Aksara Rasa
Aku ingin menjadi apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang
kamu inginkan.
Karena ketika semua yang kamu inginkan sudah berhasil kamu dapatkan,
Aku ingin kamu masih tetap membutuhkanku.
Karena ketika semua yang kamu inginkan sudah berhasil kamu dapatkan,
Aku ingin kamu masih tetap membutuhkanku.
(Aksara Rasa, 2017)
Jakarta
ramai, seperti biasanya. Bahkan tanpa harus dikomando, Ibu kota memang
selayaknya demikian. Terlebih lagi ketika weekend seperti ini;
sab’tu sore memang menjadi waktu yang tepat bagi semua orang untuk berkumpul,
melepas penat, sesekali bercengkrama, atau hanya sekedar diskusi ringan dengan
keluarga, sahabat, gang, atau justru memungut dentingan waktu
pada arloji seperti yang ku lakukan sekarang. Entah sudah berapa lama aku duduk
di sini; di lesehan jajanan kota, menghabiskan sekitar dua jam terakhirku
seorang diri tanpa ada lawan bicara seperti yang orang lain lakukan.
Berkali-kali ku usap layar handphoneku untuk memastikan bahwa aku sudah
menunggu terlalu lama. Rasanya kaki ini ingin beranjak pergi untuk mengayuh
sepeda dan tiba di rumah sebelum pukul enam sore. Namun, hatiku menolak niat
itu karena alasan tidak masuk akal yang bahkan sulit untuk ku mengerti.
“Alya!”
aku tersenyum singkat sebelum akhirnya meneguk rasa pahit begitu menyadari
siapa pemuda yang baru saja meneriakkan namaku dari area parkir sepeda.
Dia
berjalan ringan menghampiriku; membelah kerumunan orang-orang di trotoar,
dengan mengenakan seragam latihan sambil menggantung ransel kebanggaannya di
pundak kanan.
“Sedang
apa?” tanyanya lalu duduk di depanku. Selepas itu dia memanggil Dinar untuk
memesan makanan.
Aku
tak menjawab apa yang dia tanyakan. Ku perhatikan dia dari tempatku duduk di
depannya, nampak tak ada yang berubah dari sosok Rian Indrawan yang ku kenal.
Dia masih tetap sama, masih, di mataku.
“Es
teh manis ama ayam penyet gorengnya satu, sambalnya banyakin ya, Nar.” kata Rian
ketika Dinar sudah tiba di meja kami, di mejanya tepatnya.
“Sipd,
boss!” balas Dinar sambil menuliskan menu yang dipesan Rian pada secarik kertas
di tangannya.
“Alya,
kamu nggak mau pesan sesuatu, gitu?” Dinar membuatku terdiam, masih berpikir untuk
menindaklanjuti pertanyaannya.
“Kamu
di sini dari jam empat sore dan nggak ngemil apa-apa. Mau es teh juga?” tawar
Dinar yang membuatku menggeleng, menolak apa yang sudah dia ajukan tadi.
“Alya,
Alya.” ucap Dinar lalu beranjak meninggalkan kami.
Sejenak
hanya ada keramaian Kota Jakarta yang mengisi ruang antara sekitarku dan Rian.
Hanya ada deru mesin mobil dan suara samar-samar orang di belakangku.
“Nungguin
Alfian?” tanya Rian tiba-tiba sambil mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
“Ya.”
jawabku singkat dan setelahnya aku terdiam begitu saja ketika mendapati benda
apa yang baru saja dia keluarkan dari ranselnya.
“Saya
nggak tau ada apa sama distributor di Jakarta sampai-sampai buku kamu bisa
launching di sini dua hari yang lalu.” ucapnya seraya membuka tutup pulpen dan
menyerahkan buku itu padaku.
“Entah
perang apa yang kamu muat dalam buku kamu kali ini. Tapi, saya rasa ini lebih
mewah dari Aksara Waktu-kamu tahun lalu.” sambungnya lalu
meletakkan pulpennya di atas buku itu.
“Saya
bisa pastikan, saya adalah orang pertama di Kota Jakarta yang menyelesaikan
buku kamu tahun ini.” sontak aku tersenyum mendengar apa yang Rian ucapkan,
lalu dengan ringan ku bubuhkan namaku di halaman pertama buku miliknya.
“Pesananan
tiba.” Dinar melangkah cepat dan tanggap saat menyajikan pesanan Rian, sudah
seperti pramusaji internasional. Tak salah, sejak duduk di bangku SMP dulu
Dinar sudah memilih untuk menjadi asisten Ayahnya di warung makan.
“Makasih,
Nar.” sambut Rian antusias lalu dia beranjak untuk mencuci tangan.
“Karena
kamu nggak pesan apa-apa, aku nggak tahu kamu mau apa. Jadi, saya bawakan kamu
es teh aja.” ucap Dinar lalu memberikan segelas es teh yang gulanya masih belum
diaduk.
“Saya
tahu kamu suka es batunya lebih dari suka air tehnya.” sambungnya lalu setelah
itu berlalu.
“Selamat
makan, Al.” ucap Rian yang ku sambut dengan anggukan setuju.
Sebenarnya
aku ingin bertanya pada Rian tentang jadwal latihan dia di Pelatnas. Setidaknya
tak ada perbedaan antara jadwalnya dengan jadwal Arfian, walau terkadang memang
ada jadwal di antara mereka yang harus diporsir untuk
tournament-turnament tertentu. Namun, aku enggan untuk bicara mengenai Arfian
bersama Rian. Tak bisa ku lakukan hal itu.
“Penyisihan
Indonesia Open dilakukan besok lusa, Al. Kamu mau nonton? Saya punya satu tiket
VIP A jika kamu mau.” kata Rian di sela-sela kegiatan makannya.
Aku
menatapnya bingung.
“Tidak
untuk menonton dan mendukung saya. Intinya bukan untuk saya, tapi untuk Anggia.
Sebenarnya dia yang memberi tahu saya bahwa buku kamu tahun ini sudah terbit
sejak dua hari yang lalu.”
“Akan
saya pikirkan, Yan. Saya akan menghubungi kamu jika saya membutuhkan tiket
itu.” balasku yang disambut dengan anggukan setuju darinya.
Rian
melanjutkan kegiatan makannya, sambil sesekali mengajakku bicara mengenai
kabar Anggia di pelatnas. Tak hanya kabar Anggia saja sebenarnya, tapi mengenai
kondisi pelatnas dan rencana tournament mereka tahun ini pun juga tak luput
diceritakan Rian.
“Oh,
ya, Al, Sudah hampir jam delapan malam.” ucap Rian terdengar serba salah.
“Kamu
ada latihan besok pagi, kan? Duluan aja, Yan, terimakasih sudah menceritakan
kabar Anggia. Salam untuknya.” balasku, aku mengerti apa yang dia maksudkan.
“Warung
makan Dinar akan tetap buka sampai jam sebelas malam. Tapi, jangan menunggu
warungnya tutup baru kamu pulang.” kata Rian sambil berbenah.
“Duluan,
ya, Al.” ucapnya lalu mulai beranjak pergi dan entah pada langkah ke berapa,
dia menghentikannya. Lalu berbalik arah menatapku.
“Kamu
pulang bareng aku aja, Al. Arfian bakal tetap di Pelatnas sampai latihan
benar-benar berakhir. Lagipula rantang nasi kamu bisa basi kalo sampai nunggu dia
datang.”
Aku
menatap Rian dalam kebisuan yang panjang. Tak ada kata yang pantas ku katakan
untuk menjawab ucapannya.
“Duluan
aja, Yan.” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku.
***
“Saya
habis dari latihan.” masih bisa ku dengar deru nafasnya yang memburu.
Aku
terdiam mendengar apa yang Arfian ucapkan. Lebih tepatnya aku tak percaya, aku
tak habis pikir dengan apa yang sudah dia lakukan.
“Saya
minta maaf, Al.”
Tetap
diam, mataku terasa sudah sangat berat, teramat berat meski hanya sekedar untuk
menatapnya. Rasa kesal bercampur dengan entah… entah apa yang ku rasakan
sekarang.
“Alya.”
Alfian duduk di depanku lalu melepas ransel biru malam yang melekat di
pundaknya.
“Saya
akan tetap makan kari ayam yang kamu buat. Kamu-“
“Kari
ayamnya sudah basi.” selaku sebelum Arfian meraih rantang nasi di samping
kanannya.
Dapat
kulihat raut bersalah, entah apakah itu bersalah atau serba salah. Yang ku tahu
kemudian kami sama-sama terdiam selama beberapa saat. Aku membuang pandangan ke
arah warung makan milik Dinar yang sudah gelap gulita. Hanya tersisa angin
malam yang berhembus kencang dan deru mesin mobil penanda kesibukan kota
Jakarta. Es teh yang diberikan Dinar tadi sudah meluluhkan seluruh balok es dan
membuat embun digelasnya jatuh. Bahkan gulanya masih menyatu di dasar gelas
kaca itu.
“Saya
benar-benar minta maaf, Al. Penyisihan akan dilakukan besok lusa dan tidak ada
waktu main-main selama sepuluh hari terakhir. Saya juga-”
“Kamu
pikir ini main-main? Kamu sudah kayak gini berapa kali, Fian?” akhirnya aku
menatapnya, tepat di kedua bola matanya.
“Alya,
saya nggak bisa memprioritaskan sesuatu seperti pertemuan kita atas turnamen
yang sudah saya kejar selama ini. Saya mohon kamu mengerti.”
Dalam
rintik hujan yang perlahan mulai membasahi kota Jakarta, aku menatap lekat
Arfian. Rasanya aku benar-benar ingin mengutuk diriku sendiri yang selama ini
selalu bertahan untuknya, mengutuk perasaanku yang selama ini terus berjuang
untuknya.
“Saya
nggak bisa lagi, Fian. Silahkan kamu minta orang lain untuk mengerti kamu.”
ucapku yang disambut dengan tatapan tidak percaya dari raut wajahnya. Ku lihat
dia menahan suaranya.
“Kamu
mau ninggalin saya, Al?”
“Saya
nggak ninggalin kamu, kamu yang lari dari saya.” jawabku lalu setelahnya
beranjak pergi, meninggalkannya yang masih membisu dengan apa yang sudah ku
ucapkan. Aku menyerah untuk berdebat dengan perasaan tentang bagaimana aku esok
hari setelah bertemu dengannya. Sejatinya aku memberinya waktu untuk mewujudkan
apa yang selama ini dia inginkan. Dan selepas itu, aku akan menunggu siapa aku
untuknya.
***
Perhelatan
ajang turnamen badminton bergengsi tahunan yang diselenggarakan di Jakarta
dimulai. Selepas pulang dari kantor redaksi, aku memutuskan untuk mampir
sebentar ke Istora, sekedar memberi semangat dan dukungan untuk Anggia di babak
penyisihan kali ini. Tanpa menghubungi Rian seperti janjiku sebelumnya, aku
membeli tiket masuk langsung di Istora.
“Alya!”
baru saja aku menginjakkan kaki mengarah menuju pinta masuk area pertandingan,
ku lihat Anggia melambaikan tangan kanannya dan berlari ke arahku.
“Alya
apa kabar?” tanya selepas kami berpelukan erat.
“Baik,
bahkan melihat kamu hari ini saya akan semakin baik, Gia.” jawabku yang
disambut dengan senyum darinya.
“Saya
belum selesaikan Aksara Rindu-kamu, Al. Tapi, Rian sudah
menceritakan hampir keseluruhan kisah perang itu untuk saya. Benar-benar.” kata
Gia sambil mengajakku untuk duduk di kursi tunggu.
“Tidak
usah dipaksa, saya menulis sesuatu itu untuk kalian nikmati.” balasku, berlagak
seperti orang bijak yang disambut dengan wajah melongo dari Gia; dia
mengejekku. Dan setelahnya kami tertawa lepas.
“Kamu
ke sini untuk Alfian? Dia belum datang, Al.” ucap Gia sambil merenggangkan
pergelangan tangannya.
“Dia
tanding jam berapa, Gia?” tanyaku, sedikit ragu.
“Bareng
saya dan Rian, cuman beda lapangan aja.” jawab Gia pasti. Lalu setelahnya dia
menatapku.
“Kalian
nggak kenapa-napa, kan?” Gia berhenti merenggangkan pergelangan tangannya dan
memilih untuk duduk di samping kananku.
“Kamu
lepasin seseorang yang sudah kamu dampingi dari nol kecil? Kamu sehat, Al?”
“Arfian
bakal-“
Anggia
menghentikan ucapannya begitu melihat Rian dan Arfian serta Satya berjalan
mengarah ke ruang tunggu.
“Wah,
Alya!” Satya berlari ke arahku dan Anggia dengan antusias. Aku menyambutnya
juga dengan ekspresi yang sama.
“Saya
sudah selesaikan Aksara Rindu-kamu tadi malam. Tapi, saya lupa bawa
bukunya buat minta tanda tangan karena saya nggak tahu kamu bakal ada di sini
hari ini.” ucap Satya sambil membenarkan ransel di pundak kirinya.
Dapat
ku lihat raut heran dari wajah Arfian, dia menatapku nanar.
“Ehm,
ini pertandingannya bakal dimulai sebentar lagi, deh.” ucap Rian memecah
kesunyian.
“Saya
nggak bisa dukung kalian secara langsung, maaf , ya. Saya harus ke kantor
redaksi sekarang.” kataku sambil beranjak bangun.
“Lho,
Al. kamu, kan udah beli tiketnya? Alya.” balas Gia, menolak.
Tepat
setelah itu Arfian beranjak masuk terlebih dulu meninggalkan kami yang masih
berdiam diri di ruang tunggu.
“Semangat,
ya, Gia, Rian, Satya.” kataku lalu setelahnya beranjak pergi.
Aku
berubah pikiran begitu melihat Arfian hari ini. Dan tiket masuk itu ku
lemparkan ke tempat sampah di depan halaman Istora.
***
“Untuk
mengerti mengapa setiap dari kita membutuhkan orang lain adalah bukan hanya
sekedar teori sosial atau kodrati yang sudah Tuhan anugerahkan pada kita. Ada
kebutuhan dasar yang harus manusia penuhi dalam dirinya, yakni membutuhkan
orang lain untuk tetap bertahan hidup dan dibutuhkan orang lain untuk tetap
terus bertahan.” (Aksara Rindu, 2017)
Aku
menyelesaikan berita terakhir sebelum Mas Rudi mencetaknya malam ini. Sudah
hampir jam sepuluh malam dan aku, Mbak Cynthia beserta Mas Rudi masih tetap
sibuk menyiapkan surat kabar yang siap diedar besok shubuh. Kopi hitamku sudah
menyisakan dua gelas ampasnya, masih terlihat normal jika dibandingkan dengan
Mbak Cynthia dan Mas Rudi yang masing-masing sudah menghabiskan delapan gelas
kopi hitam.
“Saya
besok cuti kerja aja deh, Mas Rudi.” ucap Mbak Cynthia sambil menumpuk ratusan
surat kabar di meja kerjanya.
“Jangan
lapor ke saya, Cyn. Saya malah mau berhenti kerja, tapi buat besok saja.” balas
Mas Rud yang membuat kami semua tertawa.
“Kamu
besok mau ke mana, Al?” tanya Mas Rudi sambil matanya menatap ke arah surat
kabar di depan beliau.
“Ya,
nggak ke mana-mana, Mas. Saya ke kantor redaksi nanti jam tujuh pagi.” jawabku
sambil masih membenarkan paper layout di meja kerja.
“Nggak
mau ke Istora, gitu? Pacar kamu masuk final nih, gimana sih, Alya.” sahut Mas
Rudi yang langsung membuatku terdiam.
“Si
Arfian, Mas? Wah hebat juga tuh anak.” sambung Mbak Cynthia.
“Iya,
Cyn. Satu-satunya wakil tanah air tercinta.” kata Mas Rudi sambil menghampiri
meja kerjaku dan memperlihatkan topik utama surat kabar esok pagi.
“Kalian
marahan?” tanya Mas Rudi lalu tersenyum singkat.
“Anak
muda itu harus bisa menyiapkan masa depan, harus mampu mengejar masa depan dan
harus sanggup menggapai masa depan. Mungkin ini yang sedang Arfian lakukan buat
kamu, Al. Kamu adalah bagian dari rencana masa depan yang dia siapkan,
yang sekarang dia kejar dan bakal dia gapai. Bawa santay saja. Ya?” kata Mas
Rudi sambil mengetuk meja kerjaku lalu setelahnya berlalu, merapikan tumpukan
surat kabar di dalam kardus.
“Maklumi
aja, Al. Coba deh untuk memaklumi apa yang selama ini sudah kamu terima dengan
apa adanya dari Arfian.” sambung Mbak Cynthia, yang hanya ku sambut dengan
anggukan ringan.
“Oke,
selesai, selesai!” ucap Mas Rudi sambil bertepuk tangan, menyeru aku dan Mbak
Cynthia untuk pulang.
“Saya
akan selesaikan paper layout saya dulu Mas, Mbak.” kataku yang
disetujui oleh Mas Rudi dan Mbak Cynthia.
“Jangan ketiduran di kantor, Al. Besok pertandingannya jam tujuh
pagi.” sahut Mas Rudi dan ditanggapi dengan senyum ringan dariku
Masih menyelesaikan paper layoutku yang hampir
rampung. Mataku masih sanggup dan tak ada hasrat untuk tidur. Sambil
memperbaiki letak kacamataku, handphoneku di samping kiri meja bergetar.
Buru-buru ku lepas kacamata yang tadi sempat ku perbaiki, dan mengurut keningku
sejenak begitu melihat nama Arfian.
Menolak untuk bersikap seakan-akan aku sedang sibuk dan telah
terlelap, aku mengangkat panggilan darinya dengan sedikit ragu.
“Hallo.” kataku, benar-benar ragu.
“Kamu besok sibuk?” tanyanya langsung. Membuatku terdiam sejenak.
“Alya, besok kamu sibuk?” dia mengulang pertanyaan yang sama dengan menambahkan namaku
di depannya.
“Saya belum tau, Fian.” jawabku seadanya.
“Besok sehabis final saya mau makan kari ayam buatan kamu. Bisa?”
Aku terdiam mendengar apa yang dia tanyakan, bahkan sekarang dia
membahas kari ayam buatanku. Suasana hati yang sedang seperti ini justru hampir
membuatku tertawa karena kari ayam.
“Saya nggak tau apa bisa atau tidak.” jawabku seadanya, lagi.
“Saya tau kamu bisa, tapi kamu nggak mau, kan?” aku menghela napas mendengar jawabannya.
“Ada yang sedang saya kerjakan.“
“Alya tung-“
Aku mematikan handphoneku tepat setelah ku akhiri panggilan
Arfian. Aku masih belum bisa memikirkan dan bertindak bagaimana aku setelah
mendengar permintaannya tadi. Kari ayam untuk perayaannya besok terdengar
begitu tidak masuk akal untukku.
***
Aku hampir mundur begitu melihat ribuan penonton yang memenuhi
Istora. Bahkan untuk mencari kursi duduk saja sulit untuk ku lakukan karena
desak-desakkan penonton yang benar-benar membludak.
“Mbak, ini duduknya di mana, ya?” tanyaku pada salah seorang staff
di dekat pintu masuk area penonton sambil memperlihatkan tiket masuk lewat
handphone yang ku beli secara online malam tadi.
“Oh, ini di kursi bawah mbak, baris kedua dari staff yang ada di
depan.”
“Makasih, mbak.”
Ku lihat arloji di tangan kiriku, 06.55.
Lima menit lagi pertandingan Arfian akan dimulai. Ku putuskan
untuk menghadiri pertandingannya kali ini setelah menimbang-nimbang apa yang
Mas Rudi dan Mbak Cynthia ucapkan padaku malam tadi
“Alya!” aku terkejut begitu menyadari siapa laki-laki yang ada di
samping kiriku. Entah kebetulan macam apa, aku justru bertemu Mas Rudi bersama
istri dan dua orang anaknya di sini
“Wah, ada Mbak Alya, salam dulu dek, ayo salam.” pinta istri Mas
Rudi kepada Hanif dan Ali.
“Apa kabar, Mbak?” tanyaku pada Mbak Aina selepas menyambut salam
dari kedua anak beliau.
“Baik, Al. Kamu sendiri?”
“Baik juga, Mbak.” jawabku
tersenyum.
“To start first competition that bring together Indonesia
and Taipei in final Indonesia Open Super Series two thousands and seventeen
today, here is Arfian Mahendra from Indonesia and Tai Yang Zei from Taipei.”
Suara pembukaan
bergemuruh riuh menyambut satu-satunya perwakilan Indonesia di babak tungga
putra pagi ini. Ku lihat Arfian tersenyum ringan pada penonton di sudut-sudut
gelora.
“Arfian semangat!!!”
Mas Rudi berteriak lantang saat Arfian melangkah melewati pinggir lapangan tepat
di depanku. Membuat Arfian menoleh ke arah Mas Rudi dan setelahnya dia tersenyum
lebar seraya memperlambat langkahnya ketika melihatku.
“Kalian sudah baikkan? Sudah
selesai marahan?” tanya Mas Rudi lalu tersenyum singkat. Membuat Mbak Aina
tertawa kecil.
“Mas Rudi cerita ke
Mbak Aina?” tanyaku sedikit tidak terima.
“Sedikit, Al.” jawab
Mas Rudi sambil tersenyum bahagia.
“Udah-udah, itu udah
mau mulai.” kata Mbak Aina menghela pertikaian ringanku bersama Mas Rudi.
“Untung punya kakak ipar
kayak Mbak Aina, sabar terus jadinya.” celotehku ringan dan dapat sambutan
wajah kesal dari Mas Rudi.
“In my left side is Tai Yang Zei from Taipei. And in
my right side is Arfian Mahendra from Indonesia. Arfian, play.”
Arfian memulai service
pertamanya dan shuttlecock melambung, terus demikian hingga akhirnya netting
tipis yang diciptakan Arfian memberi poin pertamanya untuknya.
Sontak seluruh penonton
Istora mengapresiasi point pertama Arfian.
Aku menatap caranya
bermain dan langkah kakinya ketika mengangkat bola, sudah berubah, jauh lebih
baik dan pukulannya menjadi lebih terarah. Dan kali ini aku merasa, apa yang
sudah dia tampilkan hari ini adalah satu dari permainan terindah yang dia
punya.
“Untuk menjadi apa yang orang lain butuhkan adalah
dengan tetap ada di saat-saat dia membutuhkan kita. Terlepas dari seberapa
pentingnya keberadaan kita saat itu, tetaplah ada untuknya, untuk tetap ada di
sampingnya.” (Aksara Rindu, 2017)
***
"Saya minta maaf karena selalu menjadi orang terakhir yang baca buku-buku kamu dari semua orang yang dekat dengan kamu. Saya juga minta maaf karena selalu meminta kamu untuk membuatkan saya kari ayam ketika saya pengen makan kari ayam. Saya minta maaf karena sudah terlalu sering membuat kamu menunggu saya. Saya minta maaf karena sampai sekarang saya belum bisa meluangkan akhir pekan saya untuk kamu. Saya minta maaf karena saya selalu tertidur lebih dulu dari kamu. Saya minta maaf karena sudah meminta kamu untuk selalu mengerti saya. Saya minta maaf untuk semua itu." kata Arfian begitu berdiri di depanku.
“Saya sudah tahu, siapa kamu untuk saya, Al.”
“Saya sudah tahu, siapa kamu untuk saya, Al.”
“Saya tidak minta kamu
untuk mencari tahu itu.” balasku sambil membenahi naskah redaksi .
“Tapi saya harus tahu
itu, dan kamu juga harus tahu bagaiamana kamu untuk saya.”
Aku menatapnya diam,
tidak ingin menjawab apa yang sudah dia katakan.
“Saya butuh kamu.”
“Dan kari ayam kamu.”
Aku menahan tawa untuk
tidak terpaku pada kari ayam yang sejak malam tadi dia bahas.
“Saya juga ingin kamu
membutuhkan saya seperti saya membutuhkan kamu dan kari ayam kamu itu.” katanya
yang akhirnya membuat senyumku hampir melebar.
“Bisa?” tanya Arfian
sambil memberikan medali emas di tangannya untukku.
“Saya lamar kamu pakai
ini, bisa?”
Akhirnya aku tersenyum
lebar.
“Bisa, kan, Al?”
Dia mengulang
pertanyaan yang sama dan membuatku tertawa ringan.
“Saya sudah titipkan
kari ayam itu di warung makannya Dinar. Ayo.” kataku dan langsung disetujui
olehnya.
Setibanya di sana, ku
lihat Anggia, Rian dan Satya, tak lupa Dinar juga sudah berkumpul di satu meja
makan.
Dan aku terdiam begitu
saja, ketika menyadari kari ayam untuk Arfian hanya menyisakan kuahnya tanpa
sepotong daging pun.
“Alya, kamu ngibulin
saya?” bisik Arfian sambil tetap tersenyum pada mereka yang masih sibuk di meja
makan.
“Saya buatkan kari ayam
kamu setelah kamu ketemu Ibu Bapak saya di Yogya.” kataku yang disambut senyum
sumringah di wajah Arfian.
“Kita pesan tiket pesawat
sekarang bisa?” tanyanya ringan.
“Ya!”
“Ya!”
***
Hidup adalah drama openuh improvisasi, tanpa
skenario, tanpa tahu apa yang akan terjadi, siapa yang akan kamu temui, atau
tempat-tempat mana yang akan kamu pijak. Katakan “Ya”, dan jika kamu beruntung,
kamu akan bertemu dengan seseorang yang akan mengatakan “Ya” kembali padamu.
Apakah dengan berkata “Ya” bisa mengantarkanmu pada kesulitan? Apakah dengan
berkata “Ya” bisa menyebabkan kamu melakukan suatu kesalahan? Ya, tentu bisa.
Tapi jangan takut membuat kesalahan. Ingat, kamu tak bisa menjadi muda dan
bijak dalam waktu bersamaan. Orang muda yang berlagak bijak dan seolah mengerti
tentang hidup, kebanyakan adalah orang-orang sinis. Mereka tidak akan belajar
apapun. Karena sikap sinis berarti membutakan diri sendiri, penolakan terhadap
dunia luar karena sebuah ketakutan jika dunia luar akan menyakiti dan
mengecewakan. Orang-orang sinis selalu berkata “Tidak”. Tetapi percayalah,
dengan berkata “Ya” berarti kamu memulai sesuatu yang baru. Berkata “Ya”
mengantarkanmu pada pengetahuan baru. Jadi, selama kamu mempunyai kekuatan,
katakan “Ya” (Stephen Colbert)
Komentar
Posting Komentar