How We Read the Book


 
Dokumen Penulis
How many books do you have completed in a year?

Itu pertanyaan yang ditujukan untuk diri gue sendiri mengingat bahwa semakin bertambahnya usia, gue semakin jadi orang yang sok sibuk dan belagak jadi perempuan yang gak punya waktu senggang meski cuman sekedar bikin diri gue sendiri happy.

Well, kalo boleh jujur, udah hampir tiga tahun berlalu sejak gue masuk kuliah, gue lewatin hari-hari gue pada saat itu tanpa bacaan yang bikin gue senang. Sejak gue kuliah, gue cuman baca buku kuliah doang, itu pun kebanyakan juga cuman dibaca doang, nggak dinalarin hahaha.

But, for me reading is important. Terlepas pada stigma bahwa, “Ih, lu sok-sokan baca buku.” “belagu lu.” “sombong lu.” dan semua hal serupa lainnya. Gue sempat mikir, bahwa baca buku itu bukan sekedar sebuah rutintias yang lo lakuin buat bikin orang lain mikir kalo lo itu orang yang pinter, intelek, cerdas, berkelas, berwibawa dan punya pengetahuan yang banyak tentang sesuatu. But menurut gue, membaca adalah kewajiban yang perlahan gue coba untuk jadikan sebagai suatu hak buat diri gue sendiri. Gue merasa bersalah sama diri gue, terutama sama otak gue yang selalu gue paksa untuk mengerti semua hal tentang fisika dan pendidikan sementara otak gue sendiri punya kapasitas yang terbatas banget. Padahal tidak semua bagian dari otak gue suka fisika dan menerima semua hal tentang fisika. Gue tahu, kok apa yang sebenarnya otak gue suka. Cuman semenjak gue memutuskan untuk kuliah, gue merubah semua kebiasaan-kebiasaan gue dan habit yang hampir selalu gue lakuin sejak dulu. And automatically, otak gue harus beradaptasi dengan perubahan yang gue buat.

The one that I wanna say here bukan tentang fisika yang mengacaukan semua hal-hal kesukaan gue. Tapi, tentang kekeliruan gue dalam menyusun strategi saat menghadapi dunia perkuliahan. Dulu, gue selalu memprioritaskan kuliah gue dan mengesampingkan hal-hal yang gue suka. Gue selalu meyakinkan diri gue bahwa gue bisa menahan diri gue, gue bisa mengendalikan keinginan gue untuk tidak melakukan ini-itu. Dan ternyata, hasil yang gue peroleh dari perkuliahan gue juga biasa-biasa aja, nggak muluk-muluk amat.

Reading is how we discover new things and how we develop a positive self-image. The ability to read is a vital skill in being able to function in today's society. Reading is important because it helps to expand the mind and develops the imagination.

Dan gue memahami statement itu sejak gue SMP. Apalagi waktu gue SMP, gue punya temen yang hobi bangettt baca buku. And she became my library. Gue bisa minjam novel-novel fiksi Indo dari dia dan gue bebas ngebalikin tuh novel kapan aja. Ditambah waktu SMP, hari-hari yang gue punya berasa sangat menyenangkan; nggak mikirin banyak hal, nggak ngerjain banyak tugas, nggak punya beban buat ngajar sana-sini, nggak sibuk prepare buat kuliah besok, nggak neko-neko, deh pokoknya. Dan gue sangat menyusukuri setiap 24 jam yang berlalu waktu gue SMP dulu. Gue ngerasa setiap yang berlalu sewaktu gue SMP dulu adalah hal-hal yang nggak sia-sia. Hasil belajar gue nggak sia-sia, kegiatan sekolah gue kayak ekskul dan bimbingan olim nggak sia-sia, minat dan bakat gue dalam bidang kepenulisan juga nggak sia-sia. Everything is worth. Gue masih bisa tidur siang, masih bisa nongki-nongki di perpus sekolah, masih bisa ketawa-ketiwi sebagai penggemar K-pop sama temen-temen satu aliran gue. Dan gue bisa namatin satu novel fiksi cuman dalam waktu satu hari saat itu. It was my best achievement on reading score.

Time passed away, dan hampir nggak ada yang berubah ketika gue SMA. Gue masih bisa baca novel-novel fiski luar, masih bisa masuk sepuluh besar pas SMA meskipun survive kayak orang tertatih-tatih dulu, masih bisa tidur siang, masih bisa ngumpul-ngumpul sama sohib gue, masih bisa nulis bahkan gue selesaian satu naskah utuh, masih bisa ikut lomba-lomba di bidang yang gue suka, masih bisa ngelakuin banyak hal yang bisa bikin gue seneng. Dan achievement terbaik gue untuk reading score saat itu adalah bisa nyelesaiin The Broken Wings punya Kahlil Gibran dalam waktu satu bulan.

Gue merasa saat itu adalah saat-saat paling productive gue. Gue bisa baca, bisa nulis, dan bisa ngomong dalam waktu yang nyaris bersamaan di platform terbaik yang pernah ada buat seorang anak SMA. Dan gue sangat mensyukuri semua saat-saat terbaik yang sempat gue punya di masa gue sekolah gue.

Kalo inget-inget hasil belajar gue pas kuliah, ditambah sama kenyataan kehidupan mahasiswa kayak gue sekarang ini, gue selalu mempertanyakan sama diri gue sendiri, “Ke mana lu selama ini? Kehilangan semua hal yang bisa bikin lu bahagia demi mengedepankan sesuatu yang teramat subjektif untuk dinilai?”

Dan sekarang gue menyadari, (sebenarnya udah sadar sejak beberapa bulan yang lalu, sih hehehehe) kalo gue tidak perlu menahan diri gue buat bisa happy hanya karena ingin mendapatkan sesuatu yang belum tentu bisa bikin gue bahagia. Do everything that makes me happy.

Oke, ntar gue out of topic lagi hahaha. Jadi, di postingan ini gue pengen ngebahas tentang gimana gue sekarang mencoba untuk menemukan hal-hal yang gue senengin dengan cara kembali membiasakan diri untuk membaca buku. But, before we talk about it, I guess you never try to understand why I do fall in love with a thing called book?

Satu alasan utama yang bisa bikin gue doyan baca buku, adalah gue bisa melupakan semua kejenuhan gue tentang sesuatu yang tidak bisa gue ekspresikan dalam bentuk tulisan. Btw, jangan di sangka otak gue lancar terus kalo nulis sesuatu. Kadang ada saat di mana gue tidak punya cara untuk mengeluarkan kekecewaan atau kekesalan yang gue pendam sendirian. Buat gue nulis itu terapi, dan membaca adalah pil yang harus gue minum untuk segera melepaskan kegundahan yang diri gue dera. Meskipun buat beberapa orang, membaca buku bukan suatu hal praktis yang instant langsung bisa kita rasain efeknya, entah kenapa gue ngerasa berangsur-angsur pulih dengan baca buku. Seperti menemukan cara pandang baru dalam setiap tulisan yang gue baca, dan hal itu bisa membuat gue merasa lebih baik. Cielah hahaha.

Tapi, jujur, ada sedikit rasa sesal yang menyelip di hati gue karena di saat-saat gue punya segudang waktu buat baca buku, gue justru memilih genre fiksi. Satu di antara banyak genre yang nampaknya tidak memberi banyak feedback buat diri gue. Yaaa, I mean, kenapa dulu gue baca novel fiski yang nggak mungkin bakal banget alur ceritanya bakal terjadi sama diri gue, gitu? Hidup gue emang nggak seindah romance fiksi, tapi hidup gue bakal tetap indah meskipun kagak sama kayak romance fiksi. Gitu, kan harusnya?

Meskipun terlambat, kira-kira satu tahun yang lalu gue udah mulai berpindah haluan; dari yang doyan romance mencoba untuk mencintai ilmu pengetahuan, hahahaha. Gue mikir ada kesalahan sama otak kiri gue kita memahami bahwa buku adalah jendela dunia. Susah untuk melihat dunia kalo yang dibaca tentang naskah fiksi doang. Tapi, bukan berarti membaca buku fiksi tidak bagus, lhooo ya. Gue nggak bilang nggak bagus. Cuman, alangkah lebih bagus lagi kalo apa yang kita baca ternyata bisa menambah pengetahuan kita tentang hal-hal yang kayaknya important banget dan wajib buat kita tahu.

Tapi, ada beberapa orang yang emang nggak suka baca buku. Consuming much time, for a reason. Yaaa, emang, sih gue tahu kalo manusia macam gue nggak butuh waktu satu bulan apalagi satu minggu buat namatin satu buku. Tapi, dari semua hal yang disebutin sama Steven Dowshen, cuman membaca doang yang paling simple. “Use your brain by doing challenging activities, such as puzzles, reading, playing music, making art, or anything else that gives your brain a workout.”

Gue juga mencoba untuk memaklumi diri gue untuk tidak memaksakan diri buat membaca buku. Karena ya, tadi. 24 jam yang gue punya sekarang kayak berlangsung seperti kecepatan cahaya. Dan itu yang bikin gue sangat selektif untuk membaca buku. Bukan karena buku-bukunya, tapi karena guenya; gue yang terbatas dalam perihal waktu dan kesempatan. Gue memutuskan untuk baca buku setelah gue yakin tuh buku emang layak buat dibaca dan pantas buat jadi asupan pengetahuan dalam otak gue. Emang, sih, gue sempat kegoda waktu orang-orang di situs web pada ngebahas tentang novel romance, science fiction, dan genre lainnya yang nggak masuk list gue sekarang ini. Tapi, lagi-lagi sadar, hidup gue singkat dan waktu gue nggak sebanyak kayak gue sekolah dulu. Jadi, mau nggak mau, kalo gue pengen dapetin sesuatu yang nggak bisa didapetin orang banyak pada umumnya, gue harus baca buku yang nggak dibaca orang banyak pada umumnya (bikin prinsip hidup sendiri).

Okedeh, sesuai tajuk gue tadi How We Read the Books, lo bisa mulai dari apapun yang lo suka. Such as lo suka buku leadership, biography, romance, science fiction, popular science, memoir (memoar kalo kita bilang), literature, sastra klasik atau apapun itu yang bisa bikin lo seneng. Basically, setiap buku itu punya keistimewaannya masing-masing, bahkan fiksi sekalipun. Gue seneng baca Harry Potter, seneng sama John Green, Kahlil Gibran, Mark Twain, dan penulis fiksi lainnya. Cuman ada satu keistimewaan yang ngebedain mereka sama buku genre popular science. Yup, knowledge.

Cari tahu, kalo lo suka buku itu, kenapa lo harus baca. Apa yang pengen lo dapetin dari buku yang udah lo putuskan buat lo baca. Jangan baca buku karena lo penasaran dong. Karena kalo rasa penasaran berakhir dengan ending yang tidak sesuai dengan ekspetasi dalam imajinasi lo, lo bakal kecewa. (Ending-endingan ini, nih yang bikin gue rada males buat baca novel fiksi, but everything depends on yourself)

Buat target. Lo pengen selesain baca tuh buku dalam waktu berapa lama. Satu minggu, satu bulan, satu tahun, satu windu, satu decade, atau berapa lama. Buat gue, target itu penting. Bikin kita jadi orang yang disiplin dan nggak menyepelekan waktu. Cuman sayangnya, gini. Gue rada susah menerima tatapan orang-orang kalo gue lagi baca buku di waktu-waktu senggang gue. Seolah-olah ada yang aneh, ada yang nggak pas, gitu. Padahal situasi orang-orang yang lagi main gadget terus heboh di Ig kayaknya nggak digitu-gituin amat. Susah emang kalo udah menyangkut kebudayaan.

Dapetin semua informasi yang ada dalam buku yang lo baca. Kalo lo nemu istilah baru, cari tahu. Misal gue, mahasiswa fisika, waktu baca buku (e-book, sih sebenarnya hahahah) 1984, mendadak gue jadi orang bego. Dari situ gue sadar sesadar-sadarnya, bahwa apa yang gue tahu tidak lebih dari seujung kuku ponakan gue yang baru lahir tahun lalu. Dan setelah gue tahu istilah-istilah zaman politik kayak gitu, gue bisa meng-appreciate diri gue sendiri bahwa gue tidak sebego yang gue kira.

Btw, ngomongin soal buku. Jangan lo kira baca buku sekarang adalah sesuatu yang mahal. Emang harga buku mahal, apalagi kalo isi bukunya pake kertas storenso (wangi khasnya bakal kayak novel-novel, gitu). Tapi, gue yakin, penulis yang baik itu tidak mengedepankan komersil. Lo tanya aja ama penulis, kenapa mereka nulis. Nggak ada yang ngasih jawaban kalo duit adalah alasan utamanya. Beside of it, karena gue juga pernah nulis, gue rasa penulis sudah cukup sangat merasa bahagia kalo tulisannya dibaca dan memberi kebaikan buat readers-nya. That’s pretty enough, I think.

Jadi, kalo ditanya gue biasa baca buku darimana, jawabannya yaaa dari pdf. Gue unduh, terus gue baca. Sesederhana itu? Emang. Tapi, cukup bikin gue merasa bersalah sama penulisnya karena itu adalah satu-satunya cara yang bisa gue lakuin buat bikin diri gue bahagia. I’m so sorry for everything I have done to all author that I had eaten your script without any effort.

Dan terakhir dari gue, bacalah buku karena lo berhak baca buku, bukan karena tuntutan atau kewajiban apalagi karena suruhan dari orang-orang yang nggak berhak untuk mengontrol hidup lo. Membaca adalah sebuah hak yang harus diri lo terima untuk bikin lo bahagia dengan cara yang berbeda.

"Reading is a basic tool in the living of a good life."
Mortimer J. Adler

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020