Pesan Eirene

DC : ~


Pagi itu aku menatap sekeliling langit dengan penuh ragu. Masih ku dapati bulan yang bersinar terang dengan berhias birunya rona malam. Sesaat aku menghembuskan nafas panjang begitu melirik arloji di lengan kiriku; 05.50. 

Jangan-jangan Rangga hanya ingin mengerjaiku saja?

“Rara!” dari kejauhan, ku lihat seorang anak laki-laki yang melambaikan tangan kanannya seraya berlari ke arahku. Bayangannya seolah berbaur dengan tanah karena terpantul cahaya remang dari lampu di pinggir jalan.

“Maaf, telat ya, Ra!” ku dengar keluhan anak laki-laki keturunan Indo-Paris itu begitu dia sudah sampai di depan pagar rumahku. Nafasnya masih ngos-ngosan karena berlari mengejar waktu.

“Besok-besok aku gak ikut kalau janjinya jam segini lagi.” kataku seraya melangkah meninggalkan Rangga pergi. 10 menit menanti kedatangannya sama seperti menghabiskan waktu satu jam penuh. 

Relativitas memang berlaku saat menunggu, bukan?

“Yakin?” tanya Rangga seraya membuntuti langkahku dari belakang. Ku dengar tawanya yang tertahan begitu aku berbalik arah untuk menatapnya.

“Kamu buat janjinya jam lima empat puluh pagi. Tapi, kamu sendiri datangnya jam berapa?” sahutku lalu membuang muka ke arah barisan pohon trembesi yang memadati tepi jalan. Berbalas argumen dengan Rangga hanya akan membuang waktu. Terlebih lagi anak laki-laki ini terlalu lihai membuat rasa jengkelku padanya semakin besar. 

Jadi, lebih baik menghindarinya, bukan?

“Ayo ikut aku!” seru Rangga lalu menarik lengan kananku untuk mengikutinya. Sejenak ku biarkan saja dia menuntun langkahku. Sesekali wajahnya menatapku lekat seraya tersenyum hangat. 

Entahlah, apa yang terjadi padanya pagi ini.


Liukan jalan nampaknya mengundang Herse untuk bersinggah di daun-daun sirih. Butiran embun mulai membasahi helai demi helai batang ilalang di sekeliling rumput arai. Dari kejauhan, ku lihat tanah pertanian yang seolah tehampar seperti anyaman; begitu rapi dan menyejukkan.

Kapan terakhir kali aku melihat pemandangan semacam ini? Entahlah, aku lupa.

Rangga menghentikan langkah kakinya begitu kami tiba di kaki bukit belakang sekolah. Senyumnya mengambang begitu aku menatapnya dengan dua alis terangkat tinggi; heran. Bagaimana tidak, tujuannya membuat janji berangkat sekolah pukul 05.40 pagi itu hanya sekedar untuk membawaku ke tempat ini. 

Hey, Rangga, bahkan setiap pulang sekolah kita selalu singgah ke sini.

“Kok, gak gerak-gerak juga si, Ra?” tanya Rangga seraya melepas sepatu dan kaus kaki sekolahnya. Ransel hitam anak laki-laki itu tergeletak begitu saja di bawah pohon Aurai. Dan kini kakinya telah berselimut udara pagi yang bercampur nafas Herse.

“Kamu aja deh, Rangga. Aku gak mau jatuh lagi.” sahutku seraya melirik pohon Aurai di belakang Rangga. Rasanya aku benar-benar trauma dengan yang namanya Aurai. Hanya sekedar mengirim pesan kepada Titan saja harus merasakan kasarnya permukaan tanah hingga membuat seragam sekolahku berhias lempengan berwarna cokelat lekat.

Pengalaman itu akan menjadi pelajaran yang tak kan pernah ku lupa.

“Aku gak nyuruh kamu buat manjat Aurai kok, Ra.” balas Rangga lalu melepas ransel biru tua yang bersandar di pundakku.

Baiklah, aku menyerah. Setidaknya tidak kembali berhubungan dengan yang namanya Aurai.

Ku ikuti perkataan Rangga untuk melepas sepatu dan kaus kaki sekolah. Kerikil kecil yang berhamburan di sekeliling pohon dan rumput ilalang membuatku mengerutkan dahi; menahan rasa sakit dan aneh secara bersamaan. Nampaknya, tanah baru saja memberiku ucapan selamat pagi.

“Sekarang kamu berdiri di sini, di dekat Aurai.” kata Rangga seraya ikut berdiri di belakangku.

“Hirup udara pagi sedalam yang kamu bisa, Ra.” sambungnya lalu perlahan menggenggam kedua tanganku. 

Dapat ku dengar deru nafas Rangga yang berhembus damai.

“Lihat deh, kota kita, Ra.” aku menatap lurus ke depan begitu Rangga berbisik pelan di telingaku. 

Ya, Yogyakarta, kota kami. Tempat yang penuh cerita dan kenangan tentang aku dan anak laki-laki ini; tentang pertemanan, persahabatan, kegembiraan, penantian, duka cita dan cinta.

Tentang dia, seorang anak laki-laki yang harus ikut berdiam di Yogya karena tugas ayahnya; seorang Kepala Bagian Pelestarian Sumber Daya Alam. 
Mengenal Rangga membuatku mengenal dunia langit, mulai dari mitologi-mitologi Yunani hingga fenomena fatamorgana yang membuatku tercengang. Entah sejak kapan Indonesia menjadikan Mitologi sebagai pelajaran pokok, hingga Rangga sangat menguasai cerita-cerita fiksi Yunani itu. 

Bagiku, ia adalah seorang imigran yang didatangkan Tuhan ke Yogya untuk menemani hari-hariku.

“Bilang satu hal sama Eirene, sekarang.” bisik Rangga seraya mempererat genggaman tangannya.

 Baiklah, setidaknya Eirene akan mendengar walau aku hanya mengucapkannya dalam hati, bukan?

“Kok gak disuarain, Ra?” aku tertawa kecil mendengar pertanyaan Rangga. 

Harapan seseorang memang tidak seharusnya disuarakan, bukan?

“Itu rahasia aku sama Eirene.” jawabku lalu berbalik arah untuk menatapnya. Anak laki-laki itu tersenyum hingga membuat bola mata berwarna coklat kelamnya menyipit. 

Sungguh Rangga, tak ada satu pun yang berubah dari kamu. Bahkan cara kamu menatapku saja masih sama seperti dulu; begitu damai.

“Kamu tau, Ra, kalau aku disuruh bilang sama Eirene, aku pasti bilang aku mau hidup selamanya bareng kamu. Terserah, mau di Paris kek, mau di Yogya kek, atau di mana aja. Yang penting aku bisa hidup bareng kamu.” 

Aku tersenyum mendengar ucapan Rangga. Mungkin dia benar, Dewi Langit mampu menyampaikan pesan kita dalam sekejap. Bahkan dalam hati tadi aku bilang; Aku ingin selamanya, selalu bersama Rangga Prayuditama.

“Rangga, besok-besok kalau musim hujan, kita ke sini lagi, ya.” pintaku yang langsung ditanggapi dengan anggukan setuju darinya.

Aku bersyukur memiliki kamu, Rangga. Teman terbaik, sahabat sejati, sekaligus kekasih yang selalu menemani hari-hariku bahkan sampai saat ini.

Pagi itu Herse menghilang, Titan memudar, dan Eirene kembali ke Olympus dengan meninggalkan cerita manis di awal musim hujan untukku dan Rangga. 

Sebelum akhirnya seonggok awan putih yang menyatu dengan mentari pagi menarik kami menuju sekolah.



Yogyakarta, 04 April, 2010.

* Herse :Dewi embun pagi.
* Aurai :Nimfa angin sepoi-sepoi.
* Titan : Penguasa bumi sebelum para Dewa Olympus.
* Eirene :Dewi musim semi dan kedamaian.



A Rigel of Orion

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020