Memilih untuk Memilih


 love your colour to live your life

Pernah denger istilah hidup itu pilihan, nggak sih? Well, do you have same mind way towards to that statement?
Atau kalian punya definisi yang jauh lebih relate sama kehidupan yang sekarang kalian jalani?

Bicara soal pilihan, gue termasuk orang yang meyakini bahwa segala hal yang terjadi, setiap kejadian yang gue alamin, dan semua peristiwa yang mewarnai hidup gue adalah hasil dari pilihan gue sendiri. Sederhananya kayak misal gue ngambil jurusan kuliah. Awal mulanya gue dilanda kegalauan yang luar biasa, apakah gue bener-bener bakalan jadi guru. Bukan fisikanya yang gue pertimbangkan, tapi profesinya. Gue mikir beribu-ribu kali karena dalam pandangan otak gue dua tahun yang lalu guru itu profesi yang monoton setelah kerja kantoran. Yaaa, gini, deh. Let’s build an example, such as dokter. Dokter, kan nggak harus ngadepin sosok atau individu yang itu-itu aja selama enam bulan lamanya. At least, dokter bakal nemuin banyak pembaharuan.

Beda sama profesi guru. Yaaa, bayangin aja. Kita ngadepin raut-raut wajah manusia yang dengan segala macam polemiknya dalam kurun waktu sekitar sepuluh bulan. Belum lagi kalo misal ada anak murid yang punya banyak kesulitan. Kek misal, susah ngapal rumus, nggak bisa ngitung integral, nggak ngerti soal, nggak paham konsep, etc. Btw, dalam otak kanan dan otak kiri gue, bersatu pendapat bahwa guru itu cenderung lebih suka murid yang pintar dan cerdas sama subjek pelajaran yang diajarkan guru. Terus apa jadinya kalo misal ada anak yang punya kecerdasan naturalis kita ajarin gimana caranya nentuin perlambatan mobil sedan supaya nggak nabrak kucing di depannya? Atau misal, ada anak yang punya kecerdasan linguistic kita minta menyelesaikan permasalahan Hukum Archimedes?

Semua pertimbangan itu bikin gue bertanya-tanya, sebenarnya keputusan gue udah tepat apa belum, sih? Jangan-jangan dua tahun yang gue geluti selama ini ternyata cuman sekedar rutinitas khalyak ramai aja?

But, akhirnya gue sadar. I’ve chosen. I choose to be their future teacher. Gue yang memilih untuk menjadi bagian dari penentu masa depan bangsa gue. Meskipun gue tidak memungkiri, bahwa sampai sekarang gue masih dihantui pikiran primitf dan materialistic, seputar PNS, sertifikasi, naik pangkat, dan golongan gajih. Gue nggak pengen menutup-nutupi kenyataan bahwa menjadi guru adalah salah satu pekerjaan yang bisa menjamin masa depan lo dan masa depan keluarga lo. Cuman endinya, gue jadi ngerasa bersalah sama diri gue. Seakan-akan ada iming-iming rupiah di belakang profesi guru yang sekarang lagi gue gapai. Dosa, nggak, sih? Atau muna nggak, sih? Atau justru manusiawi aja?

Hidup adalah pilihan, bukan cuman berlaku buat satu individu aja. Hidup adalah pilihan juga tertanam untuk bangsa Indonesia. Hidup mati bangsa kita, kan ada di tangan kita. Dan kita yang punya wewenang untuk menentukan, mau ke arah mana bangsa kita. Sekalipun, cuman bersatus mahasiswa dan butiran debu, setiap dari kita punya kesempatan untuk mengubah dan mewarnai bangsa Indonesia. Sejalan dengan hal itu, maka untuk tahun depan gue harap kalian yang baca tulisan gue tidak akan memutuskan untuk menjadi kaum netral.

2014 kemarin, kaum golput menorehkan prestasi tertinggi mereka di sepanjang pesta demokrasi bangsa, yakni 30 persen. Bayangin, hampir satu pertiga penduduk produktif di tanah air dilanda kegalauan sampai-sampai mereka nggak bisa memutuskan, siapa yang harus mereka pilih. Meskipun golput itu tetap aja sah secara hukum, seperti yang tertuang dalam pasal 23 UU HAM.

Gini, yah, biar gue perjelas. Pilpres itu bukan suatu penyelenggaraan yang sederhana. Negara ngabisin banyak dana buat ngadain pemilu di seluruh penjuru kota di Indonesia. Dan lo nggak boleh beranggapan bahwa lo punya hak untuk memilih atau tidak memilih. Kalo lo semua sampai punya asumsi kayak gitu, it means lo pribadi yang egois dan kamvret bin ajib.

Lo nggak punya hak untuk memilih, tapi lo punya kewajiban untuk memilih. Ingat ya, sekarang nggak ada lagi yang namanya hak suara, tapi kewajiban suara. Sekalipun hanya ada dua paslon yang di antara mereka semua tentunya ada kekurangan dan kelebihan, lo harus wajib menentukan suara.

Remember this line, nobody’s perfect. Mau lo cari ke manapun juga nggak ada di antara dua paslon itu yang sempurna. Pasti ada aja cacat dan minusnya. Cuman, sebagai warga negara yang kerjaannya suka ngeluh mulu, jangan lah lo pada ngehujat dan ngasih judgment yang endingnya justru malah bikin perpecahan antar kelompok. Itu artinya lo malah nambah-nambah masalah bangsa. Udah rupiah melemah, utang negara masih banyak, kasus sidang pejabat belum tuntas, koruptor makin eksis, lembaga pemerintahan korupsi massal, masa lo tega nambah masalah dengan bikin perpecahan antar kelompok? Bikin sumpek Indo aja, tuh namanya.

Satu yang harus lo tanamkan di otak kiri dan otak kanan serta hati nurani lo, “Saya berhak memilih, dan saya wajib memiliih. Saya memilih untuk memiih….”

Nggak cuman urusan paslon, perihal pasdup juga penting tentunya. Pasdup, pasangan hidup. Btw, beberapa hari yang lalu, sohib gue nanya ke gue soal pasangan hidup itu definisinya kayak gimana. Yahhh, karena gue bukan ahli bahasa, akhirnya gue jawab aja dari sudut pandangn keilmuan #cielah dan pemahaman gue. For me, pasangan hidup itu adalah dia yang tidak pernah menjadikan kita sebagai alasan untuk melengkapi hidupnya. Gini, nih, dalam pandangan gue, pasangan itu tidak hadir untuk saling melengkapi, tapi saling menguatkan. Let’s make a short narrative. Misal, lo itu orangnya suka sholat molor waktu, terus lo pengen dapetin pasangan yang sholatnya on time dengan alasan biar dia bisa negur lo buat ngikutin jejak dia agar sholat tepat waktu juga.

What’s weird? Ingat, ya, melengkapi kekurangan kita itu adalah tugas kita, bukan tugas pasangan kita. Melengkapi kekurangan itu butuh tanggung jawab dan kesadaran yang besar, lo sendiri emang sanggup melengkapi kekurangan pasangan lo?

Daripada saling melengkapi kekurangan, mending kita sama-sama menguatkan. Hubungan yang baik itu akan terasa baik jika masing-masing dari kita punya power yang sama besar untuk saling menguatkan. Akan jauh lebih mudah, kan daripada melengkapi kekurangan?

Terus misal gini, banyak banget, nih yang sering gue denger. “Gue itu orangnya royal, boros. Makanya gue pengen dapetin pasangan yang hemat dan bisa ngatur keuangan.”

Itu mah boong. Percuma kalo lo dapetin pasangan yang pinter ngelola keuangan, tapi lo sendri borosnya nggak ketulungan. Ujung-ujungnya duit kalian berdua malah raib entah ke mana karena lo habisin. Itu tuh, yang gue maksud kalian tidak harus melengkapi kekurangan pasangan kalian. Karena itu pasti akan sangat melelahkan.

Dalam konteks berikutnya, ada yang bilang gini, “Gue itu egois, keras kepala. Makanya gue pengen dapetin pasdup yang nggak egois, pengertian, dan bisa nenangin gue ketika gue diterpa badai topan kehidupan.“

Yahelah, kalo kayak gitu, sih pasangan lo yang ujung-ujungnya nanti keteteran. Lo egois, pasangan lo penyabar. Terus kalo misal kalian besiteru atau berantem, harus sampai kapan dia sabar mulu?

Lalu muncullah pertanyaan, “Kalo kayak gitu, apa jadinya kalo dua orang dalam satu hubungan sama-sama egois?” at least, nggak bakal ada yang terus melakukan pengorbanan berkepanjangan, nggak bakal ada yang salah atau yang benar karena hubungan yang baik tidak akan memunculkan tokoh tersangka dan korban di dalamnya. Setidaknya dengan sama-sama egois, kalian tidak akan memendam, kalian tidak akan menyimpan amarah itu sendirian.

Gue, sih lebih milih sama-sama egois daripada yang satu egois yan satu penyabar. Karena menurut gue, dengan sifat yang sama itulah kalian akan belajar gimana caranya memaklumi semua kekurangan, memaafkan segala kesalahan, dan yang pasti kalian bisa lebih toleran. Tapi, yah egoisnya nggak boleh sekuat ikatan proton ama neutron juga, sih hahahaha.

That’s why, hadir polemik baru “Harus nyari pasangan yang sama profesinya kayak kita juga, gitu?”

Untuk soal profesi pasdup, sih gue tidak berani memberikan opini. Karena hal yang kayak gituan mah relative. Tergantung gimana lo sama pasangan lo menjalani hidup kalian. Misal lo guru, terus pasdup lo guru juga, satu bidang kajian pula. Yaaa nggak apa-apa,kan. Dengan kayak gitu, lo bisa sharing banyak hal seputar ilmu pengetahuan yang masing-masing kalian punya, omongan kalian tentunya bakal sama-sama nyambung dan relevan.

Atau misal lo guru, terus pasdup lo akuntan. Yaaa nggak apa-apa juga. Toh, dengan cara kayak gitu, dia bakal memberi warna baru sama ilmu pengetahuan yang lo punya, dan lo sendiri juga bakal memberi warna baru sama ilmu pengetahuan yang dia punya. Kalian saling mewarnai, serasi, kan?

Ngomong-ngomong soal warna, every single one of you dianugerahkan satu warna yang utuh dari Tuhan. Mungkin lo yang lagi baca tulisan gue dikarunia warna merah, atau biru, atau kuning, atau hijau, atau abu-abu, atau merah muda, atau justru hitam. Tapi, jangan pernah merasa terkucilkan hanya karena lo dianugerahkan warna hitam atau warna-warna yang tidak diminati banyak orang di dunia. Percayalah, lukisan tidak pernah indah hanya karena berhias warna merah muda saja. Terkadang seniman juga butuh warna hitam, meski hanya sekedar untuk menguatkan corak warna bebatuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020