Argumen Gema



Sore itu langit bergemuruh seraya mengumpulkan awan-awan kelabunya. Tak lama kemudian kaki langit terlihat gelap, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan dan tempiasanya mulai mengenai teras halte. Puluhan para pejalan kaki mulai memadati kursi panjang di dekat tiang kayunya. Aku terdiam menatap sebuah banner yang berdiri tegak di dekat pohon trembesi.

Korupsi, deritakan penduduk bangsa, hancurkan nama negara!
Sebenarnya banner itu hanya sebatas pajangan bulanan yang akan diganti setiap tanggal sepuluh. Bagiku himbauan semacam itupun sudah terlalu basi, ku temukan hampir di setiap sudut jalan, namun jumlah koruptor justru meningkat setiap tahunnya. Percuma saja,bukan? 

“Tya!” aku menarik napas panjang begitu Gema berteriak di dekat telingaku. Pemuda itu seakan menganggap halte umum ini sebagai hutan wilayah miliknya.

“Kamu kenapa si,Tya? Pandangin tu banner mulu, kurang-“

“Kurang kerjaan? Kamu minggir deh, Gema.” kataku datar seraya mendorong pelan pundak sahabat baikku itu ke arah kanan; memintanya untuk tidak mengganguku. Gema tidak pernah bosan membuatku kesal, dan itu sudah menjadi keseharian yang tidak bisa dipisahkan dari cerita kami.

“Ya, Tya marah. Lagian kamu ngapain pandangin tu banner? Koruptor Indo juga masih berkeliaran, tambah eksis aja mereka.” aku menatap Gema dengan dua alis terangkat tinggi; heran mendengar penuturannya. Namun perkataan terakhir pemuda itu benar, koruptor Indo seolah menjadi artis yang tengah naik daun.

“Aku hanya gak mau kalau suatu hari nanti negara kita terkenal dengan ke-korupsi-annya.” balasku seraya menekan kata terakhirnya. Namun, Gema justru tertawa lepas seolah mendengar sebuah lelucon yang menggelitik. 
Kamu kenapa, Gema?

“Dengarin ya, Tya, para koruptor itu aja gak mikir gimana nasib negara kita nanti. Padahal mereka tau kok, kalau makan hak rakyat itu haram, dosanya besar. Tapi tetap aja dikerjain, pake acara suap segala pula,” kali ini justru aku yang tertawa lepas. Gema terbawa emosi hingga nada bicaranya meningkat seolah tengah beragumentasi dalam debat negara.

“Gak usah sewot, Gema.” kataku seraya menepuk pelan pundak Gema. Sebenarnya pemuda itu mempunyai kritik dan pendapat yang bagus jika menyangkut masalah korupsi. Namun,terkadang aku tak bisa menahan tawa begitu mendengar setiap kata yang terucap dari mulutnya; terlalu berbobot menurutku.

“Aku gak sewot, Tya. Cuma gemes aja liat muka-muka koruptor Indo, makan hak rakyat kok bangga? Lagian mereka itu gak peka banget si? Sajak koruptor kamu itu kurang apa? Emang ya, kalau berhubungan sama uang, semua yang haram bisa jadi halal.” aku menggembungkan pipi; menahan tawa mendengar rentetan kritik yang seolah asal ceplosbegitu saja dari Gema. Bahkan pemuda itu masih ingat tentang sajak koruptor ku. 
Hey Gema, aku sendiri bahkan sudah lupa tentang hal itu.

“Tya, kok kamu ketawa? Apa yang lucu?”

“Kamu ingat tentang sajak koruptorku itu.” aku tersenyum kemenangan begitu mendapati tatapan menyerah dari Gema. 
Hey, pemuda itu jarang memuji, dia bahkan lebih senang disanjung mengenai soal duplikat lukisan Monalisa yang baru saja diselesaikannya.

“Tapi jujur, Tya. Sajak itu benar-benar bagus.” Gema tersenyum dan itu benar-benar terlihat tulus. Pemuda itu memang lihai mencairkan suasana.

“Makasih, deh kalau gitu.” aku balas tersenyum pada Gema. Setidaknya dia benar, sajak koruptorku itu bagus, meskipun gugur di tingkat provinsi.

“Mungkin profesi kita gak ngajarin anak-anak tentang politik atau masalah-masalah korupsi. Tapi, ku harap masa depan kita gak ada yang muka tembok kayak koruptor-koruptor itu. Kasian Indonesia nanti kalau anak bangsanya kayak mereka semua.” aku terdiam mendengar ucapan Gema. 
Ya, kami memang hanya seorang guru astronomi yang mengajarkan space dan universe.Namun, aku yakin semua orang pasti punya harapan yang sama seperti Gema.
Masa depan bangsa yang baik dibentuk dari anak bangsa yang baik pula.

“Ku harap juga begitu, Gema” kataku sambil terseyum. Gema memang mengesankan jika beragumen tentang korupsi, cocok seperti anggota mahkamah konstitusi yang menindak lanjuti hukuman koruptor negara. Namun, bagiku dia tetaplah Gema, pemuda yang pandaimelukis dan lihai bercerita tentang space dan alam semesta.



ini cerpen diikutsertakan pas hari anti korupsi kemarin :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020