You in My Perspective


I stared at me through the mirror for a long time

And I devoted quite a bit of my abundant free time to thinking about people. Then ask the same question over and over “Am I normal? What’s the difference between me and them?”

“Orang dewasa yang umurnya udah nggak muda, tapi bersikap tidak dewasa dan berlagak jadi orang bijak ternyata menjadi populasi terbesar manusia di dunia.”

Mendadak, gue teringat sama beberapa paragraph punya Stephen Colbert yang sempat gue sisipkan di naskah Aksara Rasa “Remember, you cannot be both young and wise. Young people who pretend to be wise to the ways of the world are mostly just cynics. Cynicism masquerades as wisdom, but it is the farthest thing from it. Because cynics don’t learn anything. Because cynicism is a self-imposed blindness, a rejection of the world because we are afraid it will hurt us or disappoint us. Cynics always say no. But saying “yes” begins things. Saying “yes” is how things grow. Saying “yes” leads to knowledge. “Yes” is for young people. So for as long as you have the strength to, say “yes'.”

Well, yang muter-muter di otak gue selama beberapa bulan terakhir adalah pada “Remember, you cannot be both young and wise” Emang, bener nggak, sih kalo sebenarnya kita nggak bakal pernah bisa menjadi muda dan bijak dalam waktu yang bersamaan? Emang bener, gitu kalo yang bijak hanyalah mereka yang sudah melewati banyak rintangan dalam hidup dan punya seabrek pengalaman dalam kehidupan yang mereka jalani?

Bicara soal yang kayak begituan kayaknya emang susah, sih. Apalagi untuk mengeneralkan standard “Bijak” pada setiap manusia di dunia. Gue sendiri juga nggak tahu, apakah kapasitas yang gue punya selama ini sudah memenuhi standar kata bijak bagi orang-orang di sekitar gue. Cuman di satu sisi, gue juga menyadari kalo ternyata muda dan bijak berada dalam fasenya masing-masing. Mereka punya dimensi sendiri-sendiri, yang mana tentunya akan sangat sulit bagi seorang manusia untuk memilih muda dan bijak dalam satu kesempatan di waktu yang sama.

Ketika lo berada di masa ketika ketawa-ketawi lo masih terasa asyik, guyonan sohib-sohib lo masih kerasa seger, candaan geng lo masih menghibur, dan rutinitas foya-foya lo kayak misal nongkrong gak jelas di coffee shop, nonton film romance di bioskop, hiburan atau liburan dan kegiatan ngabisin duit buat hal yang faedahnya secuil kuku jari ternyata masih menjadi hal-hal yang lo suka, itu artinya lo masih muda. Definisi muda dalam kamus hidup gue adalah rentang waktu di mana lo menikmati semua momen yang lo hadapi dan menjalaninya sesuai dengan rute yang kayak orang lain jalanin, bahasa kerennya let it go, gitu deh. Muda adalah masa di mana lo bebas menentukan pola pikir dan prinsip dalam hidup yang nantinya bakal jadi cikal bakal pegangan lo buat menjalani masa depan. Muda adalah bagian dari cerita dalam naskah hidup lo yang punya banyak bab untuk diulas dan dibahas. Dan muda adalah rangkain kenangan yang memenuhi hampir separuh ingatan di otak kanan lo sekaligus menjadi masa di mana kebanyakan energy yang lo punya terbuang sia-sia di sana.

Gue nggak tau apakah sekarang gue sedang menjalani masa muda gue? Atau menuju masa muda gue? Atau justru hampir mengakhiri masa muda gue? Gue ngerasa gue nggak mengalami masa di mana biasanya orang-orang seumuran gue alami. Atau gue aja yang nggak nyadar kalo sebenarnya selama ini gue jadi manusia muda yang normal kayak anak-anak milenial lainnya?

I feel everybody wondering what’s wrong with me.

Di samping perihal muda, bijak juga menjadi satu fase yang pengen banget bisa gue dapetin di waktu sekarang. Gue pengen jadi orang yang bijak menerima perbedaan, bijak menghadapi kepribadian dan sifat-sifat kemanusiaan orang di sekitar gue, bijak menghadapi masalah, bijak melihat kesalahan, bijak menilai sesuatu dengan sepantasnya, bijak menghargai keberagaman dan bijak dalam memandang dunia. Gue pengen jadi orang yang tidak hanya bisa memahami diri gue atau orang-orang di sekitar gue, gue ingin memahami filosofi kenapa harus ada perbedaan, kenapa jadi ada perbedaan, dan apa yang harus gue lakukan dengan perbedaan itu.

Selama ini gue sadar, gue tidak bijak dalam banyak hal. Tidak bijak dalam memilih teman bergaul, tidak bijak dalam menilai orang lain saat pertama kali ketemu, tidak bijak dalam memutuskan apakah gue harus ini harus itu, tidak bijak dalam menyikapi sindiran-sindiran orang lain yang nggak suka sama gue, tidak bijak dalam menyudahi rasa kesal gue kalo lagi kecewa, tidak bijak dalam menangani diri gue sendiri kalo lagi putus asa, dan semua ketidakbijaksanaan yang sudah gue lakukan selama ini, pada akhirnya mendorong gue berpikir untuk menyudahi semua rentetan fase muda yang sekarang entah ada di tahap mana.

Kalo dibilang dewasa, kayaknya juga bukan gue-gue banget, lah ya. Gue masih panikan, masih kagetan, masih suka ngoceh sana-sini, masih suka ngambur-ngamburin duit beli buku yang faedahnya secuil atom, masih sering berpikir untuk menyusun strategi balas dendam waktu orang-orang ngejahatin gue, the point is gue belum menjadi manusia yang dewasa. Gue ngerasa gue masih belum mampu menjadi manusia yang sabar, tenang, enjoy, live the life, dan terbebas dari semua sindiran orang-orang yang nggak suka sama gue.

Tapi, jujur, gue ngerasa kalo ternyata orang-orang disekitar gue, a large number of them adalah orang-orang yang juga jauh dari sifat dewasa. Masih ada aja tuh orang yang sifatnya bocah padahal udah punya KTP. Masih ada aja orang yang suka membuat sekat-sekat atau batasan seolah-olah dia punya daerah otonom sama gengnya masing-masing. Dan nyatanya masih ada aja orang yang kelakuannya berbanding terbalik sama umurnya.

Dari situ lah, gue menemukan filosofi yang sebenarnya, bukan hanya sekedar sadar, tapi gue ngerti kenapa umur dan dewasa adalah dua bagian yang tidak pernah menjadi standar untuk memenuhi standar yang lain. Tidak ada batasan umur agar seseorang menjadi dewasa, dan tidak ada batas kedewasaan karena umur seseorang. Umur dan dewasa nampaknya memang sejalan linear, tapi sebenarnya mereka berdua tidak pernah terikat satu sama lain. Umur hanya memberikan penjelasan kenapa anak kecil suka main-main air, kenapa muka ibu kita perlahan jadi keriput, kenapa nenek kita sering sakit sendi lutut dan sendi kaki. Sementara dewasa memberikan jalan berpikir gimana caranya kita bersikap, bertindak, berbuat, berperilaku, dan bertabiat.

Pemikiran gue selanjutnya digerumungi oleh rasa tanya berlebihan, “If I can’t be young and wise at all in one phase of my life, may I be young and mature to face its phase?”

Dewasa di sini tidak gue artikan sebagai orang dewasa yang udah menikah, udah mau menikah, udah punya anak, udah mau punya anak, udah sibuk kerja, udah sibuk nyari kerja atau mereka-mereka yang selama ini memiliki jabatan sebagai orang dewasa. Tapi, dewasa yang gue bicarakan sekarang adalah sifatnya, adjectivenya.

Faktanya ada banyak orang dewasa yang umurnya udah nggak muda, tapi bersikap tidak dewasa dan berlagak jadi orang bijak. Di dunia ini akan sangat mudah menemukan orang-orang seperti itu. Masih ada aja, kan orang yang umurnya nggak muda lagi tapi sikapnya kek bocah SD? Dan kebalikannya, rare banget, kan buat nemuin anak SD yang bisa berpikir dewasa?

Bijak dan dewasa nampaknya beriringan. Bijak itu dalam bertindak, sementara strategi bertindaknya dibentuk sama psikologis kedewasaan.  Gue nggak tahu secara pasti, kenapa kebanyakan orang bijak adalah mereka yang punya pemikiran dewasa, sementara sebagian besar orang dewasa adalah mereka yang belum mampu menjadi bijak?

Bijak dan dewasa memang tidak didasarkan pada kemauan. Gue yakin, setiap dari kita pasti mau jadi orang dewasa (dalam segi umur) yang bijak (dalam segi pemikiran). Tapi sayangnya kita malas untuk mengubah pola pikir kita. Malas untuk me-recovery pemikiran-pemikiran primitif kita tentang hidup yang kita jalani sekarang. Coba aja kita belajar buat memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang, belajar untuk memaklumi keberagaman dan mengharagi semua ke-heterogen-an manusia, sedikit demi sedikit kita belajar untuk menjadi bijak. Akibatnya, pemikiran akan mengubah tindakan.

Flashback ke masa-masa kita masih jadi bocah, deh. Kenapa dulu kita suka nangis kalo keinginan kita nggak dipenuhi? Kenapa dulu kita sering banget main di bawah terik matahari ampe mimisang parah? Kenapa dulu kita susah banget buat dibangunin dan disuruh mandi? Kenapa dulu kalo makan kita suka milih-milih ikannya apa, sayurnya apa?

Itu semua murni karena pemikiran kita. Pola pikir kita belum menuju titik kedewasaan. Makanya, sebagai manusia (yang belajar untuk jadi orang dewasa), kita nggak usah heran kenapa anak-anak juga punya sikap kayak gitu. Yaaa, jawabannya sederhana, karena mereka anak-anak dan pola pikir mereka belum mampu mempertimbangkan setiap tindakan yang akan mereka lakukan atau yang sedang mereka lakukan.

Kita dan anak-anak tidak sepenuhnya berbeda. Meskipun banyak orang yang membuat batasan khusus antar anak-anak dan kaum semacam kita; misalnya berdasarkan umur, cara berpikir, pengetahuan dan wawasan. Sejatinya memang hanya umur saja yang jadi pembeda antar kita dan anak-anak. Selebihnya? Tidak ada jaminan.

Muda, bijak, umur, dan dewasa bukan menjadi bagian-bagian yang mendasari bagaimana kita melihat atau menilai orang lain. Lebih utuh dari semua itu, kita memandang mereka berdasarkan kepribadan yang mereka tunjukkan.

Kalo ditinjau dari sudut pandang psikologis, sih ada banyak teori tentang kepribadian. Cuman beberapa tahun terakhir orang-orang banyak merujuk sama teorinya Isabel Myers, atau kalo mau nyari tahu lebih banyak silahkan minta bantuan sama Google seputar MBTI.

Myers-Birggs Type Indicator ini membagi manusia ke dalam enam belas kepribadian dengan empat tipikal berlawanan yakni Extroversion (E) vs Introversion (I), Sensing (S) vs Intuition (N), Thinking (T) vs Feeling (F) dan Judging (J) vs Perception (P). Di mana masing-masing kepribadian memiliki empat macam pasang sifat. Kalo mau simplenya sih, silahkan lo ikutin test nya di website-website ternama, ada yang dari Indonesia ada juga yang dari luar. Tapi, kalo lo mau baca POV gue tentang delapan kepribadian itu, don’t hesitate to keep reading this one.

Sebenarnya, dulu gue sempat baca bukunya Carl Jung (electronic, sih hahahaha). Btw, jangan dikirain dia orang Korea, yah. Carl Jung itu orang Swiss, jadi yahhh dia keturunan bangsa Eropa. Dalam buku Psychologische Typen yang dia publish tahun berapa gitu gue lupa, Carl Jung membagi kepribadian manusia based on how they get their passion. Nah, dibuku itu dijelaskan kalo mereka yang Extrovert adalah mereka yang punya banyak interaksi social dan senantiasa membuka diri terhadap lingkungan luar. Sementara Introvert adakah mereka yang lebih doyan menutup diri dari lingkungan luar, nggak suka keributan, dan lebih milih untuk menyendiri daripada keramaian.

Kalo kata para ilmuwan (cielah), cara sederhanaya kalo kita mau tau orang itu extrovert atau introvert, ask him to describe something. Orang extrovert cenderung abstrak, cuman ngebahas outer part-nya aja, dan gambaran yang dia berikan kadang nggak bisa dipahami dengan baik. Sementara orang introvert itu too detail, menyeluruh, dan yang pasti kita akan sangat mudah memahami description yang dia sampaikan.

Dulu gue pernah ngelakuin penelitian tidak berprosedur gitu, deh. Wkwkwk, jadi dulu gue sempat menguji saran para ilmuwan pake metode ask them to describe something. Gue minta jelasin tentang gedung Lawang Sewu di Semarang. Nah, orang extrovert bilang, “Gedungnya gede banget, Fau. Terus banyak spot buat foto-foto gitu, sih. Cuman nggak semua tempat bisa jadi spot foto karena ada beberapa yang nggak diizinin sama petugas keamanan di sana. Ada bekas peninggalan Zaman Belanda gitu, juga. Awal gue masuk, sih, karena waktu itu siang yaaa kesannya ramai aja, gitu. Karena, kan juga banyak wisatawan di sana. Gue paling suka sama bentuk pintunya yang unik-unik, yaaah gua juga nggak tahu pasti emang ada seribu atau itu  cuman sewu dalam artian banyak yang sesungguhnya.“

Setelah gue nanya ke orang Introvert dia bilang, “Sebelum masuk lo susah banget markirnya, apalagi kalo naik bus. Musti jalan ke trotoar dulu karena pemberhentian busnya nggak boleh lama-lama di depan gedung, apalagi kalo misal lagi musim wisatawan. First impression gue waktu masuk halamannya sih, ya lumayan. Terawat, terjaga, apik gitu para pegawai dan pengelolanya. Rumput-rumputnya juga nggak ada yang kelewat batas tumbuh, asri aja jadinya. Tiket masuknya, sih low price aja. Antrinya juga nggak pake lama. Waktu lo masuk halaman utamanya, lo bakal disuguhin sama pertunjukan music, gitu. Nggak tau, deh itu dari komunitas atau emang udah jadi mitra. Kita bisa nikmatin..............“

Too complete. Introvert jelasin ke gue sampai ke perihal tukang jualan minuman dan makanan yang nangkring di samping gedung.

Dari situ gue sadar, orang introvert bukan orang yang nggak suka ngomong atau menutup diri dari lingkungan luar (gue punya teori sendiri, nih jadinya). Orang introvert cenderung suka mengeksplor sesuatu sendirian untuk menemukan hal-hal yang tidak ditemukan orang lain. Bukan berarti dia nggak suka ngomong atau nggak suka bicara, dia hanya terlalu fokus untuk mencerna sesuatu dalam pikirannya hingga orang lain berpikir dia itu malas ngomong dan suka menyendiri.

Next, adalah Sensing vs Intuition. Sensing adalah tipikal orang yang memanfaatkan inderanya semacam melihat, mendengar, mencium (apasih), meraba, dan mengecap untuk memahami suatu informasi atau keadaan yang dihadapi. Dia adalah jenis manusia yang memegang teguh prinsip pengalaman sebagai guru terbaik. Satu yang jadi tipikal utamanya, orang sense itu adalah orang yang realistis, logis, dan memandang sesuatu secara menyeluruh berdasarkan wujudnya. Dia juga termasuk orang yang fokus menjalani sesuatu di masa sekarang. Atau dalam artian lainnya, orang sensing itu (nggak enak banget sensing) lebih memilih untuk memikirkan masa sekarang daripada masa depan. Selain itu orang sensing juga nggak gampang percaya, pembuktiannya dia sendiri yang harus melihat, mendengar , mencium, meraba, dan mengecap sesuatu.

Bedanya sama orang intuition ialah orang intuition itu lebih abstrak, maksudnya suatu informasi atau keadaan yang dia hadapi akan dia pandang dari berbagai macam sudut pandang. Kalo misal ada masalah, hal pertama yang akan orang sensing lakukan adalah berusaha untuk memecahkan masalah itu. Tapi, kalo orang intuition berpikir dulu, kenapa masalah itu muncul , apa latar belakangnya, terus kalo masalah itu sudah diselesaikan apa efeknya sama masa depan.

Nah, sepemahaman gue selama ini sih, orang intuition itu hidup di masa depan. Maksudnya, dia bukan tipikal orang yang melulu bilang, “Udah jalanin aja.” Orang intuition itu mikir ke depannya banyak bangwet. Makanya orang intuition itu dipenuhi sama sejuta inspirasi dan seabrek khayalan tentang sesuatu.

Based on my experiment, sih wkwkwwk, gue dulu pernah ditanya sama orang tipikal sensing and intuition about somay yang gue beli di Kuliner Baiman. Nah, waktu orang sensing nanya “Gimana rasanya?” gue jawab “Agak asin dikit.” Ehhh dianya malah balik nanya, “Ah masa? Sini dah gue coba.”

Bedanya sama orang intuition waktu gue bawa somay, dia nanya gini “Enakan mana sama somay di Gatsu?” terus gue jawab “Yang di sini agak asin dikit.” Dianya kasih respon gini, “Yang di Gatsu bumbu kacangnya emang lebih kerasa mungkin. Somay kalo bumbu kacangnya cuman dikasih sedikit sih nggak enak. Kalo bumbu kacangnya banyak tapi rasanya juga nggak pas, malah makin nggak enak.”

Kerasa banget, kan bedanya?

Berikutnya adalah Thinking (T) vs Feeling (F). Nah, untuk tipikal yang ini dilihatnya gampang, thinking itu adalah orang yang objektif, sementara feeling adalah orang yang subjektif. Kalo untuk sejauh ini, sih, gue rasa jumlah orang thinking sama feeling itu sama banyaknya di dunia. Kebanyakan orang thinking itu judes, tapi kalo udah kenal sama orang dia bisa jadi baik banget. Dia nggak gampang ketipu, nggak gampang merasa rugi atau dirugikan, nggak gampang merasa bersalah atau seolah-olah bersalah. Sementara orang feeling itu banyak nggak teganya. Banyak nggak enakan kalo menolak tawaran orang. Sederhananya gini, dulu gue sempat membuat satu kondisi yang mengharuskan teman kelompok gue submit tugas materi ke email gue pake dateline. Terus setelah mereka submit, gue belaga bego pake acara bilang kalo tugasnya nggak masuk. Dan inilah respon mereka.

Thinking : “Yah, file gue udah nggak ada lagi di PC.”
Feeling : “Iya sama.”
Gue : “Terus gimana, nggak ada, nih.”
Thinking : “Masa iya nyari ulang. Yang bener aja.”
Feeling : “Udah dicek bener-bener belum?”
Gue : “Udah.”
Feeling : “Tetap nggak ada?”
Gue : “Iya.”
Feeling : “Yaudah ntar gue nyari ulang bahannya, terus ntar gue bikin salinan biar kalo kayak gini lagi, nggak harus nyari ulang.”
Thinking : “Sini biar gue yang cek email lo. Kali aja ada kesalahan di mana gitu.”

Dan satu hal yang membedakan orang Thinking sama orang Feeling adalah pola pikir mereka dalam menyelesaikan masalah. Thinking people judge situations based on logic and oriented toward problem solving. Bagi orang thinking, mustahil rasanya tugas yang udah dikirim malah nggak masuk inbox. Dan dia berasumsi pasti ada kesalahan sama akun email gue. Sementara Orang feeling, ruled by their heart instead of their head and judge situations based on feelings and extenuating circumstances. Buat orang feeling, dia berempati seandainya dia ada di posisi gue, dia juga pasti berpikir untuk melakukan hal yang sama. Karena dia tau, nggak ada lagi yang bisa gue lakuin selain minta mereka untuk ngirim ulang filenya. Kalo gue saranin, sih, orang tipikal feeling jangan pernah jadi juri, assessor, atau tim penilai yang sifatnya kualitas. Ini bukan berarti orang feeling nggak bisa memberikan penilaian, ya. Cuman, konteks yang dinilainya aja yang kadang harus dipertimbangkan.

Nah, dimensi berikutnya yang diajukan sama MBTI adalah Judging (J) vs Perception (P). Gimana seseorang menjalani hari-hari yang dia lewati menurut MBTI ada yang selow ada yang terstruktur. Btw, judging di sini bukan berarti dia suka menghakimi orang lain lho, ya.

Judging mengarah sama orang yang hidupnya pake acara list dulu. Hari ini mau ngapain, jam segini harus ngapain, jadwal besok ada apa aja. Hidup dia teratur dan terstruktur, rapi, sistematis, terencana dan tipikal orang yang memegang teguh “Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”

Sementara perception itu hidupnya luwes, (luwes, bukan let it flow lho ya. Please bedain). Orang perception itu bukan orang yang teratur, yang hari ini harus ngapain aja, hari ini harus pulang jam berapa, hari ini harus ngerjain apa aja. Buat orang perception, hidup itu dibawa enjoy aja. Tapi, bukan berarti orang perception itu nggak punya jadwal harian. Mereka punya list itu, cuman itu semua hanya sebagai pengingat, bukan sebagai patokan yang bener-bener harus dilakukan.

Menurut gue pribadi, sih, orang judging atau orang perception sama-sama punya tujuan. Cuman cara dia menuju tujua itu aja yang beragam. Kayak misal di bangku kuliah, nih. Btw, kalo di bangku kuliah, kepribadian juding dan perception ini sangat mudah dijumpai. Di kelas gue contohnya, ada tipikal orang judging; kaku, yang mana dia nggak suka dibantah, nggak suka disela, nggak suka dipotong pembicaraannya, minta perhatian kalo lagi ngomong depan kelas. Karena hakikatnya orang judging itu taat aturan, hidupnya udah terstruktur kayak yang gue bilang tadi.

Bedanya sama orang perception yaitu mereka orang yang fleksibel. Terserah orang banyak mau ngomong apa, mau ngasih saran atau opini apa pun, selama itu masih satu tujuan dan masih dalam konteks yang sama, orang perception oke-oke aja. Orang perception cenderung lebih mudah memahami orang lain, karena menurut pengamatan gue mereka adalah tipikal manusia yang menyukai keberagaman dan mengerti dengan baik makna dari perbedaan yang sesungguhnya. Karena orang perception adalah orang yang fleksibel, mereka tidak masalah ketika dihadapkan pada dua sampai tiga masalah sekaligus.

Bedanya sama orang judging gini, orang judging kalo dikasih dua masalah, dia pasti selesaikan satu masalah dulu, baru lanjut ke masalah berikutnya. Tapi, kalo orang perception, waktu dikasih dua masalah, dia ngerjainnya barengan. Entah masalah pertama clear 40% masalah kedua clear 50%, atau masalah pertama clear 70% dan masalah kedua clear 80%.

Kebayang nggak bedanya?

Nah, biar lebih paham gue kasih contoh anak-anak di prodi gue. Jadi, awal mula kuliah aka mahasiswa baru, kita dihadapkan sama dua kegiatan utama yang dikerjainnya hampir barengan tiap minggu; sebutlah pralab dan laporan. Untuk orang judging, dia lebih milih ngerjain laporan dulu atau ngerjain pralab dulu. Karena dia bukan tipikal orang multitasking. Menurut dia, beban yang dia emban akan berkurang ketika satu dari dua tanggung jawab itu benar-benar sudah terselesaikan.

Sementara buat orang perception, dia bakal ngerjain pralab bab tiganya dulu sambil ngerjain laporan bab lampiran. Karena buat orang perception, sesuatu itu tidak harus berurutan. Asalkan itu benar dan tidak menyalahi aturan, semua hal bisa dilakukan mulai dari tahap mana aja.

Btw, omongan gue banyak banget, ya. Hahahaha.

Itulah teori gue tentang orang-orang di sekitar gue dan kepribadian mereka yang gue pandang dari konsep MBTI. Kiranya perspective yang gue kasih bisa membuat lo semua yang lagi baca tulisan ini jadi sadar, bahwa perbedaan kepribadian itu adalah hal yang wajar. Setiap kepribadian tentunya berpeluang untuk menjadi muda, tua, dewasa, dan bijaksana. Perihal bagaimana kita menilai seseorang, tentunya tidak lepas dari asumsi pada diri kita sendiri. Jadi, sebelum menilai orang lain, silahkan nilai diri kita sendiri.

Btw, gue adalah tipikal ENFP (dari hasil tes di lima website pada tiap minggu yang berbeda). Cuman itu tidak menjadi patokan kalo gue orangnya semirip ENFP yang sebenarnya. Kata orang aja, gue orangnya perfectionist (padahal menurut gue, sih nggak. Nggak nyadar maksudnya wkwkwwkwk)

So, what is your personality?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020