I am Fine
What can you find? |
It’s quite rare to find someone who sees the same world you see
(John Green in Turtles All the Way Down : 9)
Sebagai seorang manusia yang nggak sempurna, dan nggak bakal mendekati
sempurna, terkadang gue ngerasa ada yang salah sama diri gue. Gue ngerasa gue
punya kekurangan yang porsinya jauh lebih banyak daripada orang-orang di
sekitar gue. Nggak jarang gue juga mikir, apakah gue punya kelainan? Atau jangan-jangan
gue nggak normal?
Jujur, gue rada worry juga,
sih kalo misal ada orang yang ngganggep gue aneh, nggak jelas, atau pikiran-pikiran
lain semacam itu, karena sejauh ini gue mendapat banyak komentar dari
orang-orang di sekitar gue. Okay, jadi gue sekalian mau cerita, beberapa bulan
yang lalu gue punya masalah sama kedua telinga gue. Sempat ngerasa sakit dan
berdengung sampai akhirnya gue didiagnosa OME.
Waktu itu gue takut banget. Karena
fyi, gue tuh tipikal orang yang kalo ngadepin masalah, mikirnya jauh bangettt
ke luar konteks, malah nggak mikirin masalah yang di depan mata. Gue takut
karena OME, terus nanti gue jadi tuli, terus gue nggak bisa menggunakan indera
pendengaran gue lagi untuk selamanya. Parah banget, kan? Gue mikir ampe gue
tuli, coba?
Kemudian seiring waktu berlalu, sakitnya tambah parah, tapi, waktu itu juga
gue meyakinkan diri gue kalo gue nggak apa-apa, gue baik-baik aja, telinga gue
normal dan diagonosa OME tidak akan mengganggu atau menghambat aktivitas gue. Nah,
keyakinan itu akhirnya membuat gue berhenti berobat, karena gue ngerasa gue
udah baikan, meskipun terkadang gue emang terlambat sepersekian detik untuk
mencerna informasi yang digetarkan sama medium rambat (udara). Misalnya gini, waktu dosen gue jelasin tentang listrik dinamis. Beliau bilang “Direct current”, nah waktu beliau ngucapin dua kata itu, pada detik
yang sama temen-temen gue sudah mengolah kata current dalam otak mereka, sementara otak gue baru menerima kata direct. Dari keterlambatan indera
pendengaran gue itulah akhirnya gue menyadari bahwa otak gue harus sepersekian
detik lebih cepat dari temen-temen gue untuk mengolah setiap kata dari
informasi yang gue dengar.
Dan akibatnya bikin sedih, sih. Karena otak gue dipaksa untuk berpikir
sedikit lebih cepat, akhirnya kalo ngomong, gue ngomongnya jadi cepat juga. Sedemikian rupa gue sudah mencoba untuk mengontrol pembicaraan gue, tapi
susah banget ternyata. Bahkan kadang, kalo lagi ngomong, orang-orang yang gue
ajak ngomong kayak nggak nangkep apa yang gue omongin. Sebagian dari mereka ada
yang bilang nggak dengar, ada juga yang bilang nggak jelas, ada juga yang minta
ulang, ada juga yang complaint ke gue
dan bilang kalo bahasa gue berbelit-belit.
Jujur, yah, waktu orang-orang ngomen kayak gitu gue takut banget. Gue
takut terkendala sama komunikasi diri gue sendiri. Apalagi gue orangnya suka
ngomong, suka cuap-cuap gitu. Nggak jarang kalo misal gue ngomong, terus ada
yang complaint minta ulang, gue justru
memilih untuk tidak meneruskan pembicaraan. Gue takut orang-orang merasa aneh
dan nggak nyambung kalo lagi ngomong sama gue.
Di titik itu, tiba-tiba gue dihantui pertanyaan seputar “Apakah gue baik-baik aja? Apakah ngomong
cepat itu adalah suatu kelainan? Apakah perintah otak gue untuk berpikir
sepersekian detik lebih cepat adalah hal yang nggak wajar?”
Berikutnya adalah kepribadian gue. Buat orang-orang yang sudah mengenal
gue dengan baik, I’m pretty sure kalo
kalian sudah mengkategorikan gue sebagai orang yang extrovert. Dan, hasil test psikologi dari website yang berbeda-beda juga bilang
kalo gue orang extrovert. Cuman,
jujur gue tidak mengakui kebenaran itu karena... karena gue tidak extrovert. Fyi, gue nggak punya sohib yang kayak orang lain punya. Gue nggak punya geng
yang ke mana-mana selalu bareng-bareng, dan nyaris setiap waktu gue habisin
sama diri gue sendiri. Maksudnya bukan berarti gue menyendiri. Gue duduk di
tengah kerumunan orang banyak, gue berada di keramaian, tapi gue sendirian. Dan…
dan gue ngerasa gue baik-baik aja pada saat itu.
Kalo boleh berbagi cerita, nih, ya, gue nyaris ke mana-mana hampir
selalu sendiri. Mulai dari aktivitas kampus, kayak misal belajar di lab, terus
makan siang, jajan, ngurus ini itu ke ruang dosen dan lain-lain nyaris gue
lakukan sendirian. Terus kalo misal di kelas, gue duduk di barisan paling depan,
dan gue duduk sendirian. Padahal di belakang gue, teman-teman gue pada welcome aja. Yaaa nggak ada apa-apa sebenarnya
antara gue sama mereka.
Gue nggak tahu ada apa sebenarnya sama diri gue. Gue bertanya-tanya
juga, sih, kenapa gue nggak punya teman bermain kayak teman-teman gue yang lain
punya? Kenapa gue nggak bisa nimbrung dan ikut
gabung kayak orang lain? Padahal jujur, ya, gue termasuk orang yang mudah
beradaptasi, tapi kenapa gue selalu sendirian.
Di situlah gue merasa ada masalah sama diri gue. Gue tidak bisa memahami
apa yang dipahami orang lain, dan orang lain juga tidak bisa memahami apa yang
gue pahami. Gue ngerasa, radar gue tidak bisa menemukan orang yang satu
frekuensi sama pikiran gue. Gue yang suka ngomongin masalah astronomi, cerita
mitologi, sejarah perang, filsafat pendidikan, hot news di media, terus gue
yang suka banget nganalisis hal-hal yang menurut kebanyakan orang nggak penting. Gue sulit menemukan orang yang bisa sejalan sama gue ketika gue ajak
ngomong seputar topik itu semua.
Awalanya gue takut, gue takut dipandang aneh karena sering sendirian,
gue takut dianggap egois sampai-sampai nggak ada orang yang jadi teman dekat
gue, gue takut dicap sebagai orang yang individual. Dan ketakutan itu kadang
bikin gue merasa bersalah sama diri gue sendiri. Gue merasa bersalah karena gue
tidak bisa mengatasi masalah yang gue punya.
Di titik itu tiba-tiba otak gue diserang sama pertanyaan “Apakah gue baik-baik aja? Apakah ke
mana-mana sendirian itu adalah suatu kelainan? Apakah radar gue terlalu susah
untuk dideteksi oleh orang banyak? Apakah gue yang tidak satu frekuensi dengan
orang-orang yang ada di sekitar gue itu adalah hal yang nggak wajar?”
Selanjutnya adalah sifat gue. Okay, gue terbuka, nih ya, jadi gue adalah
tipikal orang yang tidak suka diatur, gue tidak suka diperintah, dan gue juga
tidak suka bekerja dengan proposal atau arahan dari orang lain. Yup, sampai situ
dulu.
Honestly, gue sangat tidak suka diatur. Karena gini, ketika gue diatur, dan
aturan yang diberikan itu tidak sesuai dengan aturan yang gue anut selama ini,
gue nggak bisa jadi diri gue sendiri. Gue ngerasa bukan diri gue yang
menjalankan aturan itu. Dan karena sifat itulah, gue selalu muncul ke permukan
sebagai sosok pemimpin. Hal itu sangat-sangat
tidak mengenakkan karena gue takut kalo orang-orang mikir gue sok atau belagu. Padahal sebenarnya,
jujur dari niatan gue sendiri, gue sama sekali tidak ingin menjadi orang yang
paling menonjol ketika ada tugas kelompok atau kegiatan kolaboratif lainnya. Gue hanya merasa, aturan yang gue mainkan, adalah aturan universal yang
bisa diterima orang banyak. Dan di situlah letak kekurangan diri gue, yup,
terlalu meyakini diri sebagai pribadi yang punya strategi bekerja paling baik.
Sebagai orang yang tidak suka diperintah, gue merasa jauh lebih bermanfaat
ketika gue melakukan sesuatu atas dasar keinginan diri gue sendiri. Gue adalah tipikal
orang yang ketika sudah memilih sesuatu, gue bakal concent di sana habis-habisan. Karena gini, nih, ketika gue diperintah,
ada banyak bagian dari tubuh gue yang bekerja, mulai dari otak sampai anggota
gerak. Dan ketika otak bekerja, kemudian anggota gerak melakukan respon dari
stimulus perintah otak, maka energi yang kita sediakan nggak boleh sedikit,
harus melimpah. Dan itu yang bikin gue malas banget bekerja atas dasar
perintah. Tapi, ketika gue melakukan sesuatu atas dasar keinginan gue sendri, hanya
ada satu bagian dalam diri gue yang bekerja, yaitu hati. Cuman hati doang.
Tapi, masalahnya adalah, sifat sialan gue itu bikin gue jadi orang yang
tidak suka menerima saran dari orang lain. Gue selalu merasa bahwa apa yang orang
lain tawarkan, nggak bakal pernah memenuhi kriteria yang gue mau. Di situlah gue
merasa takut dicap sebagai orang yang perfectionist. Padahal, di awal, kan gue udah bilang gue bukan orang seperti itu dan tidak
akan pernah mendekati seperti itu.
Ketika ada orang lain yang bilang gue orang yang perfectionist, di saat
itulah gue menyadari, bahwa tidak semua orang punya sudut pandang yang sama
kayak gue. Btw, gue bukan orang yang tidak suka dikritik, ya. Hanya saja gue tidak suka menerima kritikan yang tidak ada pada diri gue.
Sebenarnya, kesempurnaan yang gue tuntut dari orang-orang (sebutlah mereka yang
satu kelompok tugas sama gue) bukanlah sebuah kesempurnaan yang selama ini
diasumsikan sama mereka yang bilang gue perfectionist. Gue tidak menuntut hasil
yang benar, gue hanya menuntut untuk bekerja sungguh-sungguh. Gue nggak
masalah, kok pas tugas kelompok ternyata ada hasil kerjaan yang salah atau
keliru. Yang penting dia udah mau berusaha dan belajar untuk melakukannya
dengan sungguh-sungguh. Cuman itu doang, cuman sekedar dia kerjain, dia
berusaha dan sungguh-sungguh ngelakuinnya.
Apa bener gue perfectionist?
Apa nggak ada orang lain yang bisa memahami maksud gue?
Apa hanya gue yang punya retina penglihatan kayak gini?
Mengutip apa yang ditulis sama John Green di kalimat pembuka postingan
gue, gue jadi sadar. Mungkin selama ini gue dan
orang-orang memang melihat langit yang sama. Cuman kita memandang bintang yang
berbeda. Dan perbedaan antara gue dan orang-orang nyatanya tidak bisa
diidentifikasi. Gue nggak tahu orang-orang memandang bintang apa, dan
orang-orang juga nggak tau gue memandang bintang apa. Mungkin mereka mikir gue
cuman memandang langit kosong, hampa, tanpa apa-apa. Padahal otak gue memproses semuanya dalam waktu yang sangat cepat. Padahal
pikiran gue rumit, runyam, penuh sama tanda tanya perihal diri gue sendiri. “Apakah gue baik-baik saja? Apakah gue
normal? Apakah kepribadian gue ini wajar? Gue nggak kelainan, kan?”
Dan, yaaa, gue baru memahami, bahwa untuk menemukan orang lain yang bisa
melihat dunia dengan cara yang sama seperti yang kita lihat, maka kita hanya punya dua pilihan. Menemukan orang itu di dalam diri kita sendiri, atau menemukan diri kita sendiri di dalam diri orang itu.
Komentar
Posting Komentar