Aksara Rasa


Aku ingin menjadi apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan. 
Karena ketika semua yang kamu inginkan sudah berhasil kamu dapatkan, 
Aku ingin kamu masih tetap membutuhkanku.
(Aksara Rasa, 2017)

Jakarta ramai, seperti biasanya. Bahkan tanpa harus dikomando, Ibu kota memang selayaknya demikian. Terlebih lagi ketika weekend seperti ini; sab’tu sore memang menjadi waktu yang tepat bagi semua orang untuk berkumpul, melepas penat, sesekali bercengkrama, atau hanya sekedar diskusi ringan dengan keluarga, sahabat, gang, atau justru memungut dentingan waktu pada arloji seperti yang ku lakukan sekarang. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini; di lesehan jajanan kota, menghabiskan sekitar dua jam terakhirku seorang diri tanpa ada lawan bicara seperti yang orang lain lakukan. Berkali-kali ku usap layar handphoneku untuk memastikan bahwa aku sudah menunggu terlalu lama. Rasanya kaki ini ingin beranjak pergi untuk mengayuh sepeda dan tiba di rumah sebelum pukul enam sore. Namun, hatiku menolak niat itu karena alasan tidak masuk akal yang bahkan sulit untuk ku mengerti.

“Alya!” aku tersenyum singkat sebelum akhirnya meneguk rasa pahit begitu menyadari siapa pemuda yang baru saja meneriakkan namaku dari area parkir sepeda.

Dia berjalan ringan menghampiriku; membelah kerumunan orang-orang di trotoar, dengan mengenakan seragam latihan sambil menggantung ransel kebanggaannya di pundak kanan.

“Sedang apa?” tanyanya lalu duduk di depanku. Selepas itu dia memanggil Dinar untuk memesan makanan.

Aku tak menjawab apa yang dia tanyakan. Ku perhatikan dia dari tempatku duduk di depannya, nampak tak ada yang berubah dari sosok Rian Indrawan yang ku kenal. Dia masih tetap sama, masih, di mataku.

“Es teh manis ama ayam penyet gorengnya satu, sambalnya banyakin ya, Nar.” kata Rian ketika Dinar sudah tiba di meja kami, di mejanya tepatnya.

“Sipd, boss!” balas Dinar sambil menuliskan menu yang dipesan Rian pada secarik kertas di tangannya.

“Alya, kamu nggak mau pesan sesuatu, gitu?” Dinar membuatku terdiam, masih berpikir untuk menindaklanjuti pertanyaannya.

“Kamu di sini dari jam empat sore dan nggak ngemil apa-apa. Mau es teh juga?” tawar Dinar yang membuatku menggeleng, menolak apa yang sudah dia ajukan tadi.

“Alya, Alya.” ucap Dinar lalu beranjak meninggalkan kami.

Sejenak hanya ada keramaian Kota Jakarta yang mengisi ruang antara sekitarku dan Rian. Hanya ada deru mesin mobil dan suara samar-samar orang di belakangku.

“Nungguin Alfian?” tanya Rian tiba-tiba sambil mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.

“Ya.” jawabku singkat dan setelahnya aku terdiam begitu saja ketika mendapati benda apa yang baru saja dia keluarkan dari ranselnya.

“Saya nggak tau ada apa sama distributor di Jakarta sampai-sampai buku kamu bisa launching di sini dua hari yang lalu.” ucapnya seraya membuka tutup pulpen dan menyerahkan buku itu padaku.

“Entah perang apa yang kamu muat dalam buku kamu kali ini. Tapi, saya rasa ini lebih mewah dari Aksara Waktu-kamu tahun lalu.” sambungnya lalu meletakkan pulpennya di atas buku itu.

“Saya bisa pastikan, saya adalah orang pertama di Kota Jakarta yang menyelesaikan buku kamu tahun ini.” sontak aku tersenyum mendengar apa yang Rian ucapkan, lalu dengan ringan ku bubuhkan namaku di halaman pertama buku miliknya.

“Pesananan tiba.” Dinar melangkah cepat dan tanggap saat menyajikan pesanan Rian, sudah seperti pramusaji internasional. Tak salah, sejak duduk di bangku SMP dulu Dinar sudah memilih untuk menjadi asisten Ayahnya di warung makan.

“Makasih, Nar.” sambut Rian antusias lalu dia beranjak untuk mencuci tangan.

“Karena kamu nggak pesan apa-apa, aku nggak tahu kamu mau apa. Jadi, saya bawakan kamu es teh aja.” ucap Dinar lalu memberikan segelas es teh yang gulanya masih belum diaduk.

“Saya tahu kamu suka es batunya lebih dari suka air tehnya.” sambungnya lalu setelah itu berlalu.

“Selamat makan, Al.” ucap Rian yang ku sambut dengan anggukan setuju.

Sebenarnya aku ingin bertanya pada Rian tentang jadwal latihan dia di Pelatnas. Setidaknya tak ada perbedaan antara jadwalnya dengan jadwal Arfian, walau terkadang memang ada jadwal di antara  mereka yang harus diporsir untuk tournament-turnament tertentu. Namun, aku enggan untuk bicara mengenai Arfian bersama Rian. Tak bisa ku lakukan hal itu.

“Penyisihan Indonesia Open dilakukan besok lusa, Al. Kamu mau nonton? Saya punya satu tiket VIP A jika kamu mau.” kata Rian di sela-sela kegiatan makannya.

Aku menatapnya bingung.

“Tidak untuk menonton dan mendukung saya. Intinya bukan untuk saya, tapi untuk Anggia. Sebenarnya dia yang memberi tahu saya bahwa buku kamu tahun ini sudah terbit sejak dua hari yang lalu.”

“Akan saya pikirkan, Yan. Saya akan menghubungi kamu jika saya membutuhkan tiket itu.” balasku yang disambut dengan anggukan setuju darinya.

Rian melanjutkan kegiatan makannya, sambil sesekali mengajakku bicara mengenai kabar Anggia di pelatnas. Tak hanya kabar Anggia saja sebenarnya, tapi mengenai kondisi pelatnas dan rencana tournament mereka tahun ini pun juga tak luput diceritakan Rian.

“Oh, ya, Al, Sudah hampir jam delapan malam.” ucap Rian terdengar serba salah.

“Kamu ada latihan besok pagi, kan? Duluan aja, Yan, terimakasih sudah menceritakan kabar Anggia. Salam untuknya.” balasku, aku mengerti apa yang dia maksudkan.

“Warung makan Dinar akan tetap buka sampai jam sebelas malam. Tapi, jangan menunggu warungnya tutup baru kamu pulang.” kata Rian sambil berbenah.

“Duluan, ya, Al.” ucapnya lalu mulai beranjak pergi dan entah pada langkah ke berapa, dia menghentikannya. Lalu berbalik arah menatapku.

“Kamu pulang bareng aku aja, Al. Arfian bakal tetap di Pelatnas sampai latihan benar-benar berakhir. Lagipula rantang nasi kamu bisa basi kalo sampai nunggu dia datang.”

Aku menatap Rian dalam kebisuan yang panjang. Tak ada kata yang pantas ku katakan untuk menjawab ucapannya.

“Duluan aja, Yan.” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku.

***

“Saya habis dari latihan.” masih bisa ku dengar deru nafasnya yang memburu.

Aku terdiam mendengar apa yang Arfian ucapkan. Lebih tepatnya aku tak percaya, aku tak habis pikir dengan apa yang sudah dia lakukan.

“Saya minta maaf, Al.”

Tetap diam, mataku terasa sudah sangat berat, teramat berat meski hanya sekedar untuk menatapnya. Rasa kesal bercampur dengan entah… entah apa yang ku rasakan sekarang.

“Alya.” Alfian duduk di depanku lalu melepas ransel biru malam yang melekat di pundaknya. 

“Saya akan tetap makan kari ayam yang kamu buat. Kamu-“

“Kari ayamnya sudah basi.” selaku sebelum Arfian meraih rantang nasi di samping kanannya.

Dapat kulihat raut bersalah, entah apakah itu bersalah atau serba salah. Yang ku tahu kemudian kami sama-sama terdiam selama beberapa saat. Aku membuang pandangan ke arah warung makan milik Dinar yang sudah gelap gulita. Hanya tersisa angin malam yang berhembus kencang dan deru mesin mobil penanda kesibukan kota Jakarta. Es teh yang diberikan Dinar tadi sudah meluluhkan seluruh balok es dan membuat embun digelasnya jatuh. Bahkan gulanya masih menyatu di dasar gelas kaca itu.

“Saya benar-benar minta maaf, Al. Penyisihan akan dilakukan besok lusa dan tidak ada waktu main-main selama sepuluh hari terakhir. Saya juga-”

“Kamu pikir ini main-main? Kamu sudah kayak gini berapa kali, Fian?” akhirnya aku menatapnya, tepat di kedua bola matanya.

“Alya, saya nggak bisa memprioritaskan sesuatu seperti pertemuan kita atas turnamen yang sudah saya kejar selama ini. Saya mohon kamu mengerti.”

Dalam rintik hujan yang perlahan mulai membasahi kota Jakarta, aku menatap lekat Arfian. Rasanya aku benar-benar ingin mengutuk diriku sendiri yang selama ini selalu bertahan untuknya, mengutuk perasaanku yang selama ini terus berjuang untuknya.

“Saya nggak bisa lagi, Fian. Silahkan kamu minta orang lain untuk mengerti kamu.” ucapku yang disambut dengan tatapan tidak percaya dari raut wajahnya. Ku lihat dia menahan suaranya.

“Kamu mau ninggalin saya, Al?”

“Saya nggak ninggalin kamu, kamu yang lari dari saya.” jawabku lalu setelahnya beranjak pergi, meninggalkannya yang masih membisu dengan apa yang sudah ku ucapkan. Aku menyerah untuk berdebat dengan perasaan tentang bagaimana aku esok hari setelah bertemu dengannya. Sejatinya aku memberinya waktu untuk mewujudkan apa yang selama ini dia inginkan. Dan selepas itu, aku akan menunggu siapa aku untuknya.

***

Perhelatan ajang turnamen badminton bergengsi tahunan yang diselenggarakan di Jakarta dimulai. Selepas pulang dari kantor redaksi, aku memutuskan untuk mampir sebentar ke Istora, sekedar memberi semangat dan dukungan untuk Anggia di babak penyisihan kali ini. Tanpa menghubungi Rian seperti janjiku sebelumnya, aku membeli tiket masuk langsung di Istora.

“Alya!” baru saja aku menginjakkan kaki mengarah menuju pinta masuk area pertandingan, ku lihat Anggia melambaikan tangan kanannya dan berlari ke arahku.

“Alya apa kabar?” tanya selepas kami berpelukan erat.

“Baik, bahkan melihat kamu hari ini saya akan semakin baik, Gia.” jawabku yang disambut dengan senyum darinya.

“Saya belum selesaikan Aksara Rindu-kamu, Al. Tapi, Rian sudah menceritakan hampir keseluruhan kisah perang itu untuk saya. Benar-benar.” kata Gia sambil mengajakku untuk duduk di kursi tunggu.

“Tidak usah dipaksa, saya menulis sesuatu itu untuk kalian nikmati.” balasku, berlagak seperti orang bijak yang disambut dengan wajah melongo dari Gia; dia mengejekku. Dan setelahnya kami tertawa lepas.

“Kamu ke sini untuk Alfian? Dia belum datang, Al.” ucap Gia sambil merenggangkan pergelangan tangannya.

“Dia tanding jam berapa, Gia?” tanyaku, sedikit ragu.

“Bareng saya dan Rian, cuman beda lapangan aja.” jawab Gia pasti. Lalu setelahnya dia menatapku.

“Kalian nggak kenapa-napa, kan?” Gia berhenti merenggangkan pergelangan tangannya dan memilih untuk duduk di samping kananku.

“Kamu lepasin seseorang yang sudah kamu dampingi dari nol kecil? Kamu sehat, Al?”

“Arfian bakal-“

Anggia menghentikan ucapannya begitu melihat Rian dan Arfian serta Satya berjalan mengarah ke ruang tunggu.

“Wah, Alya!” Satya berlari ke arahku dan Anggia dengan antusias. Aku menyambutnya juga dengan ekspresi yang sama.

“Saya sudah selesaikan Aksara Rindu-kamu tadi malam. Tapi, saya lupa bawa bukunya buat minta tanda tangan karena saya nggak tahu kamu bakal ada di sini hari ini.” ucap Satya sambil membenarkan ransel di pundak kirinya.

Dapat ku lihat raut heran dari wajah Arfian, dia menatapku nanar.

“Ehm, ini pertandingannya bakal dimulai sebentar lagi, deh.” ucap Rian memecah kesunyian.

“Saya nggak bisa dukung kalian secara langsung, maaf , ya. Saya harus ke kantor redaksi sekarang.” kataku sambil beranjak bangun.

“Lho, Al. kamu, kan udah beli tiketnya? Alya.” balas Gia, menolak.

Tepat setelah itu Arfian beranjak masuk terlebih dulu meninggalkan kami yang masih berdiam diri di ruang tunggu.

“Semangat, ya, Gia, Rian, Satya.” kataku lalu setelahnya beranjak pergi.

Aku berubah pikiran begitu melihat Arfian hari ini. Dan tiket masuk itu ku lemparkan ke tempat sampah di depan halaman Istora.

***
“Untuk mengerti mengapa setiap dari kita membutuhkan orang lain adalah bukan hanya sekedar teori sosial atau kodrati yang sudah Tuhan anugerahkan pada kita. Ada kebutuhan dasar yang harus manusia penuhi dalam dirinya, yakni membutuhkan orang lain untuk tetap bertahan hidup dan dibutuhkan orang lain untuk tetap terus bertahan.” (Aksara Rindu, 2017)

Aku menyelesaikan berita terakhir sebelum Mas Rudi mencetaknya malam ini. Sudah hampir jam sepuluh malam dan aku, Mbak Cynthia beserta Mas Rudi masih tetap sibuk menyiapkan surat kabar yang siap diedar besok shubuh. Kopi hitamku sudah menyisakan dua gelas ampasnya, masih terlihat normal jika dibandingkan dengan Mbak Cynthia dan Mas Rudi yang masing-masing sudah menghabiskan delapan gelas kopi hitam.

“Saya besok cuti kerja aja deh, Mas Rudi.” ucap Mbak Cynthia sambil menumpuk ratusan surat kabar di meja kerjanya.

“Jangan lapor ke saya, Cyn. Saya malah mau berhenti kerja, tapi buat besok saja.”  balas Mas Rud yang membuat kami semua tertawa.

“Kamu besok mau ke mana, Al?” tanya Mas Rudi sambil matanya menatap ke arah surat kabar di depan beliau.

“Ya, nggak ke mana-mana, Mas. Saya ke kantor redaksi nanti jam tujuh pagi.” jawabku sambil masih membenarkan paper layout di meja kerja.

“Nggak mau ke Istora, gitu? Pacar kamu masuk final nih, gimana sih, Alya.” sahut Mas Rudi yang langsung membuatku terdiam.

“Si Arfian, Mas? Wah hebat juga tuh anak.” sambung Mbak Cynthia.

“Iya, Cyn. Satu-satunya wakil tanah air tercinta.” kata Mas Rudi sambil menghampiri meja kerjaku dan memperlihatkan topik utama surat kabar esok pagi.

“Kalian marahan?” tanya Mas Rudi lalu tersenyum singkat.

“Anak muda itu harus bisa menyiapkan masa depan, harus mampu mengejar masa depan dan harus sanggup menggapai masa depan. Mungkin ini yang sedang Arfian lakukan buat kamu, Al. Kamu adalah bagian dari rencana masa depan yang dia siapkan, yang sekarang dia kejar dan bakal dia gapai. Bawa santay saja. Ya?” kata Mas Rudi sambil mengetuk meja kerjaku lalu setelahnya berlalu, merapikan tumpukan surat kabar di dalam kardus.

“Maklumi aja, Al. Coba deh untuk memaklumi apa yang selama ini sudah kamu terima dengan apa adanya dari Arfian.” sambung Mbak Cynthia, yang hanya ku sambut dengan anggukan ringan.

“Oke, selesai, selesai!” ucap Mas Rudi sambil bertepuk tangan, menyeru aku dan Mbak Cynthia untuk pulang.

“Saya akan selesaikan paper layout saya dulu Mas, Mbak.” kataku yang disetujui oleh Mas Rudi dan Mbak Cynthia.

“Jangan ketiduran di kantor, Al. Besok pertandingannya jam tujuh pagi.” sahut Mas Rudi dan ditanggapi dengan senyum ringan dariku

Masih menyelesaikan paper layoutku yang hampir rampung. Mataku masih sanggup dan tak ada hasrat untuk tidur. Sambil memperbaiki letak kacamataku, handphoneku di samping kiri meja bergetar. Buru-buru ku lepas kacamata yang tadi sempat ku perbaiki, dan mengurut keningku sejenak begitu melihat nama Arfian.

Menolak untuk bersikap seakan-akan aku sedang sibuk dan telah terlelap, aku mengangkat panggilan darinya dengan sedikit ragu.

“Hallo.” kataku, benar-benar ragu.

“Kamu besok sibuk?” tanyanya langsung. Membuatku terdiam sejenak.

“Alya, besok kamu sibuk?” dia mengulang pertanyaan yang sama dengan menambahkan namaku di depannya.

“Saya belum tau, Fian.” jawabku seadanya.

“Besok sehabis final saya mau makan kari ayam buatan kamu. Bisa?”

Aku terdiam mendengar apa yang dia tanyakan, bahkan sekarang dia membahas kari ayam buatanku. Suasana hati yang sedang seperti ini justru hampir membuatku tertawa karena kari ayam.

“Saya nggak tau apa bisa atau tidak.” jawabku seadanya, lagi.

“Saya tau kamu bisa, tapi kamu nggak mau, kan?” aku menghela napas mendengar jawabannya.

“Ada yang sedang saya kerjakan.“

“Alya tung-“

Aku mematikan handphoneku tepat setelah ku akhiri panggilan Arfian. Aku masih belum bisa memikirkan dan bertindak bagaimana aku setelah mendengar permintaannya tadi. Kari ayam untuk perayaannya besok terdengar begitu tidak masuk akal untukku.

***
Aku hampir mundur begitu melihat ribuan penonton yang memenuhi Istora. Bahkan untuk mencari kursi duduk saja sulit untuk ku lakukan karena desak-desakkan penonton yang benar-benar membludak.

“Mbak, ini duduknya di mana, ya?” tanyaku pada salah seorang staff di dekat pintu masuk area penonton sambil memperlihatkan tiket masuk lewat handphone yang ku beli secara online malam tadi.

“Oh, ini di kursi bawah mbak, baris kedua dari staff yang ada di depan.”

“Makasih, mbak.”

Ku lihat arloji di tangan kiriku, 06.55.

Lima menit lagi pertandingan Arfian akan dimulai. Ku putuskan untuk menghadiri pertandingannya kali ini setelah menimbang-nimbang apa yang Mas Rudi dan Mbak Cynthia ucapkan padaku malam tadi

“Alya!” aku terkejut begitu menyadari siapa laki-laki yang ada di samping kiriku. Entah kebetulan macam apa, aku justru bertemu Mas Rudi bersama istri dan dua orang anaknya di sini

“Wah, ada Mbak Alya, salam dulu dek, ayo salam.” pinta istri Mas Rudi kepada Hanif dan Ali.

“Apa kabar, Mbak?” tanyaku pada Mbak Aina selepas menyambut salam dari kedua anak beliau.

“Baik, Al. Kamu sendiri?”

 “Baik juga, Mbak.” jawabku tersenyum.

“To start first competition that bring together Indonesia and Taipei in final Indonesia Open Super Series two thousands and seventeen today, here is Arfian Mahendra from Indonesia and Tai Yang Zei from Taipei.”

Suara pembukaan bergemuruh riuh menyambut satu-satunya perwakilan Indonesia di babak tungga putra pagi ini. Ku lihat Arfian tersenyum ringan pada penonton di sudut-sudut gelora.

“Arfian semangat!!!” Mas Rudi berteriak lantang saat Arfian melangkah melewati pinggir lapangan tepat di depanku. Membuat Arfian menoleh ke arah Mas Rudi dan setelahnya dia tersenyum lebar seraya memperlambat langkahnya ketika melihatku.

“Kalian sudah baikkan? Sudah selesai marahan?” tanya Mas Rudi lalu tersenyum singkat. Membuat Mbak Aina tertawa kecil.

“Mas Rudi cerita ke Mbak Aina?” tanyaku sedikit tidak terima.

“Sedikit, Al.” jawab Mas Rudi sambil tersenyum bahagia.

“Udah-udah, itu udah mau mulai.” kata Mbak Aina menghela pertikaian ringanku bersama Mas Rudi.

“Untung punya kakak ipar kayak Mbak Aina, sabar terus jadinya.” celotehku ringan dan dapat sambutan wajah kesal dari Mas Rudi.

“In my left side is Tai Yang Zei from Taipei. And in my right side is Arfian Mahendra from Indonesia. Arfian, play.”

Arfian memulai service pertamanya dan shuttlecock melambung, terus demikian hingga akhirnya netting tipis yang diciptakan Arfian memberi poin pertamanya untuknya.

Sontak seluruh penonton Istora mengapresiasi point pertama Arfian.

Aku menatap caranya bermain dan langkah kakinya ketika mengangkat bola, sudah berubah, jauh lebih baik dan pukulannya menjadi lebih terarah. Dan kali ini aku merasa, apa yang sudah dia tampilkan hari ini adalah satu dari permainan terindah yang dia punya.

“Untuk menjadi apa yang orang lain butuhkan adalah dengan tetap ada di saat-saat dia membutuhkan kita. Terlepas dari seberapa pentingnya keberadaan kita saat itu, tetaplah ada untuknya, untuk tetap ada di sampingnya.” (Aksara Rindu, 2017)

***

"Saya minta maaf karena selalu menjadi orang terakhir yang baca buku-buku kamu dari semua orang yang dekat dengan kamu. Saya juga minta maaf karena selalu meminta kamu untuk membuatkan saya kari ayam ketika saya pengen makan kari ayam. Saya minta maaf karena sudah terlalu sering membuat kamu menunggu saya. Saya minta maaf karena sampai sekarang saya belum bisa meluangkan akhir pekan saya untuk kamu. Saya minta maaf karena saya selalu tertidur lebih dulu dari kamu. Saya minta maaf karena sudah meminta kamu untuk selalu mengerti saya. Saya minta maaf untuk semua itu." kata Arfian begitu berdiri di depanku.

“Saya sudah tahu, siapa kamu untuk saya, Al.”

“Saya tidak minta kamu untuk mencari tahu itu.” balasku sambil membenahi naskah redaksi .

“Tapi saya harus tahu itu, dan kamu juga harus tahu bagaiamana kamu untuk saya.”

Aku menatapnya diam, tidak ingin menjawab apa yang sudah dia katakan.

“Saya butuh kamu.”

“Dan kari ayam kamu.”

Aku menahan tawa untuk tidak terpaku pada kari ayam yang sejak malam tadi dia bahas.

“Saya juga ingin kamu membutuhkan saya seperti saya membutuhkan kamu dan kari ayam kamu itu.” katanya yang akhirnya membuat senyumku hampir melebar.

“Bisa?” tanya Arfian sambil memberikan medali emas di tangannya untukku.

“Saya lamar kamu pakai ini, bisa?”

Akhirnya aku tersenyum lebar.

“Bisa, kan, Al?”

Dia mengulang pertanyaan yang sama dan membuatku tertawa ringan.

“Saya sudah titipkan kari ayam itu di warung makannya Dinar. Ayo.” kataku dan langsung disetujui olehnya.

Setibanya di sana, ku lihat Anggia, Rian dan Satya, tak lupa Dinar juga sudah berkumpul di satu meja makan.

Dan aku terdiam begitu saja, ketika menyadari kari ayam untuk Arfian hanya menyisakan kuahnya tanpa sepotong daging pun.

“Alya, kamu ngibulin saya?” bisik Arfian sambil tetap tersenyum pada mereka yang masih sibuk di meja makan.

“Saya buatkan kari ayam kamu setelah kamu ketemu Ibu Bapak saya di Yogya.” kataku yang disambut senyum sumringah di wajah Arfian.

“Kita pesan tiket pesawat sekarang bisa?” tanyanya ringan.

“Ya!”

“Ya!”

***

Hidup adalah drama openuh improvisasi, tanpa skenario, tanpa tahu apa yang akan terjadi, siapa yang akan kamu temui, atau tempat-tempat mana yang akan kamu pijak. Katakan “Ya”, dan jika kamu beruntung, kamu akan bertemu dengan seseorang yang akan mengatakan “Ya” kembali padamu. Apakah dengan berkata “Ya” bisa mengantarkanmu pada kesulitan? Apakah dengan berkata “Ya” bisa menyebabkan kamu melakukan suatu kesalahan? Ya, tentu bisa. Tapi jangan takut membuat kesalahan. Ingat, kamu tak bisa menjadi muda dan bijak dalam waktu bersamaan. Orang muda yang berlagak bijak dan seolah mengerti tentang hidup, kebanyakan adalah orang-orang sinis. Mereka tidak akan belajar apapun. Karena sikap sinis berarti membutakan diri sendiri, penolakan terhadap dunia luar karena sebuah ketakutan jika dunia luar akan menyakiti dan mengecewakan. Orang-orang sinis selalu berkata “Tidak”. Tetapi percayalah, dengan berkata “Ya” berarti kamu memulai sesuatu yang baru. Berkata “Ya” mengantarkanmu pada pengetahuan baru. Jadi, selama kamu mempunyai kekuatan, katakan “Ya” (Stephen Colbert)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A for Awesome ULM

Aku dan Egoku

Mahasiswa dan Bystander Effect-nya