Relativity


Karena waktu terus bergulir ke depan, dia tidak akan mundur ke belakang,
Dia tidak akan abadi sekalipun kita mencoba kembali,
Maka manfaatkanlah semua waktu berharga yang kita punya,
Dan menyimpannya dalam ingatan terbaik sebagai seorang manusia.

Satu alasan kenapa gue pengen banget bisa ngomong pake bahasa Jerman, adalah karena Albert Einstein. Weszahhh, meskipun ngitung satu ampe sepuluh aja banyak ngadatnya, tapi, serius, gue beneran pengen belajar buat ngebenerin aksen gue biar bisa ngomong kayak orang Jerman. Karena, sekalipun gue punya banyak banget wortschatz (vocabulary/kosakata) yang bisa gue keluarin, baik saat gue lagi schreiben (nulis) atau lagi sprich (ngomong), cita rasa aksen Jerman itu harus tetap ada. Dan itu penting banget buat bikin, *terutama percakapan lo sama orang nggak kaku-kaku banget.

Nah, dari Albert Einstein juga gue mengutip satu statement dia tentang quotes bahwa religion without science is blind, and science without religion is paralyzed. And I do believe it since I got my junior high school era.

Yaaa, gue meyakini seyakin-yakinya bahwa ilmu pengetahuan yang sekarang sedang gue timba (?) adalah bukti bahwa apa yang selama ini ada dalam kitab pedoman gue absolutely adalah sesuatu yang benar. Cuman, karena keterbatasan otak gue yang kagak sejenius Einstein, gue meyakini kebenaran itu, menerima kebenaran itu, tapi kadang gue miss the point yang sebenarnya bisa jadi pembuktian paling menggetarkan hati gue, cielah.

Time rolled on, dan akhirnya gue nyampe di matakuliah fisika modern. Well, menurut gue fisika modern itu… keren meskipun abstrak bangettt karena kita kayak nggak pernah ngalamin itu, nggak bisa nyentuh bendanya, bahkan kadang kita nggak tau kalo sebenarnya kita lagi ngalamin bagian-bagian dari sub bahasan fisika modern. Yaaa, sederhananya gini, deh. Kalo kita bandingin bahasan mekanika such as dinamika partikel yang ngebahas masalah katrol atau tegangan tali, yaaa kita bisa liat kondisi itu, dan itu nyata. Lain halnya dengan bahasan fisika modern kayak misal dilatasi waktu. Gue nggak tau, harus segede dan semodern apa mesin pesawat yang bisa dibikin manusia untuk mendekati kecepatan cahaya. I don’t know what will happen in upcoming days on one thousand million years furthermore.

Ngomongin soal dilatasi waktu, dulu waktu booming film interstellar, gue mikir “Emang bener?  Kalo si Cooper balik ke bumi, si Murph udah jadi nenek-nenek? Kok, gitu? Lah, emang bisa???”

Waktu pertama kali gue nonton filmnya, gue hanya bisa mencelutuk nggak karuan, “Wah, nggak bener, nih film.” Terus gue bilang kalo otak gue nggak nangkep satupun kelogisan atau penjelasan ilmiah yang coba direview sama orang-orang luar. Fixed, waktu itu gue mikir gue salah nonton film karena gue kagak paham apa isinya.

Sampai akhirnya, ketika gue masuk fisika, gue baru nyadar bahwa yang nggak bener itu bukan filmnya, tapi otak gue. Gue yang terlalu malang karena nggak tau bahwa film itu adalah visualisasi yang menjelaskan bahwa waktu bukanlah besaran yang mutlak kayak yang selama ini gue yakini. And I knew, how terrible I am.

Buat yang nggak tau dilatasi itu apa, silahkan lo search di mbah google lo. Terserah lo bisa pake keywords, dilatasi waktu, time dilation, atau twin paradox juga bisa.

Singkatnya dilatasi waktu; sebagai bagian dari ilmu pengetahuan zaman sekarang adalah topik bahasan yang bisa bikin gue percaya bahwa rentang waktu menurut kita di dunia itu benar adanya berbeda dengan rentang waktu menurut Sang Maha Pencipta. (Paham nggak masud gue? Wkwkkwk yaaa, intinya rentang waktu menurut kita dan menurut Sang Maha Pencipta itu tidaklah sama)

Dilatasi waktu itu menjelaskan bahwa selang waktu menurut pengamat yang bergerak selalu lebih besar daripada menurut pengamat yang diam. Karena dilatasi waktu itu adalah formulasi yang diturunkan dari persamaan-persamaan orang pinter, at the end persamaan dilatasi waktu memenuhi :

*BTW gue kasih ini filenya, silahkan lo cek, dan pahami bener-bener yaaaa. Kagak susah, kok. Cuman angkanya aja yang agak banyak.



Kiranya telah kita semua yakini bahwa malaikat tercipta dari nur (cahaya).

Maha Benar Allah atas segala firmanNya.

***

Ngomongin soal caption gue di bawah Relativity tadi, hmmm gue jadi pengen nanya, sebagai seorang anak, kapan terakhir kali lo tidur bareng di samping ibu lo?

Lima belas tahun yang lalu?

Sepuluh tahun yang lalu?

Lima tahun yang lalu?

Setahun yang lalu?

Atau tiga bulan yang lalu?

Satu bulan yang lalu?

Satu minggu yang lalu?

Kalo gue, baru aja kemarin.

Gimana ya, rasanya, sejujurnya waktu gue dan kita sih, tidur tepat di samping ibu kita, terus sebelum tidur kita ngobrol-ngobrol tentang gimana hari ini berlalu dan kegiatan apa aja yang udah masing-masing kita dan ibu kita lalui di hari itu, menurut gue itu adalah saat di mana kita semua pengen waktu berhenti berlalu dan relativitas bener-bener berlaku saat itu.

Ngobrol-ngobrol, nggak kerasa udah mau jam 12, nggak kerasa aja, gitu. padahal waktu, yaaa waktu. Tiap detiknya ya tetap kayak gitu. Cuman, jujur, ya, di umur-umur kita kayak sekarang, buat yang cewe cobalah untuk sesekali tidur di samping ibu kita dan buat yang cowo-cowo cobalah buat sesekali tidur di samping abah kita. Yaaa, gue rasa kita semua harus ngerasain itu. Apalagi gue mikir, pribadi, nih menurut gue, kalo ntar kita udah punya pendamping, pasti sangattt kecil sekali kemungkinan buat kita untuk tidur bareng ibu atau abah kita. Bahkan gue mikir, kayaknya nggak bakal banget, gitu, ntar kalo kita punya anak, tidurnya yaaa setidaknya bareng anak.

Menurut gue, mungkin sebagian orang tua pasti nanya “Kenapa?” karena ibu gue juga nanya gitu, kenapa jadi pengen tidur bareng. Yaaa, gue bilang nggak apa-apa, pengen aja. Karena gue tau, momen tidur bareng ibu gue itu adalah momen yang akan sangat gue rindukan ketika gue nanti menikah, ketika nanti gue punya anak, saat nanti gue jadi orang tua. Karena pada sejatinya semua yang menjadi orang tua pernah menjadi seorang anak.

Dari situ, gue mikir bahwa gue harus punya ingatan yang kuat gimana momen gue jadi seorang anak yang diumur dua puluh tahunan masih seneng tidur di samping ibunya. Dan, untuk membuat kenangan itu menjadi ingatan yang kuat, gue harus sering ngelakuin itu. Tidur aja.

Sambil inget semua hal-hal yang pernah kalian lakuin bareng, mungkin makan bareng, ketawa bareng, ke pasar bareng, dan hal-hal yang diajarin sama ibu kita; wudhu, Al-Fatihah, ngaji, sholat, makan pake tangan kanan, masang sandal dari kaki kanan, dan semua hal-hal yang sekecil apapun itu. Inget itu, dan rekam ulang di otak kanan kita, kemudian simpan di ingatan terbaik yang kita punya.

Karena pada suatu hari nanti, saat kita rindu, kita tak akan bisa kembali.

Maka simpanlah semua kenangan terbaik yang masih kita ingat dan bisa kita buat.

Agar saat kita merasa gundah, kita bisa memutar ulang rekaman itu.

Dan kembali bahagia, meski hanya sekedar singgah, di masa lalu yang terlampau berlalu.

-Sampai ketemu di postingan bulan berikutnya-

Komentar

  1. Ya begitulah, siklus hidup memang akan terus berulang, tapi saat itu mungkin kita bukan lagi pemeran utamanya :v

    Btw, tau ja lo ini akun siapa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

A for Awesome ULM

Aku dan Egoku

Mahasiswa dan Bystander Effect-nya