Difabel Must be Able
Physics Education Study Program
Lambung Mangkurat University
Dokumen Penulis
Well, I don’t wanna like to say
that
Banjarmasin is the most city for everything. Banjarmasin
bukan kota yang paling romantis, bukan kota yang paling indah, dan dia juga
bukan kota yang paling banyak jadi tujuan destinasi buat wisatawan. Cuman ada
beberapa hal yang bikin Banjarmasin jadi kota yang berkesan, absolutely for me and I think for everyone
who ever has spent their time here. Banjarmasin itu kota yang hangat, dia
nggak sibuk kayak kota-kota lain di Indonesia, dia juga bukan kota yang sumpek
dan penuh polusi, bukan kota yang dijejali dengan kemacetan dari beragam sarana
transportasi. The point is that’s the
reasons.
And I do like to give warn for us
bahwa setiap dari kita punya hak untuk nikmatin kenyaman Kota Banjarmasin. Terlepas
apapun latar belakang kita, baik itu penduduk asli, warga pendatang, maupun
cuman sekedar pelancong yang pengen ngerasain gimana hidup di Kota Seribu
Sungai. I think, kita berhak merasa nyaman entah siapapun kita, orang dewasa,
pekerja kantoran, anak sekolahan, mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, dan yang
nggak kalah pentingnya adalah orang-orang berkebutuhan khusus.
Mau
nggak mau, suka nggak suka, kita nggak bisa berlagak nggak tau dan sok-sok-an nggak peka sama keberadaan
orang-orang berkebutuhan khusus di sekitar kita. Karena pada dasarnya mereka
adalah bagian dari anggota masyarakat. So, we don’t have any reasons untuk mengesampingkan hak-hak mereka dalam melakukan
aktivitas, meskipun hanya sekedar buat jalan-jalan pagi dan nikmatin hangatnya
sore hari di Kota Banjarmasin.
Honestly, I feel worry about disability,
especially for people of blindness. Karena kalo dilihat
dan ditinjau secara mendetail, penyandang tunanetra di Banjarmasin itu punya
keluhan yang sangat banyak, satu yang paling krusial adalah dalam hal
aksesibilitas. Yaaa, we know that
blindness is something which makes you terrible. Dan kalo misal akses buat para
tunanetra itu sangat minim di Kota Banjarmasin, I’m sure they can’t feel the sense and won't agree with us kalo Banjarmasin itu sebenarnya adalah kota yang hangat.
Fortunately, a few months ago, I
read an article yang ngebahas soal preparation dan
kebijakan Pemerintah Banjarmasin buat jadi kota ramah difabel. My first impression on its, sounds like “Wow,
bagus, nih.” Setidaknya, perlahan pemerintah kota mulai menunaikan
kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap penyandang disabilitas. Yaaaa,
emang terkesan terlambat, sih, karena di kota-kota lain di Indonesia udah
banyak banget yang start lima tahun
yang lalu, tiga tahun yang lalu. Tapi, yang pasti tidak ada kata terlambat dalam upaya menyejahterakan masyarakat.
After time spent a long,
di tahun 2018 pemerintah Kota Banjarmasin udah mulai serius buat nepatin janji
mereka dalam pembangunan akses bagi penyandang disabilitas. Btw, sebenarnya Kota Banjarmasin udah
deklarasiin diri buat jadi Kota Inklusi sejak 2013, based on Peraturan Daerah Kota
Banjarmasin Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas. Tujuannya, sih buat ngejamin kelompok minoritas,
penyandang disabilitas dan masyarakat miskin biar bisa merasa nyaman, nggak
merasa disingkirkan, mendapat faslitas dan layanan yang setara dengan
orang-orang normal lainnya. Meskipun udah promote sejak 2013, proyek besar-besaran dalam pembangunan yang fokus bagi penyandang disabilitasnya baru
bisa keliatan di tahun 2018. As long as we know, kota inklusi harus punya
tiga aspek utama yang saling berkaitan signifikan yakni berpihak kepada kelompok
rentan yang marginal termasuk penyandang difabel, layanan publik yang ramah
terhadap kelompok rentan misalkan lansia, anak, perempuan hamil dan penyandang
difabel di setiap tingkatan dan sektor sama masyarakatnya juga harus mampu menerima
berbagai bentuk keberagaman dan perbedaan, dan mengakomodasikan dalam berbagai
tatanan dan infrastuktur yang ada.
Sebenarnya pas 2016 kemarin itu, pemerintah udah mulai start, but according to my opinion, semuanya masih ngadat, gitu. Kasus
utamanya adalah trotoar buat penyandang disabilitas. For me, the stuff is very important. As long as I know, di Banjarmasin itu ada sekitar 30 orang
tunanetra, dan ada lebih dari 50 orang yang duduk di kursi roda. Cuman sayang
banget, trotoar yang dibangun pas 2016 kemarin itu belum ramah buat orang-orang
kayak mereka.
Btw, trotoar yang paling terkenal buat penyandang disabilitas itu ada di
Jalan Belitung. Kalo kita lihat kondisi trotoarnya, sih emang belum ramah. Kayak
misal, guiding block-nya putus karena
kehalang pohon, terus trotoarnya terlalu sempit, dan parahnya adalah karena di
daerah Belitung itu adalah daerah sungai, ada trotoar dengan guiding block yang ngarah ke sungai. It’s too harm. Apalagi ditambah sama
tanjakannya yang terlalu curam, jadi buat yang pake kursi roda harus ngedorong
kursi rodanya dulu. Buat yang tunanetra juga ngerasain hal yang serupa, sering
kaget kalo ngadepin turunan trotoar karena nggak ada tandanya. Dan yang paling sering
dikeluhkan adalah keramiknya. Keramiknya terlalu licin, apalagi kalo habis
hujan, licinnya kebangetan. Harusnya, kan dibikin agak lebih kasar biar
koefisien geseknya juga gede (ini fisika bangettt hahahah), biar ntar gaya
geseknya juga besar. Ending-nya, para
penyandang disabilitas, terutama tunanetra nggak perlu worry lagi kalo lewat trotoar yang emang sebenarnya ditujukan buat
mereka.
Jangan sampai jalur trotoar buat penyandang disabilitas nantinya cuman jadi
sekedar aksesoris doang. Padahal dana yang dikeluarin
pemerintah nggak tanggung-tanggung, 9 Milyar. Bayangin kalo beli pentol daging,
dapet berapa banyak, hihihi. Gimanapun juga, anggaran yang sudah disiapin,
rencana yang udah dibangun di jauh-jauh hari, harus bener-bener bisa
diimplementasikan dengan proporsi yang layak dan pantas.
Beruntungnya,
di tahun ini, yaaa meskipun ngadepin problematika yang hampir sama, guding
block kehalang pohon atau keputus jembatan, pemerintah kota Banjarmasin punya
tekad yang kuat buat bener-bener ngebangun kota yang ramah bagi difabel. Satu persatu
pembenahan mulai dilakukan. Kita bisa lihat bukti nyatanya di depan kantor PDAM
Kota Banjarmasin yang sekarang udah disulap buat jadi trotoar yang
ramah-seramah-ramahnya buat penyandang disabilitas. Awesome!
Keseriusan
Pemerintah Kota Banjarmasin juga bisa lihat dari berbagi bidang, muali dari bidang
pendidikan, there is 9 piloting schools of
640 for Inclusive Education in Banjarmasin. Terus juga ada pengadaan
guru-guru khusus inklusi lewat kerja sama dengan Universitas Lambung Mangkurat
melalui Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan KKG (Guru Khusus
Inklusi). Beside of it, juga ada sarana buat difabel di
puskesmas-puskesmas. Terus juga ada pembangunan jalan dan jembatan beton sepanjang
27 km dan lampu penerangan buat kemudahan akses bagi penyandang disabilitas.
Next, the most important point lainnya adalah kebijakan yang pemerintah lakuin harus diimbangi
sama sikap dan penerimaan oleh masyarakat. Karena percuma, kalo cuman
pemerintah doang yang mikirin hak-hak mereka, sementara kita sibuk
mengesampingkan kewajiban yang harus kita tunaikan sama orang-orang kayak
mereka. Mau gimanapun juga, kita adalah bagian dari anggota masyarakat, begitu
pula halnya dengan mereka. Jadi, jangan sampai kita nggak ikut berkontribusi
sama pembangunan dan upaya dari pemerintah buat orang-orang difabel di
Banjarmasin.
Btw, sedikit cerita, every sunday morning I see anak
tunagrahita yang doyan banget mampir ke lapak baca Literasi Banua, (buat yang
belum tau Literasi Banua, silahkan search
di medsos kalian, kita mejeng tiap
minggu pagi di Taman Kota Kamboja). Melihat sekilas, kita udah bisa
mengidentifikasi dia anak berkebutuhan khusus. Mulai dari cara bicara dia, gaya
berjalan dia, lelucon-lelucon dia, sampai ke pertanyaan-pertanyaan yang sama yang
selalu dia utarkan setiap minggu. Awal mulanya, I think he’s abnormal, dan jujur pertama kali ketemu ada sedikit
kecanggungan buat ngajakin dia baca buku. Tapi, dari kecanggungan itu, I realize that I just have to give a welcome
hand biar dia ngerasa bahwa dia itu
special bukan dalam artian “khusus”
layaknya kayak orang-orang lain definisikan, seolah-olah ada batasan antar
orang normal dan difabel. Special di
sini berarti dia unik dan perbedaan yang muncul dalam diri dia itulah yang
bikin dia istimewa, serupa sama kita yang normal.
Cuz I know, hal terbaik yang bisa kita
lakukan untuk bikin dia dan orang-orang kayak dia ngerasa nyaman, adalah
penerimaan. Kita tidak memandang mereka sebagai bagian yang harus diasingkan, tidak
menganggap mereka sebagai minoritas yang hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
doang. Tapi, di sini kita memposisikan diri dan berempati sebagai bagian dari
lingkungan mereka. Kalo mereka udah merasa nyaman, maka kerja pemerintah juga
pasti bakal lebih mudah. Kalo udah kayak gitu, we all can enjoy spending our time in Banjarmasin without disparate if you’re
normal or not. Karena siapapun kita, kita berhak ngerasa nyaman di kota
tempat kita tinggal.
Dengan semua
kebijakan yang udah pemerintah lakuin, I hope ke depannya Kota Banjarmasin
benar-benar punya legalitas buat mendeklarasikan diri sebagai kota ramah
difabel dan terus berupaya buat meningkatkan kinerjanya dalam mewujudkan visi
tahun 2016 lalu. Nggak kalah penting lainnya adalah camkan dalam diri kita
masing-masing, bahwa orang difabel bisa menikmati semua hal yang ada di Kota
Banjarmasin dan pastikan mereka merasa nyaman buat nikmatin itu semua. Dan kita,
punya tanggung yang jawab yang sama buat bikin mereka merasa nyaman di mana pun
mereka berada. The
point is that’s the things that we have to do.
***
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar