The Power of Husnudzon




Perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you.

Hallo, welcome back to the warmest place for you to spend your abundant free time.

Selamat datang lagi di postingan gue special edisi bulan Juli.

Beberapa waktu yang lalu gue emang lebih sering posting cerita pendek dengan tema-tema tertentu, kayak Quercos sama Do’a Untuk Semesta. Buat yang belum baca ceritanya, silahkan ubek-ubek blog gue di postingan setelah ini.

Okay, jadi sesuai dengan judul postingan gue, kali ini gue mau ngebahas soal prasangka.

Dugaan.

Hipotesa.

Asumsi pikiran.

Apalagi?

Well, sebagai seorang manusia, gue sering banget bikin opini, bikin jalan pikiran gue sendiri tanpa mengedepankan faktor-faktor lain yang sebenarnya punya andil lebih besar daripada jalan pikiran yang gue bangun.

Suddenly, kemarin malam waktu gue nggak sengaja ngubek-ngubek diary gue pas SMP *cielah, punya diary juga gue* berhamburanlah semua kenangan-kenangan gue di zamann sekolah. Tiba-tiba di halaman akhir diary itu, gue nemu satu kalimat yang detik itu juga bikin gue melongo. Mendadak gue kayak, “Lah? Kok ngena banget, sih?”

Seperti yang gue tulis di awal kalimat saat lo semua buka postingan ini, itulah kalimat yang gue temukan di diary gue.

Jujur, ya, kalo gue refleksikan sama hidup gue yang sekarang, gue ngerasa kalo gue kurang bersyukur atas semua hal yang udah gue terima, semua hal yang gue jalani, dan semua hal yang sudah berlalu selama beberapa waktu. Gue sadar, sesadar-sadarnya bahwa belakangan terakhir gue terlalu sering membandingkan kebahagian diri gue sama kebahagiaan orang lain. Yaaa, padahal sebenarnya gue, sih, ngerasa bahagia. Cuman, setelah gue banding-bandingan sama orang lain, gue jadi mikir, “Kok perjalanan gue nggak semulus dia, sih? Kok cerita gue jadi berantakan gini, sih? Kok gue, gini-gini-gini?”

Gue yakin, ini bukan cumen gue. Ada banyak orang lain di luar sana, yang juga mikir dengan jalan pikiran yang sama kayak gue. Dan, gue juga yakin, mereka juga pasti kerap nge-compare diri mereka, baik itu dari sisi kebahagiaan, keberuntungan, kecantikan, kekayaan, dan segala “ke-ke-an” yang sampai detik ini nggak ada standar baku buat semua orang di dunia.

Sometimes, waktu gue mikir, “Wah, parah gila, enak banget, beruntung banget dah, tuh orang!” gue menjadikan keberuntungan yang orang itu dapat sebagai standar keberuntungan buat diri gue dan buat orang banyak.

Sometimes, waktu gue mikir, “Ampun, dah. Gilak-gilak, pasti habis ini hidupnya happily ever after, deh!” gue menjadikan kebahagiaan yang orang itu terima sebagai standar kebahagiaan buat diri gue dan buat orang banyak.

And sometimes, waktu gue mikir, “Andai aja gue kayak dia, mau perawatan ala artis korea juga pasti bisa.” gue menjadikan kekayaan yang orang itu punya sebagai standar hidup orang kayak buat diri gue dan buat orang banyak.

But,

Waktu gue ketemu orang lain yang lebih beruntung daripada gue, gue bilang lagi, “Wah, parah gila, enak banget, beruntung banget dah, tuh orang!”

Waktu gue ketemu orang lain yang lebih bahaga daripada gue, gue bilang lagi, “Ampun, dah. Gilak-gilak, pasti habis ini hidupnya happily ever after, deh!”

And waktu gue ketemu orang lain yang lebih bahaga daripada gue, gue bilang lagi, “Andai aja gue kayak dia, mau perawatan ala artis korea juga pasti bisa.”

Fixed, sebenarnya gue kenapa, sih? Doyan banget nge-compare diri sendiri sama orang lain.

Setiap standar yang orang bangun pada dasarnya emang harus ada pembanding, sih. Kayak misal, kita bilang “Pohon itu tinggi”. Ya, pasti ada pembandingnya, yakni pohon yang ukurannya jauh lebih pendek. Atau kayak misal, waktu kita bilang, “Ini kopi susu terlalu manis”. Ya, pasti pembandingnya adalah kopi susu yang sering kita minum dengan takaran gula yang nggak sebanyak kopi susu tadi.

Terus, apa kebahagiaan itu juga harus punya standar? Kalo iya, berarti juga harus ada pembandingnya, dong?

Gue mikirin soal standar kebahagiaan sejak kemarin malam, ya. Muter-muter aja, nih otak gue.

Well, jadi menurut gue pribadi, setiap manusia punya standar kebahagiaannya masing-masing, dengan brand-nya mereka masing-masing juga. Bahagia ala Fauzia, bukan berarti bahagia ala lo semua, kan?

Tapi, di satu sisi, menurut gue standar kebahagiaan buat setiap manusia itu nggak harus selalu punya pembanding. Gue nggak tau, apakah gue bisa bilang sama diri gue sendiri kalo sebenarnya gue pantas bahagia tanpa harus ngebanding-bandingin seberapa bahagianya gue kalo dibandingin sama orang lain. Di sisi lain, gue ngerasa bahwa gue nggak patut untuk mencari tahu lebih jauh tentang pembanding dari standar bahagia yang gue terima sekarang. Mungkin ini kedengarannya aneh, tapi jujur, menurut gue satu-satunya standar buat bahagia itu cuman diri kita, dan pembandingnya pun juga cuman diri kita sendiri.

Misalnya gini, standar bahagia kita pas kuliah adalah lulus 4 tahun dengan prediket Cumlaude. Tapi, kalo misal standar itu kita bandingin sama standar orang lain yang lulus 3,5 tahun dengan prediket Cumlaude, apakah kita masih akan bisa bahagia dengan standar yang udah kita punya?

Gengs, pernah nggak, sih, kalian mikir bahwa sebenarnya bahagia itu bukan ditemukan, tapi diciptakan. Bahagia itu bukan dicari kesana-kemari, tapi dibikin sama diri kita sendiri?

Gengs, pernah nggak, sih, kalian mikir bahwa bahagia yang kita anggap belum memenuhi standar hidup kita sekarang, ternyata adalah bahagia yang sejak dulu orang lain idam-idamkan?

Gengs, pernah nggak, sih, kalian mikir kalo sebenarnya definisi dan standar bahagia yang udah kita buat itu, nggak pernah benar-benar baku? Mereka tunduk dalam satu aturan, yakni sebuah ketentuan yang sudah Tuhan ciptakan.

Boleh jadi, bahagia yang menurut kita harusnya ABCD, ternyata menurut Tuhan adalah EFGH.

Boleh jadi, standar bahagia menurut kita adalah 1, 2, 3, tapi menurut Tuhan cuman 4 sama 5.

Kalo udah Tuhan yang turun tangan, kita bisa apa?

Intinya, sih, kalo menurut gue, yaaa, kita musti percaya kalo definisi bahagia versi kita sama versi Tuhan emang kadang nggak sejalan. Masalahnya kadang kitanya aja, sih yang sering minta kejelasan sama Tuhan tentang standar bahagia yang nggak pernah kita rasain.

Mungkin gue nggak pantas buat nasehatin siapapun di sini. Tapi gue yakin, selama kita percaya kalo semua rencana Tuhan yang disiapin buat kita adalah rencana yang paling baik di antara semua yang terbaik, maka kita nggak butuh standar bahagia orang lain buat bikin hidup kita bahagia.

Rahasianya satu. Kita musti yakin, itu pasti yang terbaik. Mau seburuk apapun itu di mata kita, itu tetap akan jadi yang terbaik. Terlepas, sesulit apapun kita ngejalanin sesuatu, se-tertatih-tatih apapun, as long as we know, that we will face a happy ending in the end of our journey, kita pasti bakal bahagia.

Di samping itu, selain prasangka yang kita bangun atas dasar kepercayaan kita sama Tuhan, jangan lupa bahwa kita juga harus punya prasangka yang sejalan sama diri kita sendiri.

We never know how strong we are until being strong is the only choice we have.

Mungkin, ini yang kata orang banyak the power of kepepet. Kita nggak punya pilihan lain, dan pada akhirnya kita cuman bisa mengandalkan satu-satunya pilihan yang kita punya saat itu.

Tapi, apa yang akan terjadi kalo misal kita punya satupun pilihan, dan satu-satunya hal yang bisa kita andalkan adalah diri kita sendiri?

Pernah, nggak, sih kalian berprasangka buruk sama diri kalian sendiri?

Kalo gue, sih sering, banget malahan. Gue sering banget bilang kalo diri gue cemen lah, lemah lah, nggak guna lah. Kadang gue nggak percaya diri lah, ngerasa orang paling sial lah, ngerasa bobrok banget lah. Kayak misal waktu pembagian dosen pembimbing skripsi beberapa bulan yang lalu, gue ngerasa jadi orang paling menderita di dunia. Gue mikir, ”Gimana gue bisa lulus tepat waktu kalo kayak gini? Gimana gue bisa ngelewatin semua ini? Sendirian? Sanggup gue?”

Mungkin ini yang sampai sekarang belum bisa gue lakuin, yakni berhusnudzon sama diri sendiri. Kadang gue terlalu negative thinking, sih. Ngerasa rendah diri, ngerasa nggak pantas, ngerasa nggak layak, ngerasa nggak mumpuni, ngerasa nggak sanggup, ngerasa nggak mampu, ngerasa bahwa diri gue selemah yupi.

Tapi, makin ke sini gue makin mencoba untuk belajar, sih. Gue tahu, gue emang nggak sehebat orang lain. Maka dari itu, satu-satunya hal yang harus gue lakuin adalah yakin sama diri gue sendiri. Gue harus percaya kalo gue pengen ngedapetin sesuatu yang nggak pernah gue miliki sebelumnya, gue juga harus ngelakuin sesuatu yang nggak pernah gue lakuin sebelumnya. Sesederhana itu konsep keyakinan yang gue punya. Parah nggak, sih?

Paling tidak, dengan berhusnudzon sama diri sendiri, kita bisa melangkah dengan lebih mantap. Kalo kita bisa berjalan dengan kaki kanan saat berhusnudzon sama Tuhan, maka kita akan bisa berjalan dengan kaki kiri saat berhusnudzon sama diri kita sendiri.

Terakhir dari gue, mulai sekarang kita harus percaya; selama kita yakin bahwa setiap yang datang dari Tuhan adalah kebaikan, dan setiap yang ada dalam diri kita adalah potensi yang luar biasa, maka itulah standar bahagia kita yang sebenarnya.  


Komentar

  1. Hhmmm, anda merasa hidup anda tidak berguna :v, ingatlah ada orang yang pernah membuat pelindung untuk Nokia 3310, sementara Nokia 3310 dijatuhkan dari ketinggian 1000 kaki pun masih bisa nyala. Juga ingatlah bahwa Kurenai pernah menggunakan genjutsu untuk melawan Itachi, yang mana kita tahu Itachi adalah salah satu pengguna genjutsu terkuat. Zahaha, gak nyambung rasanya :v

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020