Hati-Hati Perihal Hati





Gue nggak tau kenapa kita justru balas-balasan perihal kayak gini di postingan blog masing-masing. Yeah, I know, this is us. Itu adalah cara kita nunjukkin apa yang harus kita tunjukkin seolah-olah ini cuman prolog yang bakal berarti kalo lo buka blog gue dan baca postingannya.

Mungkin nggak ada yang salah sama kita, Ki. Nggak ada ketentutan yang melanggar seorang sahabat buat minta sahabatnya balik lagi, nggak ada aturan yang bilang kalo sahabat lo bakal mati selama-lamanya saat kalian udah nggak  jadi kalian lagi. Semuanya cuman tentang bagaimana kita menghadapi situasi ini aja, kan? Sejak dulu permasalahan kita terletak pada bagaimana sikap kita nerima keadaan yang serumit ini. Bukan soal lo yang berubah jadi sok sibuk atau gue yang jadi manusia pemakan waktu, tapi ini semua karena kita yang nggak pernah kayak gini sebelumnya. Kita nggak biasa. Kita nggak bisa.

Gimana mungkin gue bisa ngelupain lo, Ki? Selama ini gue cuman belajar buat bisa terbiasa hidup tanpa lo doang. Nggak ada alasan yang harus bikin gue ngelupain lo. Rasanya mustahil buat ngehapus semua kenangan gokil kita waktu dulu. Dan lo sendiri? Setidaknya lo udah bergerak beberapa langkah di depan gue dan udah got someone, meskipun gue yakin, there’s no one like me. Gue; limited and the only one.

Perihal kesepakatan kita dan pertanyaan lo yang bilang apa kita nggak bisa mulai lagi. Gue nggak tau, seberapa pantas gue buat ngasih jawaban itu, Ki. Sebenarnya bukan “Apa kita nggak bisa…?”  tapi lebih ke arah “Apa kita masih bisa…?”

Kalo lo nanya sama gue apa kita nggak bisa restart semuanya lagi, jawaban gue tentu aja bisa. Nggak ada yang sulit buat kita selama kita memiliki kita, Ki. Cuman permasalahannya adalah, Apa masih bisa? Apa masih bisa kita yang sekarang restart sesuatu yang mengarah ke arah kita yang kayak dulu? Apa masih bisa kita yang sekarang mencoba peruntungan buat kembali lagi ke masa-masa kita sewaktu dulu? Sulit, Ki. Sulit banget. Gue nggak yakin kita bisa ke arah sana sementara kita sekarang udah begitu jauh. Kita sekarang bukan kita yang kayak dulu lagi, kan? Lo sama hidup lo, dan gue sama hidup gue. Walau terkadang, gue emang kepoin keseharian lo. Dikit.

Tawaran lo buat restart lagi bakal jadi pertimbangan yang nggak bakal bisa ngasih keputusan final, Ki. Terlalu berat buat gue (terutama) buat ngadepin lo dan perasaan kita masing-masing. Well, gue emang menyerah sebelum bertanding, gue takut bertanding, Ki. Gue takut kalo-kalo keberanian gue berujung fatal dan berakibat pada semakin buruknya keadaan kita.

Ngebangun komunikasi kayak gini aja susahnya minta ampun, Ki. Kita harus jadi stranger selama hampir setahun lebih dan berpura-pura jadi orang yang nggak saling kenal selama hampir dua tahun. Gimana mungkin secara tiba-tiba lo justru minta gue buat kita restart lagi? Semudah itu? Sesimple itu? Segampang itu buat lo? Sementara gue di sini terus maksa diri buat bisa berdamai dengan perasaan gue sendiri.

Apa lo pikir perasaan gue selama ini tenang-tenang aja? Apa lo nggak tau, Ki, ngepoin lo dari Tania itu bikin gue lega dan kecewa secara bersamaan. Apa lo nggak nyadar gue ngerasa kehilangan tepat setelah lo posting keberangkatan lo ke Yogya dua tahun lalu? Kenapa sih sikap kekanakan lo justru ngalahin kita? Apa alasan logis lo jadi sampai ninggalin gue yang nggak punya sahabat lagi di sini? Kenapa harus kayak gini sih, Ki? Siapa tersangka di atas semua ini? Gue korban utama yang harus nanggung kesedihan dan kepiluan hari demi hari karena keputusan sialan lo itu. Dan lo adalah korban sekunder yang bersikap jadi manusia bijak karena alasan kepentingan kita berdua.

Apa sebegitu beratnya persaan yang harus lo tanggung sampai-sampai lo nggak bisa bedain, mana hati buat sahabat lo, dan mana rasa buat orang yang lo taksir. Mungkin ini juga salah gue, yang ngerasa semua yang lo kasih ke gue itu adalah lo sebagai mega bestfriend gue. Sesederhana itu memang pola pikir gue. Dan parahnya adalah gue buta sama kehadiran lo di waktu-waktu berat gue dulu.

Ketika kemudian kita bicara perihal hati, perihal rasa, perihal hal-hal yang berkaitan dengan perasaan masing-masing, apa sebenarnya kita nggak pernah hati-hati, Ki? Apa waktu dulu kita nggak pernah hati-hati bicara masalah hati sampai akhirnya kita justru complicated kayak gini?

Next, gue kehabisan kata-kata buat ngetik.

Terakhir, gimana kalo kita sekarang berdamai? Lo yang berdamai dengan perasaan lo, dan gue yang berdamai dengan perasaan gue. Setelah itu, kita bisa bicarin ini seiring berjalannya waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020