You in My Perspective
I stared at me through the mirror for a long time |
And
I devoted quite a bit of my abundant free time to thinking about people. Then
ask the same question over and over “Am I normal? What’s the difference
between me and them?”
“Orang dewasa yang umurnya udah nggak muda, tapi
bersikap tidak dewasa dan berlagak jadi orang bijak ternyata menjadi populasi
terbesar manusia di dunia.”
Mendadak,
gue teringat sama beberapa paragraph punya Stephen Colbert yang sempat gue
sisipkan di naskah Aksara Rasa “Remember, you cannot be both young and
wise. Young people who pretend to be wise to the ways of the world are mostly
just cynics. Cynicism masquerades as wisdom, but it is the farthest thing from
it. Because cynics don’t learn anything. Because cynicism is a self-imposed
blindness, a rejection of the world because we are afraid it will hurt us or
disappoint us. Cynics always say no. But saying “yes” begins things. Saying
“yes” is how things grow. Saying “yes” leads to knowledge. “Yes” is for young
people. So for as long as you have the strength to, say “yes'.”
Well, yang muter-muter di otak gue selama beberapa
bulan terakhir adalah pada “Remember, you cannot be both young and wise” Emang,
bener nggak, sih kalo sebenarnya kita nggak bakal pernah bisa menjadi muda dan
bijak dalam waktu yang bersamaan? Emang bener, gitu kalo yang bijak hanyalah
mereka yang sudah melewati banyak rintangan dalam hidup dan punya seabrek
pengalaman dalam kehidupan yang mereka jalani?
Bicara soal yang kayak begituan kayaknya emang
susah, sih. Apalagi untuk mengeneralkan standard “Bijak” pada
setiap manusia di dunia. Gue sendiri juga nggak tahu, apakah kapasitas yang gue
punya selama ini sudah memenuhi standar kata bijak bagi
orang-orang di sekitar gue. Cuman di satu sisi, gue juga menyadari kalo
ternyata muda dan bijak berada dalam fasenya masing-masing. Mereka punya
dimensi sendiri-sendiri, yang mana tentunya akan sangat sulit bagi seorang
manusia untuk memilih muda dan bijak dalam satu kesempatan di waktu yang sama.
Ketika lo berada di masa ketika ketawa-ketawi lo
masih terasa asyik, guyonan sohib-sohib lo masih kerasa seger, candaan geng lo
masih menghibur, dan rutinitas foya-foya lo kayak misal nongkrong gak jelas di
coffee shop, nonton film romance di bioskop, hiburan atau liburan dan kegiatan
ngabisin duit buat hal yang faedahnya secuil kuku jari ternyata masih menjadi
hal-hal yang lo suka, itu artinya lo masih muda. Definisi muda dalam kamus
hidup gue adalah rentang waktu di mana lo menikmati semua momen yang lo hadapi
dan menjalaninya sesuai dengan rute yang kayak orang lain jalanin, bahasa
kerennya let it go, gitu deh. Muda adalah masa di mana lo bebas
menentukan pola pikir dan prinsip dalam hidup yang nantinya bakal jadi cikal
bakal pegangan lo buat menjalani masa depan. Muda adalah bagian dari cerita
dalam naskah hidup lo yang punya banyak bab untuk diulas dan dibahas. Dan muda
adalah rangkain kenangan yang memenuhi hampir separuh ingatan di otak kanan lo
sekaligus menjadi masa di mana kebanyakan energy yang lo punya terbuang sia-sia
di sana.
Gue
nggak tau apakah sekarang gue sedang menjalani masa muda gue? Atau menuju masa
muda gue? Atau justru hampir mengakhiri masa muda gue? Gue ngerasa gue nggak
mengalami masa di mana biasanya orang-orang seumuran gue alami. Atau gue aja
yang nggak nyadar kalo sebenarnya selama ini gue jadi manusia muda yang normal
kayak anak-anak milenial lainnya?
I
feel everybody wondering what’s wrong with me.
Di
samping perihal muda, bijak juga menjadi satu fase yang pengen
banget bisa gue dapetin di waktu sekarang. Gue pengen jadi orang yang bijak
menerima perbedaan, bijak menghadapi kepribadian dan sifat-sifat kemanusiaan
orang di sekitar gue, bijak menghadapi masalah, bijak melihat kesalahan, bijak
menilai sesuatu dengan sepantasnya, bijak menghargai keberagaman dan bijak
dalam memandang dunia. Gue pengen jadi orang yang tidak hanya bisa memahami
diri gue atau orang-orang di sekitar gue, gue ingin memahami filosofi kenapa
harus ada perbedaan, kenapa jadi ada perbedaan, dan apa yang harus gue lakukan
dengan perbedaan itu.
Selama
ini gue sadar, gue tidak bijak dalam banyak hal. Tidak bijak dalam memilih
teman bergaul, tidak bijak dalam menilai orang lain saat pertama kali ketemu,
tidak bijak dalam memutuskan apakah gue harus ini harus itu, tidak bijak dalam
menyikapi sindiran-sindiran orang lain yang nggak suka sama gue, tidak bijak
dalam menyudahi rasa kesal gue kalo lagi kecewa, tidak bijak dalam menangani
diri gue sendiri kalo lagi putus asa, dan semua ketidakbijaksanaan yang sudah
gue lakukan selama ini, pada akhirnya mendorong gue berpikir untuk menyudahi
semua rentetan fase muda yang sekarang entah ada di tahap mana.
Kalo
dibilang dewasa, kayaknya juga bukan gue-gue banget, lah ya. Gue masih panikan,
masih kagetan, masih suka ngoceh sana-sini, masih suka ngambur-ngamburin duit
beli buku yang faedahnya secuil atom, masih sering berpikir untuk menyusun
strategi balas dendam waktu orang-orang ngejahatin gue, the point is gue belum
menjadi manusia yang dewasa. Gue ngerasa gue masih belum mampu menjadi manusia
yang sabar, tenang, enjoy, live the life, dan terbebas dari semua sindiran
orang-orang yang nggak suka sama gue.
Tapi,
jujur, gue ngerasa kalo ternyata orang-orang disekitar gue, a large number of
them adalah orang-orang yang juga jauh dari sifat dewasa. Masih ada aja tuh
orang yang sifatnya bocah padahal udah punya KTP. Masih ada aja orang yang suka
membuat sekat-sekat atau batasan seolah-olah dia punya daerah otonom sama
gengnya masing-masing. Dan nyatanya masih ada aja orang yang kelakuannya
berbanding terbalik sama umurnya.
Dari
situ lah, gue menemukan filosofi yang sebenarnya, bukan hanya sekedar sadar,
tapi gue ngerti kenapa umur dan dewasa adalah dua bagian yang tidak pernah
menjadi standar untuk memenuhi standar yang lain. Tidak ada batasan umur agar
seseorang menjadi dewasa, dan tidak ada batas kedewasaan karena umur seseorang.
Umur dan dewasa nampaknya memang sejalan linear, tapi sebenarnya mereka berdua
tidak pernah terikat satu sama lain. Umur hanya memberikan penjelasan kenapa
anak kecil suka main-main air, kenapa muka ibu kita perlahan jadi keriput,
kenapa nenek kita sering sakit sendi lutut dan sendi kaki. Sementara dewasa
memberikan jalan berpikir gimana caranya kita bersikap, bertindak, berbuat,
berperilaku, dan bertabiat.
Pemikiran
gue selanjutnya digerumungi oleh rasa tanya berlebihan, “If I can’t be
young and wise at all in one phase of my life, may I be young and mature to
face its phase?”
Dewasa
di sini tidak gue artikan sebagai orang dewasa yang udah menikah, udah mau
menikah, udah punya anak, udah mau punya anak, udah sibuk kerja, udah sibuk
nyari kerja atau mereka-mereka yang selama ini memiliki jabatan sebagai orang
dewasa. Tapi, dewasa yang gue bicarakan sekarang adalah sifatnya, adjectivenya.
Faktanya
ada banyak orang dewasa yang umurnya udah nggak muda, tapi bersikap tidak
dewasa dan berlagak jadi orang bijak. Di dunia ini akan sangat mudah menemukan orang-orang
seperti itu. Masih ada aja, kan orang yang umurnya nggak muda lagi tapi
sikapnya kek bocah SD? Dan kebalikannya, rare banget, kan buat
nemuin anak SD yang bisa berpikir dewasa?
Bijak dan dewasa nampaknya beriringan. Bijak itu dalam
bertindak, sementara strategi bertindaknya dibentuk sama psikologis
kedewasaan. Gue nggak tahu secara pasti, kenapa kebanyakan orang
bijak adalah mereka yang punya pemikiran dewasa, sementara sebagian besar
orang dewasa adalah mereka yang belum mampu menjadi bijak?
Bijak
dan dewasa memang tidak didasarkan pada kemauan. Gue yakin, setiap dari kita
pasti mau jadi orang dewasa (dalam segi umur) yang bijak (dalam segi
pemikiran). Tapi sayangnya kita malas untuk mengubah pola pikir kita. Malas
untuk me-recovery pemikiran-pemikiran primitif kita tentang hidup
yang kita jalani sekarang. Coba aja kita belajar buat memandang sesuatu dari
berbagai sudut pandang, belajar untuk memaklumi keberagaman dan mengharagi
semua ke-heterogen-an manusia, sedikit demi sedikit kita belajar untuk menjadi
bijak. Akibatnya, pemikiran akan mengubah tindakan.
Flashback
ke masa-masa kita masih jadi bocah, deh. Kenapa dulu kita suka nangis kalo
keinginan kita nggak dipenuhi? Kenapa dulu kita sering banget main di bawah
terik matahari ampe mimisang parah? Kenapa dulu kita susah banget buat
dibangunin dan disuruh mandi? Kenapa dulu kalo makan kita suka milih-milih
ikannya apa, sayurnya apa?
Itu
semua murni karena pemikiran kita. Pola pikir kita belum menuju titik
kedewasaan. Makanya, sebagai manusia (yang belajar untuk jadi orang dewasa),
kita nggak usah heran kenapa anak-anak juga punya sikap kayak gitu. Yaaa,
jawabannya sederhana, karena mereka anak-anak dan pola pikir mereka belum mampu
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan mereka lakukan atau yang sedang
mereka lakukan.
Kita
dan anak-anak tidak sepenuhnya berbeda. Meskipun banyak orang yang membuat
batasan khusus antar anak-anak dan kaum semacam kita; misalnya berdasarkan
umur, cara berpikir, pengetahuan dan wawasan. Sejatinya memang hanya umur saja
yang jadi pembeda antar kita dan anak-anak. Selebihnya? Tidak ada jaminan.
Muda,
bijak, umur, dan dewasa bukan menjadi bagian-bagian yang mendasari bagaimana
kita melihat atau menilai orang lain. Lebih utuh dari semua itu, kita memandang
mereka berdasarkan kepribadan yang mereka tunjukkan.
Kalo
ditinjau dari sudut pandang psikologis, sih ada banyak teori tentang
kepribadian. Cuman beberapa tahun terakhir orang-orang banyak merujuk sama
teorinya Isabel Myers, atau kalo mau nyari tahu lebih banyak silahkan minta
bantuan sama Google seputar MBTI.
Myers-Birggs
Type Indicator ini membagi manusia ke dalam enam belas kepribadian dengan
empat tipikal berlawanan yakni Extroversion (E) vs Introversion (I),
Sensing (S) vs Intuition (N), Thinking (T) vs Feeling (F) dan Judging
(J) vs Perception (P). Di mana masing-masing kepribadian memiliki
empat macam pasang sifat. Kalo mau simplenya sih, silahkan lo ikutin test
nya di website-website ternama, ada yang dari Indonesia ada juga yang dari
luar. Tapi, kalo lo mau baca POV gue tentang delapan kepribadian itu, don’t
hesitate to keep reading this one.
Sebenarnya,
dulu gue sempat baca bukunya Carl Jung (electronic, sih hahahaha). Btw, jangan
dikirain dia orang Korea, yah. Carl Jung itu orang Swiss, jadi yahhh dia
keturunan bangsa Eropa. Dalam buku Psychologische
Typen yang dia publish tahun
berapa gitu gue lupa, Carl Jung membagi kepribadian manusia based on how they
get their passion. Nah, dibuku itu dijelaskan kalo mereka yang Extrovert adalah
mereka yang punya banyak interaksi social dan senantiasa membuka diri terhadap
lingkungan luar. Sementara Introvert adakah mereka yang lebih doyan menutup
diri dari lingkungan luar, nggak suka keributan, dan lebih milih untuk
menyendiri daripada keramaian.
Kalo kata para ilmuwan (cielah), cara sederhanaya kalo kita
mau tau orang itu extrovert atau introvert, ask him to describe something.
Orang extrovert cenderung abstrak, cuman ngebahas outer part-nya aja, dan
gambaran yang dia berikan kadang nggak bisa dipahami dengan baik. Sementara
orang introvert itu too detail, menyeluruh, dan yang pasti kita akan sangat
mudah memahami description yang dia sampaikan.
Dulu gue pernah ngelakuin penelitian tidak berprosedur gitu,
deh. Wkwkwk, jadi dulu gue sempat menguji saran para ilmuwan pake metode ask
them to describe something. Gue minta jelasin tentang gedung Lawang Sewu di Semarang. Nah, orang
extrovert bilang, “Gedungnya gede banget, Fau. Terus banyak spot buat
foto-foto gitu, sih. Cuman nggak semua tempat bisa jadi spot foto karena ada
beberapa yang nggak diizinin sama petugas keamanan di sana. Ada bekas
peninggalan Zaman Belanda gitu, juga. Awal gue masuk, sih, karena waktu itu
siang yaaa kesannya ramai aja, gitu. Karena, kan juga banyak wisatawan di sana.
Gue paling suka sama bentuk pintunya yang unik-unik, yaaah gua juga nggak tahu
pasti emang ada seribu atau itu cuman sewu dalam artian banyak yang sesungguhnya.“
Setelah
gue nanya ke orang Introvert dia bilang, “Sebelum
masuk lo susah banget markirnya, apalagi kalo naik bus. Musti jalan ke trotoar
dulu karena pemberhentian busnya nggak boleh lama-lama di depan gedung, apalagi
kalo misal lagi musim wisatawan. First impression gue waktu masuk halamannya
sih, ya lumayan. Terawat, terjaga, apik gitu para pegawai dan pengelolanya.
Rumput-rumputnya juga nggak ada yang kelewat batas tumbuh, asri aja
jadinya. Tiket masuknya, sih low price aja. Antrinya juga nggak pake lama.
Waktu lo masuk halaman utamanya, lo bakal disuguhin sama pertunjukan music,
gitu. Nggak tau, deh itu dari komunitas atau emang udah jadi mitra. Kita bisa
nikmatin..............“
Too complete. Introvert jelasin ke gue
sampai ke perihal tukang jualan minuman dan makanan yang nangkring di samping
gedung.
Dari situ gue sadar, orang introvert bukan orang yang nggak
suka ngomong atau menutup diri dari lingkungan luar (gue punya teori sendiri,
nih jadinya). Orang introvert cenderung suka mengeksplor sesuatu sendirian
untuk menemukan hal-hal yang tidak ditemukan orang lain. Bukan berarti dia
nggak suka ngomong atau nggak suka bicara, dia hanya terlalu fokus untuk
mencerna sesuatu dalam pikirannya hingga orang lain berpikir dia itu malas
ngomong dan suka menyendiri.
Next, adalah Sensing vs Intuition.
Sensing adalah tipikal orang yang memanfaatkan inderanya semacam melihat,
mendengar, mencium (apasih), meraba, dan mengecap untuk memahami suatu
informasi atau keadaan yang dihadapi. Dia adalah jenis manusia yang memegang
teguh prinsip pengalaman sebagai guru terbaik. Satu yang jadi tipikal utamanya,
orang sense itu adalah orang yang realistis, logis, dan memandang sesuatu
secara menyeluruh berdasarkan wujudnya. Dia juga termasuk orang yang fokus
menjalani sesuatu di masa sekarang. Atau dalam artian lainnya, orang sensing
itu (nggak enak banget sensing) lebih memilih untuk memikirkan masa sekarang
daripada masa depan. Selain itu orang sensing juga nggak gampang percaya,
pembuktiannya dia sendiri yang harus melihat, mendengar , mencium, meraba, dan
mengecap sesuatu.
Bedanya
sama orang intuition ialah orang intuition itu lebih abstrak, maksudnya suatu
informasi atau keadaan yang dia hadapi akan dia pandang dari berbagai macam
sudut pandang. Kalo misal ada masalah, hal pertama yang akan orang sensing
lakukan adalah berusaha untuk memecahkan masalah itu. Tapi, kalo orang
intuition berpikir dulu, kenapa masalah itu muncul , apa latar belakangnya,
terus kalo masalah itu sudah diselesaikan apa efeknya sama masa depan.
Nah,
sepemahaman gue selama ini sih, orang intuition itu hidup di masa depan.
Maksudnya, dia bukan tipikal orang yang melulu bilang, “Udah jalanin
aja.” Orang intuition itu mikir ke depannya banyak bangwet. Makanya
orang intuition itu dipenuhi sama sejuta inspirasi dan seabrek khayalan tentang
sesuatu.
Based
on my experiment, sih wkwkwwk, gue dulu pernah ditanya sama orang tipikal
sensing and intuition about somay yang gue beli di Kuliner Baiman. Nah, waktu
orang sensing nanya “Gimana rasanya?” gue jawab “Agak
asin dikit.” Ehhh dianya malah balik nanya, “Ah masa? Sini dah
gue coba.”
Bedanya
sama orang intuition waktu gue bawa somay, dia nanya gini “Enakan mana
sama somay di Gatsu?” terus gue jawab “Yang di sini agak asin
dikit.” Dianya kasih respon gini, “Yang di Gatsu bumbu
kacangnya emang lebih kerasa mungkin. Somay kalo bumbu kacangnya cuman dikasih
sedikit sih nggak enak. Kalo bumbu kacangnya banyak tapi rasanya juga nggak
pas, malah makin nggak enak.”
Kerasa
banget, kan bedanya?
Berikutnya adalah Thinking
(T) vs Feeling (F). Nah, untuk tipikal yang ini
dilihatnya gampang, thinking itu adalah orang yang objektif, sementara feeling
adalah orang yang subjektif. Kalo untuk sejauh ini, sih, gue rasa jumlah orang
thinking sama feeling itu sama banyaknya di dunia. Kebanyakan orang thinking
itu judes, tapi kalo udah kenal sama orang dia bisa jadi baik banget. Dia nggak
gampang ketipu, nggak gampang merasa rugi atau dirugikan, nggak gampang merasa
bersalah atau seolah-olah bersalah. Sementara orang feeling itu banyak nggak
teganya. Banyak nggak enakan kalo menolak tawaran orang. Sederhananya gini,
dulu gue sempat membuat satu kondisi yang mengharuskan teman kelompok gue
submit tugas materi ke email gue pake dateline. Terus setelah mereka submit,
gue belaga bego pake acara bilang kalo tugasnya nggak masuk. Dan inilah respon
mereka.
Thinking : “Yah, file gue udah nggak ada lagi di PC.”
Feeling : “Iya sama.”
Gue : “Terus gimana, nggak ada, nih.”
Thinking : “Masa iya nyari ulang. Yang bener aja.”
Feeling : “Udah dicek bener-bener belum?”
Gue : “Udah.”
Feeling : “Tetap nggak ada?”
Gue : “Iya.”
Feeling : “Yaudah ntar gue nyari ulang bahannya, terus
ntar gue bikin salinan biar kalo kayak gini lagi, nggak harus nyari ulang.”
Thinking : “Sini biar gue yang cek email lo. Kali aja ada kesalahan di mana gitu.”
Dan
satu hal yang membedakan orang Thinking sama orang Feeling adalah pola pikir
mereka dalam menyelesaikan masalah. Thinking
people judge situations based on logic and oriented toward
problem solving. Bagi orang thinking, mustahil rasanya tugas yang udah dikirim
malah nggak masuk inbox. Dan dia berasumsi pasti ada kesalahan sama akun email
gue. Sementara Orang feeling, ruled by
their heart instead of their head and judge situations based on
feelings and extenuating circumstances. Buat orang feeling, dia berempati
seandainya dia ada di posisi gue, dia juga pasti berpikir untuk melakukan hal
yang sama. Karena dia tau, nggak ada lagi yang bisa gue lakuin selain minta
mereka untuk ngirim ulang filenya. Kalo gue saranin, sih, orang tipikal feeling
jangan pernah jadi juri, assessor, atau tim penilai yang sifatnya kualitas. Ini
bukan berarti orang feeling nggak bisa memberikan penilaian, ya. Cuman, konteks
yang dinilainya aja yang kadang harus dipertimbangkan.
Nah, dimensi berikutnya yang diajukan sama MBTI
adalah Judging (J) vs Perception (P).
Gimana seseorang menjalani hari-hari yang dia lewati menurut MBTI ada yang
selow ada yang terstruktur. Btw, judging di sini bukan berarti dia suka
menghakimi orang lain lho, ya.
Judging
mengarah sama orang yang hidupnya pake acara list dulu. Hari ini mau ngapain,
jam segini harus ngapain, jadwal besok ada apa aja. Hidup dia teratur dan
terstruktur, rapi, sistematis, terencana dan tipikal orang yang memegang
teguh “Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”
Sementara
perception itu hidupnya luwes, (luwes, bukan let it flow lho ya. Please
bedain). Orang perception itu bukan orang yang teratur, yang hari ini harus
ngapain aja, hari ini harus pulang jam berapa, hari ini harus ngerjain apa aja.
Buat orang perception, hidup itu dibawa enjoy aja. Tapi, bukan berarti orang
perception itu nggak punya jadwal harian. Mereka punya list itu, cuman itu
semua hanya sebagai pengingat, bukan sebagai patokan yang bener-bener harus
dilakukan.
Menurut
gue pribadi, sih, orang judging atau orang perception sama-sama punya tujuan.
Cuman cara dia menuju tujua itu aja yang beragam. Kayak misal di bangku kuliah,
nih. Btw, kalo di bangku kuliah, kepribadian juding dan perception ini sangat
mudah dijumpai. Di kelas gue contohnya, ada tipikal orang judging; kaku, yang
mana dia nggak suka dibantah, nggak suka disela, nggak suka dipotong
pembicaraannya, minta perhatian kalo lagi ngomong depan kelas. Karena hakikatnya
orang judging itu taat aturan, hidupnya udah terstruktur kayak yang gue bilang
tadi.
Bedanya
sama orang perception yaitu mereka orang yang fleksibel. Terserah orang banyak
mau ngomong apa, mau ngasih saran atau opini apa pun, selama itu masih satu tujuan
dan masih dalam konteks yang sama, orang perception oke-oke aja. Orang
perception cenderung lebih mudah memahami orang lain, karena menurut pengamatan
gue mereka adalah tipikal manusia yang menyukai keberagaman dan mengerti dengan
baik makna dari perbedaan yang sesungguhnya. Karena orang perception adalah
orang yang fleksibel, mereka tidak masalah ketika dihadapkan pada dua sampai
tiga masalah sekaligus.
Bedanya
sama orang judging gini, orang judging kalo dikasih dua masalah, dia pasti
selesaikan satu masalah dulu, baru lanjut ke masalah berikutnya. Tapi, kalo
orang perception, waktu dikasih dua masalah, dia ngerjainnya barengan. Entah
masalah pertama clear 40% masalah kedua clear 50%, atau masalah pertama clear
70% dan masalah kedua clear 80%.
Kebayang
nggak bedanya?
Nah,
biar lebih paham gue kasih contoh anak-anak di prodi gue. Jadi, awal mula
kuliah aka mahasiswa baru, kita dihadapkan sama dua kegiatan utama yang
dikerjainnya hampir barengan tiap minggu; sebutlah pralab dan laporan. Untuk
orang judging, dia lebih milih ngerjain laporan dulu atau ngerjain pralab
dulu. Karena dia bukan tipikal orang multitasking. Menurut dia, beban yang
dia emban akan berkurang ketika satu dari dua tanggung jawab itu benar-benar
sudah terselesaikan.
Sementara
buat orang perception, dia bakal ngerjain pralab bab tiganya dulu sambil
ngerjain laporan bab lampiran. Karena buat orang perception, sesuatu itu tidak
harus berurutan. Asalkan itu benar dan tidak menyalahi aturan, semua hal bisa
dilakukan mulai dari tahap mana aja.
Btw,
omongan gue banyak banget, ya. Hahahaha.
Itulah
teori gue tentang orang-orang di sekitar gue dan kepribadian mereka yang gue
pandang dari konsep MBTI. Kiranya perspective yang gue kasih bisa membuat lo
semua yang lagi baca tulisan ini jadi sadar, bahwa perbedaan kepribadian itu
adalah hal yang wajar. Setiap kepribadian tentunya berpeluang untuk menjadi
muda, tua, dewasa, dan bijaksana. Perihal bagaimana kita menilai seseorang,
tentunya tidak lepas dari asumsi pada diri kita sendiri. Jadi, sebelum menilai orang lain, silahkan nilai diri
kita sendiri.
Btw, gue adalah tipikal ENFP (dari hasil tes di lima
website pada tiap minggu yang berbeda). Cuman itu tidak menjadi patokan kalo
gue orangnya semirip ENFP yang sebenarnya. Kata
orang aja, gue orangnya perfectionist (padahal menurut gue, sih nggak. Nggak nyadar
maksudnya wkwkwwkwk)
So,
what is your personality?
Komentar
Posting Komentar