi buat punya progress dalam
mencapai suatu tujuan. Gue pernah ngebahas tentang seberapa pentingnya motivasi
buat keberlangsungan hidup kita di postingan gue beberapa tahun yang lalu. Dan,
ya, bener. Motivasi itu kayak bayang-bayang kita. Kalo saat berdiri kita masih
punya bayang-bayang, itu artinya kita masih hidup. Dan selagi kita masih punya
bayang-bayang, itu artinya kita masih butuh motivasi.
Kek misal
nih ya, gue kasih contoh. Kita liat temen kita tau-tau udah seminar proposal
aja, sementara kita? Judul aja belum fixed, mesti kudu konsul dulu. Di saat itu
kita pasti mikir, “Duh, kapan giliran
gue? Dia gimana ceritanya, sih sampai bisa sempro bulan ini? Apa coba
rahasiannya? Ntar, deh gue tanya-tanya. Pokoknya bulan depan gue musti sempro
juga. Titik.” or be like “Yahhh, gue
kok nggak lulus? Padahal gue jawab semua soal ujiannya perasaan bener-bener
aja, deh. Apa jangan-jangan jawaban gue kurang lengkap? Gimana coba si dia bisa
lulus? Nilai A pula? Belajarnya gimana, sih? Gue kepoin kali, ya, biar ntar pas
gue recourse, gue tahu siasat jawabnya biar bisa dapet A.”
But…
Kira-kira,
waktu kita liat temen kita jalan kaki, apa bener kita cuman ngerasa iba doang?
Kira-kira,
waktu kita denger temen kita dapet nilai yang lebih rendah dibanding kita, apa
bener kita cuman ngerasa kasihan doang?
Kira-kira,
waktu kita tau temen kita sempro, apa bener kita sepenuhnya termotivasi?
Kira-kira,
waktu kita dapet kabar kalo temen kita lulus matkul tertentu, apa bener kita fine-fine aja?
Gue
yakin, saat kita liat temen kita jalan kaki sementara kita naik motor, atau
kita denger temen kita dapet nilai lebih jebol dibanding kita, di saat itulah
kita merasa bersyukur. Dan gue juga yakin, saat kita tau temen kita sempro,
atau kita dapet kabar kalo temen kita lulus matkul tertentu, ada bagian
terkecil dari hati kita #cielah yang envy
; cemburu, iri dan ngerasa tersaingi.
Well, nggak usah bohong. Itulah Schadenfreude; kita bahagia
ngeliat orang lain susah, dan kita jadi kesusahan saat ngeliat orang lain
bahagia.
Q : “Eh, tapi gue nggak kayak gitu. Waktu temen gue
nggak lulus matkul, gue beneran ngerasa iba.”
A : “But, on the other hand, lo pasti merasa bersyukur. Karena lo bukan orang yang
nilai ujiannya paling rendah, kan?”
Q : “Eh, tapi gue beneran, waktu liat dia jalan kaki,
gue kasihan banget, serius.”
A : “But, on the other hand, lo pasti merasa bersyukur. Karena lo ngampus pake
motor, kan?”
Q : “Eh, tapi gue beneran, waktu si anu sempro, gue
termotivasi pengen kek dia juga.”
A : “But, on the other hand, lo pasti mempertanyakan dalam benak lo, kenapa dia yang orangnya biasa-biasa aja, bisa sempro
duluan. Padahal kalo dibandingin sama gue, kita tuh nggak jauh beda. Enak emang
dia, pembimbingnya mah enak juga.”
Q : “Eh, tapi gue beneran, gue pengen bisa lulus, terus
dapetin nilai kek si anu.”
A : “But, on the other hand, lo pasti merasa nggak adil dan mikir dalam otak lo, kenapa dia yang orangnya biasa-biasa ja, bisa lulus A.
Padahal kalo dibandingin sama gue, kita tuh nggak jauh beda. Enak emang dia,
deket sama dosennya.”
Mungkin kita cuman nggak sadar, bahwa kita tuh
sebenernya kayak gitu. Padahal kita tau, bahagia di atas kesusahan orang lain
itu nggak baik. Sedih karena liat orang lain bahagia pun juga nggak baik. Tapi,
kenapa kita tetap nggak bisa berempati sepenuhnya sama seseorang, sekalipun dia
adalah sohib kita sendiri?
Sebelumnya tadi gue sempat
bilang kalo Schadenfreude itu sama kayak bystander
effect, kan? Yap! Both of them are
shadow side as a part of our personality. Kalo kata Mark Twain, “Everyone is a
moon and has a dark side he never shown to anybody.” Kalo kata Jung, he stated bahwa dalam setiap diri manusia itu terdapat bagian
yang disebut dengan shadow (bayangan).
Nah, jadi menurut si Jun, shadow itu menunjukkan sisi gelap manusia dari
sekumpulan insting, naluri, dan dorongan negatif dalam diri seseorang. Dan yang
pasti, setiap manusia, sesuci apapun dia, selalu punya sisi gelap itu. Mau gimanapun
kita mencoba untuk menghilangkan sisi gelap itu, we never can do
it till the hell get freeze over.
Yang harus kita lakukan hanya menerimanya, terus berusaha untuk sadar bahwa
kita harus lawan sisi gelap kita.
Kasusnya misal gini, waktu
kita jadi mahasiswa, kita sering banget nganalisis atau paling tidak dengar
kasus seorang koruptor yang nyomot duit negara hingga bertriliun-triliun
rupiah. Gue yakin, kita pasti pernah geram banget sampai nggak sadar bilang
kalo para koruptor itu buta sama harta dunia. Padahal mereka itu pemimpin,
harusnya mereka sadar, akan tiba saatnya di mana mereka bakal punya
pertanggungjawaban yang besarnya segede gaban. But, siapa yang nggak tergiur sama duit? Bertriliun-triliun
rupiah? Secara cuma-cuma pula?
Sumber : Dokumen Teman Penulis |
Well, di posisi
kita yang kayak sekarang, kita pasti bilang cuman orang yang nggak kuat iman
doang yang bakal nerima duit sogokan macam koruptor kayak gitu. Tapi, coba aja
kita. Coba kita juga ada di posisi kayak mereka. Ada jaminan kita bakal bisa
suci tanpa dosa?
Itu tuh yang dijelasin sama Jung, bahwa nggak bisa kita lepas
dari sisi gelap kita. Makanya kita terima kehadiran dia, dan kendalikan. Kadang
sisi gelap itu muncul karena kebutuhan atau keinginan kita belum terpenuhi,
yaaa such as an unfinished business gitu,
deh. Makanya kita musti bisa mengendalikan sisi gelap itu dengan keimanan kita
sama Tuhan. Buat, gue, keyakinan kita sama Tuhan itu bener-bener bisa jadi satu
senjata paling ampuh untuk ngendaliin sisi gelap itu.
Nah, gue
ngebahasnya mulai ngelantur, nih.
Oke,
jadi niatnya ini gue pengen ngasih liat satu fenomena yang real terjadi dan gue pengen nanya ama lo semua. Kira-kira gimana
perasaan lo, dan apa yang terlintas di benaklo saat lo liat foto ini.
Sumber : Dokumen sohib di twitter |
5 detik.
7 detik.
13
detik.
25
detik.
Gimana?
Jujur,
ya, gue waktu pertama kali liat foto itu gue mikirnya, “Kasian banget, dia. Meski keadaannya gitu, masih semangat buat kerja.
Aku yang sehat jasmani gini, nggak kekurangan apapun, disuruh beli lpg pake
motor aja ngedumelnya setengah mampus.”
Ada yang
mirip-mirip gitu juga, nggak?
Jangan-jangan
gue doang yang sengklek banget, nih?
Guys, kalo kalian mikirnya kayak gue
juga, fixed banget, kita musti
bangun, cuci muka dan lari sekenceng-kencengnya sampai kita sadar bahwa hidup
kita yang menurut kita lebih baik dari dia yang di photo itu, bukan berarti hidup kita beruntung dan hidup dia nggak
beruntung. There’s no lucky or unlucky in
someone’s life. Ingat, itu udah takdir kita masing-masing. Nggak ada
istilah kita masih beruntung ketimbang orang lain; throw it away. Don’t let it happen; saat kita melihat photo itu,
kita kemudian merasa bersyukur atas diri kita. Fixed banget Schadenfreud. But, lagi-lagi itu
adalah sisi gelap kita sebagai manusia.
Mungkin bener,
kita harus sering nengok ke bawah, karena kalo liat ke atas mulu, nggak bakal
ada habisnya. Tapi, ingat, we are capable
feeling grateful without seeing unfortunate even of others. Never compare
yourself even your life to others just only to make you realize that your life
is beautiful. Your dark inside always be inside of you. But you have to know,
your life is complete with you are, with the way you have.
Jadi Schadenfruede ini salah satu jenis penyakit hati. pengidap penyakit liver, bahagia atau tidaknya hati cenderung selalu tersandar kepada makhluk.
BalasHapusBtw ane kemarin dapat nilai kurang menyenangkan dimatkul fisika kuantum hehe. Meski selalu ditekankan untuk terus syukur tapi sejujurnya hati ini tetap berat menerima. Beberapa saat, dapat info bahwa ternyata kebanyakan teman-teman yang lain nilainya lebih down, waduh entah kenapa hati ane kaya langsung bisa ikhlas menerima keadaan wkwk Mungkin seperti inilah alarm bahwa hati ini kotor.
Kajian management qolbu https://youtu.be/R3AblSMOZsY
https://youtu.be/TngVN2o7jMQ
Saya sarankan anda sering mendatangi dan mendengarkan ceramah guru-guru agama di daerah anda
Hapusmemaklumi bahwa kita manusia itu emang sah-sah aja, tapi gabisa memaklumi semua sisi "manusiawi" iti sepanjang waktu. yaaa kadang emang kita gasadar kufur nikmat, udah dikasih ini, maunya yang itu. terus habisnya kita baru ngucap syukur pas tau ada orang yang lebih parah hasilnya dibanding kita. sama aja sih, pasti kecewa dulu dapet segitu doang. tapi habis dibandingin sama yang lain, baru kita bersyukur. itu tuh schadenfreud; meskipun kita nggak bersenang-senang atas kesusahan dia, tapi kita senang karena ada yg lebih susah dari kita.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPS: zahaha, rasanya kata gak terlalu penting agak terlalu kasar :v, ok edit jadi, ya tetap aja jadi gak terlalu penting untuk cemburu dan bahagia atas dasar kesenangan dan penderitaan orang lain, tapi kaka sepakat bahwa istilah "Schadenfreud" sangat menarik untuk diteliti, ya memang manusia memang sangat menarik untuk diteliti, terlalu beragam.
BalasHapusBenar, itu hal yg tanpa di sadari di lakukan oleh semua orang
BalasHapusBahkan tak jarang ada yg bilang sudah ikhlas mendapatkan itu tpi masih aja ngomongin itu sampe lawan bicaranya bosen
Dan untuk foto tadi gak ada yg terlintas di pikiran, cuma tiba2 nangis waktu ngeliat foto itu dgn seksama, entah aku mikir apa tiba2 meluncur mulus aja nih air mata
lembut bingit hati lu kek sutra satin :')
Hapussadar atau nggak sadar, every one of us ngelakuin itu
mungkin nggak tau aja kalo namanya schadenfreud