Petrichor

Petrichor

“Kamu ingat? Kapan terakhir kali kamu bermain riang di bawah guyuran hujan?”


Sore itu langit kembali beraksi. Menghibur puluhan anak bumi lewat nadi-nadi mutiaranya. Mengguyur puluhan mobil dan kendaraan lainnya yang terperangkap dalam kemacetan panjang yang tak ku lihat ujung pangkalnya dari mana. Sesaat halte bus ini sudah penuh sesak oleh kerumunan orang-orang yang berteduh. Tempias hujan menghujam kaki kami yang sebagian besar  hanya memakai sendal. Ku biarakan saja sang tetes kehidupan itu menyelimuti udara yang begitu ku rindu. Sudah lama aku menunggu kedatangannya. Karena sejak 2 bulan yang lalu dia absen tanpa ada cerita. Ya, tanpa ada cerita. Setidaknya hujan memberiku banyak kata-kata yang mampu ku rajut menjadi kalimat dan ku rangkai menjadi sebuah ide ide akan pesan untuk seorang diatas sana.

“Shit! Rain is bad!” gerutu seorang pemuda yang dari ujung rambut hingga ujung kakinya basah oleh guyuran hujan. Dia mengumpat karena buku sketsanya tak sempat terselamatkan.

Ku perhatikan dia yang mencoba bersembunyi dari tempias hujan dengan meminta seorang bocah SD maju hingga ke teras halte.

“Kakak ini gimana si? Aku juga basah. Lagian kakak kan datangnya telat.” tolak bocah itu dengan membuang muka ke arah ku.

“Nah, kakak itu aja santai kok kalo kena hujan.” kata bocah SD itu sambil tersenyum padaku.

“Aku benci hujan! Kalo kamu suka hujan, mending kamu ikuti kakak itu aja!” katanya sedikit kasar sambil mendorong pelan tubuh bocah itu ke tepi halte, ke arahku.

Sesaat emosi ku meningkat begitu mendengar ucapan pemuda itu. Mungkin banyak orang yang tidak suka hujan. Hanya tidak suka, bukan benci. Namun, pemuda itu seakan mengutuk hujan lewat kata-katanya.

“Kamu tidak boleh bicara seperti itu.” ujarku menatapnya tajam. Sayang ini masih tempat umum, jadi ku atur nada bicara ku sesopan mungkin.

“Tau nih, asal ngomong aja. Gak baik kalau kakak benci hujan.” sambung bocah SD itu seraya melepas sepatu dan baju sekolahnya. Lalu kemudian memasukkanya ke dalam ransel hitam.

“Aku pulang duluan ya, kak Tya. Kalau besok hujan, kita pasti bertemu lagi di sin.i” ujarnya lalu mengambil ancang-ancang untuk berlari.

“Kemal, kamu mau mandi hujan?” selaku sebelum dia benar benar menerobos tirai kehidupan itu.

“Kenapa tidak?” tanyanya dengan tersenyum lalu melompat dan menginjak kubangan air di tepi jalan.

Aku mengenal Kemal sudah lama. Kami selalu bertemu di halte ini saat hujan. Dan itu selalu menjadi moment  yang aku suka. Kemal selalu menikmati hujan dengan caranya sendiri; bermain riang dibawah guyuran hujan bersama teman-teman sebayanya. Sementara aku sendiri menikmati hujan dengan memaknai semua apa yang ada di dalam tetesnya yang jatuh. Ya, bagiku hujan bukan hanya sebuah  proses alam. Bukan pula sebuah cerita dari penguapan air di daratan atau sekedar rutintitas yang tidak berarti.

Hujan adalah cerminan dari dewa dewi langit, pembawa cerita di atas awan sana. Hujan adalah sosok yang tak terduga kedatangannya, tak terhitung tetesnya, dan tak ternilai cintanya. Hujan selalu menjadi kamuflase bagi para manusia, teman sejati sekaligus sahabat terbaik bagi mereka yang mengenalnya.

“Insane!” gumam pemuda yang tadi hampir kulupa sosoknya.

“Siapa?” tanyaku heran.

“Kalian.” jawabnya lalu memandang ke arah kubangan air yang tadi diinjak Kemal.

Aku hanya mendengus pelan dan membuang muka ke arah pohon kapas di samping halte. Tak ingin memulai perdebatan dengan pemuda sketsa itu.

“Tya.” ucapnya membuat ku terkejut. 

Dia memanggilku?

“Tya.” ulangnya lalu menoleh ke arahku. Ku temui segurat rasa kikuk di matanya.

“Nama kamu Tya?”

“Kak Tya!!”

Tepat saat itu juga Aif memanggilku di tepi jalan sambil mengangkat tinggi sebuah payung berwarna pelangi yang menutupi tubuh kecilnya. 
Bibi pasti meminta Aif untuk menjemputku di sini. 

Bocah kecil berumur empat tahun itu juga mencintai hujan, hanya saja bibi selalu mengomel jika melihat Aif berlari-lari riang di bawah tirai sang tetes kehidupan itu.

“Kak Tya, nunggunya lama ya? Maaf ya, abis tadi mobilnya banyak.”

Ucapnya ketika tiba di depan teras halte seraya menunjuk ke arah mobil yang berbaris di seberang jalan; macet.

“Nggak kok, Aif. Ya udah, ayo kita pulang. Nanti Nenek ngomel lagi kalau kita kelamaan.”

“Yah.. Kak Tya, Aif udah gantiin Kak Mahya buat jemput Kak Tya di sini biar bisa main hujan bareng Kak Tya.” jelasnya panjang lebar.

Lagi-lagi untuk bermain hujan Aif merengek dengan memasang wajah kecewanya.

“Ntar aja Aif, kita pulang ke rumah dulu, sayang.” ucapku sambil menyeka tetes hujan yang mengenai alis tebalnya.

Terpampang sudah wajah cemberut Aif dengan mata yang hampir menangis.

“Kak Tya ini gimana si? waktu Kak Tya main hujan bareng almarhum Kak Fahmi aja gak ada yang ngomel. Masa Kak Tya main hujan bareng Aif Nenek ngomel? Kan gak adil, Kak?” 

Lagi-lagi Aif mengingatkanku pada sosok pemuda hujan itu, tapi aku tidak ingin menarik kembali semua kenangan masa lalu meski nama Fahmi selalu saja terlontar dari mulut Aif.

“Lho, kok malah ke Kak Tya si, sayang? Kan, nanti Nenek sama Bibi yang ngomelin Aif kalau Aif main hujan-hujanan.” kataku seraya menghapus airmata yang bergulir membasahi pipinya.

“Kak Tya-“

Tangis Aif pun pecah saat itu juga. Rengekannya pun semakin menjadi-jadi hingga orang-orang di sektiar halte menatap heran ke arahku. Mungkin mereka berpikir kalau aku membuat Aif menangis.

“Aif jangan nangis, sayang. Kita pulang ke rumah dulu buat minta izin sama Nenek, ya.” ujarku menenangkan Alif sambil mengelus rambut hitam legamnya. Berharap kebiasaan Paman dapat mujarab untuk kali ini. 

Namun, sayang seribu sayang, Aif justru memasang wajah kesalnya padaku lalu berjalan ke arah pemuda sketsa yang sedari tadi memperhatikan kami.

“Kakak mau nggak main hujan bareng Aif?” tanyanya yang langsung membuatku terkejut.

“Aif, kita pulang aja ya, sayang. Nanti Nenek ngomel.” kataku sambil mendekati Aif  dan kembali menghiburnya untuk pulang.

“Nama aku Hanif, Kak. Tapi Kak Tya sama Bunda panggil aku Aif. Kakak mau kan main hujan bareng Aif?” rengek Aif seraya mengguncang-guncang tangan kanan pemuda itu.

“Kakak Aif gak mau Aif sakit. Jadi lebih baik Aif pulang aja ya.” jawab pemuda itu seraya menatapku dengan sedikit tersenyum. 

Ya, hanya sedikit.

“Kata siapa sakit? Hujan gak akan buat Aif sakit kok, Kak. Kak Tya aja yang gak mau Nenek marah sama Aif kalau Aif main hujan-hujanan.” jelas Aif senggegukan akibat tangisnya.

“Nah, itu artinya nenek Aif gak mau Aif sakit, jadi-“

“Kak, Aif kan udah bilang kalau hujan gak akan buat Aif sakit. Jadi-“

“Aif, udah sayang. Ini hujannya juga udah mau reda. Ayo kita pulang. Kak Tya janji kalo besok hujan, Kak Tya bakal temenin Aif main hujan hujanan. Tapi sekarang kita pulang dulu, ya” ucapku memotong perkataan Aif yang terlihat tidak terima ketika pemuda sketsa itu menyangkutkan “hujan” dengan “sakit”.

“Kak Tya janji ya?” tanya Aif terdengar ragu seraya menghapus airmata dengan lengan kanannya.

“Iya. Kak Tya janji, sayang.” jawabku pasti sambil ikut menghapus airmatanya.

Sesaat kemudian hujan benar-benar reda. Para pengguna halte pun bergegas pergi dan mengitari trotoar jalan. Namun, Aif justru asyik berbincang dengan pemuda sketsa yang duduk di lantai teras halte sambil mencoba menghiburnya dengan hal-hal berbau iron man. Sementara aku hanya berdiam diri sambil mendengar cerita yang terlontar dari mulut adik sepupuku itu.

“Kak Tya kalau cerita itu lebih sering soal hujan sama mitologi Yunani, kalau Mbak Citra ceritnya soal hantu-hantu, kalau Mas Budi ceritnya soal yang lucu-lucu, kalau Kak Jihan ceritanya soal masalah biologi, kalau bunda ceritanya soal budi pekerti, kalau ayah ceritanya soal gunung meletus, kalau nenek ceritanya soal cara bikin kerajinan tangan dari kain perca. Nah, yang paling aneh itu ceritanya Kak Mahya, ngebahas korea mulu. Ntar kalau majalah mingguan Kak Mahya udah sampai di rumah, terus ada poster idolanya, Aif pasti disuruh gini “Aif, pegangin kursi bentar ya. Kak Mahya mau pajang poster dulu Padahal idola Kak Mahya itu gak ganteng-ganteng banget. Menurut Aif si lebih ganteng Kak Reza”

Sejenak aku terdiam mendengar kalimat terakhir Aif. Tidak ada anggota keluarga kami yang bernama Reza, aku yakin itu.

“Kamu ini kayak ngerayu aja, Aif” sahut pemuda sketsa itu dengan tertawa gelak. Begitupula dengan Aif yang saat ini sibuk mengatur nafasnya untuk kembali bercerita.

“Tapi kalau Aif lihat-lihat, mata Kak Reza kok mirip kayak mata almarhum Kak Fahmi, ya. Kak Tya, coba lihat deh, Kak?”

Entah sejak kapan mereka mulai berkenalan hingaa aku tercekat saat itu juga begitu menyadari bahwa Reza adalah nama pemuda sketsa itu. Apalagi ketika Aif bilang bahwa mata Fahmi mirip dengan mata Reza. Entah apa yang terlintas dipikiran bocah kecil itu.

“Aif, udah dulu, ya ceritanya sama Kak Reza. Kita pulang sekarang. ” ujarku seraya berdiri dan menunggu Aif di teras halte.

“Kak Tya! Kak Tya!” seru Aif sambil melompat dari kursi halte dan berlari memelukku.

“Aif kenapa? Hey, jangan nangis lagi, sayang. Kak Tya gak ninggalin Aif pulang, kok.” ujarku seraya mengelus pelan pundaknya. Nampak senyum manis tersungging di bibir mungilnya itu.

“Kak Tya-“ ucapnya membuatku bingung. Tapi tiba-tiba ku rasa ada seuntai angin yang menggelitik dan menerbangkan sebuah pesan rindu untukku dan Aif. Ku hirup dalam-dalam sang nyanyian hujan itu. Ku hirup dan ku tulis aromanya diingatanku.

“Petrichor.” ucap Aif membuatku tersenyum. Sesaat ku lihat Aif menangis sambil tersenyum. Jujur saja, rasanya aku juga ingin menangis begitu menyadari akhirnya petrichor itu datang menyapa.

“Kak Reza bisa cium aromanya?” tanya Aif pada pemuda yang kini telah ku tau namanya. Reza.

“Aroma? Aroma apa, Aif?” jawab Reza heran seraya mendekati Aif.

“Ini Petrichor, Kak. Aroma hujan. Kata Kak Tya Ini parfum Dewi Iris.” jelas Aif sambil balas mendekati Reza.

“Don’t say insane again. It’s real.” kataku menyela ucapan Reza sebelum pemuda itu membuka mulut untuk bicara.

“Apa Aif? Kak Reza tidak mengerti apa yang kamu bicarakan?” tanya Reza ke Aif, sementara matanya masih tetap menatapku.

“Ini aroma petrichor, Kak. Ini balasan pesan dan rindu semua orang dari langit di atas sana.” jawab Aif dengan tenang. Sementara Reza hanya mengerutkan dahinya, heran.

“Kata Kak Tya Petros itu artinya batu, Ichor itu artinya air. Petrichor itu cairan halus yang mengalir di dalam nadi para dewa. Kalau kata Kak Jihan Petrichor itu karena Actinomycetes yang berhibernasi waktu musim kemarau.” jelas Aif  sambil bergantian tersenyum ke arahku dan Reza.

“You never feel and can’t taste petrichor if you hate the rain.” ujarku dalam bahasa inggris, sengaja agar Aif tidak memahaminya.

“Ayo Kak Tya, kita pulang. Nanti Nenek ngomel lagi.” kata Aif seraya membawa payung pelangi yang tadi telah ku tutup.

“Tya!” cegat Reza sebelum aku berdiri untuk menghampiri Aif yang asyik  bermain kubangan air.

“Kalau besok hujan, kita pasti bertemu lagi di sini.” ucapnya tersenyum lalu turun terlebih dulu menghampiri Aif. Sementara aku ingat, itu kata-kata milik Kemal.

“Sampai jumpa Kak Reza, makasih untuk cerita iron man dan coklatnya!” teriak Aif sambil melambaikan tangan kepada pemuda sketsa itu.


***

Re : Tentang Hujan

Hujan bukan hanya sekedar gemercik air yang jatuh
Bukan pula sebuah symphony alam yang penuh legenda
Atau sekedar rutintitas dari proses penguapan air di udara

Hujan adalah mesin waktu dalam tiap diri manusia

Yang menarik mereka ke masa lalu dan melempar mereka ke masa depan
Hujan tak ayal adalah bahan ajar tentang langit  yang penuh misteri
Yang sosok beningnya terkadang mendapat cercaan, terkadang pula dapat keluhan
Tapi tak jarang hujan dapat sanjungan, menerima pujian

Hujan menceritakan pada anak-anak bumi tentang kisah di atas awan
Yang menyirami peluh lelah dari tetes sang petualang
Menggores kubangan air pada rawa-rawa jalan sang penjelajah hutan
Kemudian mengguyur mereka dengan penuh cinta, tanpa terlebih dulu berkenalan

Hujan selalu menjadi instrument alam tanpa tandingan

Yang  biasanya menjadi teman setia dalam kesendirian
Hujan pula yang terkadang menjadi saksi tentang banyak hal
Terutama tentang tetesan airmata dan gelak tawa mereka

Hujan kini bukan karena dinginnya hawa, atau harumnya udara, maupun sejuknya petrichor sang mutiara

Melainkan tentang bagaimana mereka berpikir mengenai hujan, dan apa saja yang tersimpan didalamnya
Dan mereka boleh mengenal hujan dengan meghitung tiap tetesnya
Karena lagi-lagi, hujan adalah sosok penuh misteri yang menari rapi


***

Sore ini hujan datang lebih cepat dan jauh lebih deras dari yang kemarin. Langkahku pun terpaksa juga harus semakin cepat mengingat buku sastra jepang  yang baru saja ku pinjam ini adalah milik perpustakaan daerah ; takut-takut kalau buku sastra itu nanti basah. Dari kejauhan, terlihat halte bus itu penuh sesak. Semua sisi telah dipadati oleh orang-orang yang berteduh.

“Kamu-“ nafasku seakan tercegat begitu saja, saat mendapati sosok pemuda sketsa yang kemarin telah berdiri tepat di teras halte bus sambil tersenyum padaku.

“Kamu terlambat, Tya. Aku menunggu kamu dari tadi.” ucap Reza sambil menepis air hujan yang hampir mengenai alisnya.

“Tapi aku tau, kita pasti bertemu lagi di sini.” sambungnya lalu menepis air hujan yang hampir mengenai pelipisku.

“Kak Tya.” ucap Kemal menatapku heran. Bocah itu mungkin berpikir tentang bagaimana pemuda sketsa itu tersenyum padaku.

“Kemal, Kakak minta maaf ya karena kemarin mendorong kamu ke teras halte.” kata Reza sambil menepuk pelan pundak bocah kelas 3 SD itu.

“Iya nggak apa-apa kok, Kak.” jawab Kemal sambil tertawa kikuk. Lalu menatap ke arahku, seperti minta penjelasan tentang sikap pemuda sketsa itu.

Lama sekali rasanya aku berdiri di depan teras halte bersama Kemal, Reza, dan dua orang kakek nenek yang tidak terlihat kedinginan meski air hujan benar-benar mengenai wajah mereka. Aku yakin, Kakek Nenek itu pasti juga ingin mendengar cerita diatas awan sana. Cerita dari sosok tak berwarna yang mampu menarik setiap manusia ke masa lalu, kemudian melempar mereka ke masa depan. Tanpa perduli, apakah mereka menyukai hujan atau tidak.

Dan inilah saat yang paling ku tunggu. Saat hujan seakan bergulir bersama waktu. Semakin lama durasi hujan, maka semakin banyak pula cerita yang mampu ku tulis dan ku kirimkan untuk Fahmi di atas sana. Aku mendapat satu kata dari satu tetes hujan dan menerima sejuta inspirasi dari gemercik airnya di atas tanah. Aku mampu menerima kepergian Fahmi dan mengikhlaskannya ketika butiran hujan menyapu wajahku. Seolah-olah butiran  itu adalah sosok Fahmi, pemuda hujan yang sangat kucintai.

“Kak Tya, aku pulang duluan, ya.” ucap Kemal membuyar pikiranku ketika teman-teman sebayanya telah berdiri di trotoar jalan tanpa sepatu dan baju sekolah.

“Pulang? Atau pulang?” tanyaku sedikit tersenyuum. Bocah itu pun hanya menanggapinya dengan tertawa kecil seraya melepas sepatu dan baju sekolahnya.

“Kak-“ ucap Kemal terhenti saat ingin mengucap salam kepada Reza.

“Reza.” sambung Reza kemudian mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.

“Semoga kamu suka, Kemal.” kata Reza sambil memberikan sebuah kaos berwarna biru bertuliskan “Chelsea Oscar 11”

“Waaaaaah!! Makasih ya Kak Reza. Dari mana Kak Reza tau kalo aku suka Oscar Chelsea?!” seru Kemal seraya mengenakkan baju kaos itu di depan para pengguna halte bus.


“Kak Tya, bagus gak?” tanya Kemal seraya memutar badannya. Mencoba memperlihatkan kaos pemberian Reza tadi.

“Bagus kok, Kemal. Kamu cocok jadi pemain bola.” jawabku dengan tertawa. Lucu saja melihat Kemal mengenakan kaos bola yang memang kebesaran di badannya itu.

“Kemal!!” teriak gerombolan teman-temannya di trotoar jalan, hingga bocah itu pun bergegas memasukkan baju kaos pemberian Reza tadi ke dalam ranselnya.

“Makasih Kak Reza. Alasannya diberi tau nanti aja. Aku pulang duluan ya!”  ucap Kemal lalu bergegas pergi menyusul teman-temannya dit rotoar jalan.

“Hari ini Aif jemput kamu?” tanya Reza membuka pembicaraan di antara kami, memecah indahnya instrument hujan. Dan aku hanya menjawabnya dengan mengangguk.

“Senang berkenalan dengan kamu Tya.” sambungnya seraya tersenyum. Padahal seingatku saja kami tidak pernah saling berkenalan.

“Aku sekarang sudah kembali suka hujan.” kata Reza yang membuatku terkejut tak percaya. 

Dia kembali suka hujan?

“Kamu suka hujan sebelumnya?” tanyaku, terdengar asal ceplos begitu saja.

“Tentu. Waktu dulu aku juga seperti Aif, suka bermain hujan. Tapi, ketika Lyla meninggal, aku mulai membenci hujan. Sangat membencinya.” jawab Reza sambil melirik ke arahku. 

Sesaat ku tatap matanya. 
Aif benar. Matanya mirip sekali dengan mata Fahmi.

“Lyla? Kekasih kamu?” tanyaku kikuk. Agak ragu memang.

“Bukan. Dia adikku yang meninggal waktu hujan. Tepatnya kecelakaan di waktu hujan” jelas Reza seraya ku lihat dua bulir airmata membasahi pipinya. 

Ternyata pemuda sketsa itu punya alasan yang tepat mengapa dia membenci hujan. Namun bagiku, tetap saja hujan tidak pantas untuk dibenci.

“Tapi kamu tidak boleh membenci hujan. Hujan itu rahmat Tuhan. Rezeki bagi kita semua.” kataku sambil menatapnya dan mencoba tersenyum.

“Kamu-“

“Kak Tya!!” seru Aif di depan trotoar jalan sambil berlari ke arah halte bus dengan sebuah payung pelangi yang menutupi tubuh kecilnya.

“Kak Tya, nunggunya lama ya? Maaf ya, abis tadi Kak Mahya minta bantu Aif buat pajang poster idola dia dulu, Kak.” kata Aif sambil mendekat ke arahku.

“Nggak lama, kok, Aif.” ujarku seraya mengusap rambut hitam legamnya yang basah tersiram tempias hujan.

“Kak Tya-“ belum sempat Aif menyelesaikan kalimatnya. Aku telah terlebih dulu menangguk setuju.

“Kak Tya ingat kok, sayang.” kataku seraya menyimpan buku sastra jepang milik perpustakaan daerah ke dalam ransel. Sementara Aif dengan gembiranya sudah melepas payung pelangi itu ke tanah.

“Kak Reza gak mau ikut main hujan bareng Aif sama Kak Tya?” tanya Aif begitu kaki kananku baru saja menginjak tanah basah berwarna cokelat kelam.

“Kamu ingat? Kapan terakhir kali kamu bermain riang di bawah guyuran hujan?” tanyaku menyambung pertanyaan Aif, dan pemuda sketsa itu hanya menggeleng pelan.

“Ingin ikut? Aif pasti senang kalau kamu-“

“Aku hanya tidak pernah tau apa itu petrichor. Aku boleh mencium aromanya hari ini?

“Petrichor itu datang hanya saat hujan dimana sebelumnya ada kemarau panjang.” kulihat dia tersenyum kecewa mendengar penjelasanku. 

Nampaknya niat Reza menungguku hanya sebatas untuk mencium aroma petrichor saja.

“Aku ikut!” ujar Reza yang disambut oleh seruan setuju dari Aif. Aku pun dibuat tersenyum karenanya.

Kami pun bermain hujan bersama di dekat pohon kapas sambil tertawa riang. Tawa yang begitu ku rindu dari Aif justru terlihat sepadan dengan tawa pemuda sketsa itu. Tawa Aif ketika bersama Reza tidak jauh berbeda dengan tawa Aif ketika bersama Fahmi dulu. 

Mungkin suratku kemarin sudah Fahmi balas meski tanpa kehadiran petrichor hari ini. Sekarang aku yakin, Fahmi sudah menepati janjinya untuk mengembalikkan kebahagiaanku ketika dia pergi. Dan aku percaya, Aif sudah menjadi bagian terbesar dalam ceita hidupku.

“Kak Tya lihat! Hujannya mulai berhenti. Nah.. nah..” ajak Aif seraya menarikku dan Reza bernanung di bawah pohon kapas untuk melihat pertunjukan alam yang dimaksudnya tadi.

“Iya Aif, iya.”  jawabku tersenyum. Kubiarkan saja si sulung dari keluarga besar kami itu bernostalgia sejak nenek mengizinkannya bermain hujan setengah tahun yang lalu.

Kami sudah bernanung di bawah pohon kapas selama hampir 20 menit. Namun hujan justru tidak berhenti seperti yang dimaksud Aif tadi, melainkan hanya sedikit mereda. Bahkan sedari tadi Aif hanya sibuk menghitung tetes hujan.

“Satu.. Dua.. Lima.. Tiga.. Sembilan. Kak Tya, bener gak?” tanya Aif memperyakin hitungannya yang masih kacau balau.

“Satu, Dua, Tiga, Empat,  baru Li-“

“Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sempuluh.”

Hitunganku baru sampai angka empat, namun Reza telah menyambungnya terlebih dulu hingga Aif terkesiap senang pada pemuda sketsa itu.

“Nah yang tadi baru benar! Kak Tya ngajarinnya cuma sampai lima aja” seru Aif lalu naik kepangkuan Reza dan memeluknya. 

Mugkin Aif tidak mengerti akan maksudku yang baru nmengajarkanya sampai angka Lima; supaya bocah itu cepat mengerti dan mudah ingat.

“Aif sayang Kak Reza. Kak Reza sayang Aif juga gk?” tanya Aif yang sedikit membuatku cemburu pada Reza. Bahkan padaku saja Aif tidak pernah bergulat manja seperti itu.

“Kak Reza juga sayang kamu, Aif.” jawab pemuda sketsa itu sambil mencubit pipi Aif. Ku rasa aku benar-benar telah dilupakan oleh mereka.

“Kak Reza sayang Kak Tya juga gak?” tanya Aif dengan mata hitam legamnya yang berkedip berkali-kali menunggu jawaban. Pipinya menggembung sambil bergantian memandang aku dan pemuda sketsa itu.

“Kak Tya sayang Kak Reza gak?” sambung Aif bertanya padaku. Kali ini pipinya menggembung lebih besar. Wajahnya mulai terlihat bosan karena baik aku maupun pemuda sketsa itu tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

“Nanti kalo Kak Reza sayang Kak Tya, Kak Tya nya jangan dibuat sedih ya. Dulu Aif janji sama almarhum Kak Fahmi buat jaga Kak Tya. Kata Kak Fahmi kalau ada orang yang bikin Kak Tya sedih, Aif boleh mukul orang itu” jelas Aif mulai menangis lalu seketika itu juga dia pindah duduk ke pangkuanku.

“Aif sudah, sayang. Jangan nangis.” kataku menenangkan Aif dengan mengelus rambut hitam legamnya. 

Sejujurnya aku tidak suka melihat Aif menangis. Sudah terlalu banyak airmata dan kerinduan Aif yang tertumpuk ; almarhum Kakek dan Fahmi yang pergi bahkan ketika Aif sudah begitu sangat menyayangi mereka. Belum lagi kejahilan-kejahilan yang membuat Aif merengek dan menangis tersedu-sedu ; Zefa, Zenny, Nafriza, Akmal, dan Angga yang hampir setiap waktu menggangunya.

“Kak Fah-mi pasti se-nang ka-lau Kak Re-za sayang sa-ma Kak Tya.” ucap Aif tersedu dengan wajahnya yang tersembunyi di pundakku.

“Aif sayang Kak Fahmi?” Tanya Reza sambil mendekati Aif dan ikut mengelus rambut hitam legamnya.

“Aif - Aif sa-yang ba-banget sa-ma Kak Fahmi. Ta-pi Kak Fah-mi udah pel-gi.” jawab Aif dengan pelafalan huruf “R”nya yang tidak sempurna.

Tak kuasa ku tahan tangis ini. Tetes airmataku pun akhirnya bercampur dengan butiran hujan dari dahan pohon kapas. Sebenarnya lebih banyak terselubung rindu untuk sosok yang begitu ku cinta di atas sana. Aif memang seperti mesin waktu yang mampu menarikku ke masa lalu.

“Tya.” ucap Reza seraya menghapus airmata yang bergulir di pipiku. 

Ku pikir butiran hujan dari dahan pohon kapas tadi mampu menjadi kamuflase, setidaknya untuk mengelabui pemuda sketsa itu.

“Kak Tya-“ gumam Aif seraya bangun dari tangisnya dan menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kak Tya jangan nangis, bial Aif aja yang nangis, bial Aif aja yang sedih, Kak.” ucap Aif sambil mengecup mata kananku. Kecupan mata yang awalnya menjadi kebiasaan Fahmi kini berubah menjadi kebiasaan Aif.

“Kak Tya gak nangis kok, sayang. Kak Tya gak sedih.” ujarku sambil balas mengecup mata kanan Aif.

“Kak Tya gak bakal nangis kalau Aif jua gak nangis, sayang.” ucap Reza seraya mengangkat tubuh Aif yang menangis dipangkuanku.

Seketika itu juga Aif memandang ke arahku. Ku utarkan sebuah senyum untuknya. Senyum yang ku harap bisa membuat Aif berhenti menangis.

“Bentar ya Kak Tya.” ujar Aif seraya bangkit dari pangkuan Reza dan berjalan ke depan. Menghadap hujan.

“Kak Fahmi, Aif tau Kak Fahmi pasti dengar pesan Aif. Tolong sampaikan pesan Aif pada Dewi Iris diatas sana supaya Kak Tya selalu bahagia. Aif janji gak bakal minta beliin Bunda mainan balu lagi asal Kak Tya bahagia. Tolong sampaikan ya Kak, Fahmi. Aif sayang Kak Fahmi.” ujar Aif sambil wajahnya menengadah ke langit abu-abu diatas sana.

Dia berhasil membuat ku menangis terisak dengan pesan itu. Pesan yang selalu diutarkan Aif sejak kepergian Fahmi seakan menjadi benang merah bagi hidupku. Aku pun hanya mampu memandang punggung Aif dari belakang tanpa tau apakah dia menangis atau tidak.

“Aif sayang sekali sama kamu, Tya.” ucap Reza lalu memandangku dari dekat. Ku lihat pemuda sketsa itu menangis, namun dengan senyum manis yang menghiasi bibirnya.

“Aif sudah seperti pena yang banyak menuliskan alur cerita dalam hidupku.” jawabku menanggapi ucapan Reza. Ku buang pandangan mata ku dari matanya menuju ke arah Aif yang berjalan beberapa langkah ke depan sembari terus menitip pesan pada sang tetes kehidupan.

“I’ll kiss the rain, and we’ll kiss in the rain.” tanggap Reza lalu menarikku dalam dekapannya. 

Sesaat nafas ku tercegat begitu saja saat ku sadar bahwa pemuda sketsa itu sudah menempelkan bibirnya di bibirku. Hanya menempelkan saja. Namun, aku bisa merasakan semua rasa dari bibirnya. Sebuah rindu dan juga cinta yang sebenarnya tidak ku mengerti. Ku kecup singkat bibirnya sambil merasakan asinnya tetes hujan dan airmata yang berbaur menjadi satu. Fahmi benar-benar telah menjawab pesan Aif.

“Tya, aku baru mengenal kamu kemarin. Tapi aku ingin mengenal kamu lebih dari kemarin dan hari ini, aku ingin mengenal kamu hingga aku berfikir untuk belajar mencintai kamu. Kalau kamu mengizinkan, aku ingin membuat kamu bahagia seperti yang Aif minta, Boleh?” tanya Reza lalu mengecup pipiku. 

Aku bahkan tidak lagi bisa merasakan derai hujan ataukah air mata yang semakin membasahi pipiku ini. Yang mampu ku rasakan hanyalah aku ingin memeluk Reza seperti aku memeluk Fahmi dulu. Namun, Aif buru-buru datang dengan membawa tawa ceria tanpa airmata. Hingga pemuda sketsa itu melepas kecupannya dipipiku sambil tersenyum .

“Kak Tya! Aif sayang Kak Tya!” teriak Aif lalu berhambur kedalam pelukanku.

“Kak Tya juga sayang Aif.” balasku sambil mengecup pipi merahnya.

“Kak Tya sayang Kak Reza?” tanya Aif untuk yang kedua kalinya. Hingga membuatku kikuk. Aku sendiri bahkan tidak tau perasaan apa yang baru saja hadir di dalam hatiku ketika Reza menempelkan bibirnya tadi. Ku putar bola mataku ke arah pemuda sketsa itu.

“Aku sayang kamu Tya.” ucap Reza yang membuatku terkejut bersamaan dengan tawa Aif yang pecah begitu saja.

“Ayo dong, Kak Tya jawab juga. Kak Tya sayang Kak Reza, kan?” desak Aif sambil mengguncang pelan pundak kananku.

Ku tatap Reza yang terlihat menunggu jawabanku sejak tadi. Ku lihat segurat senyum terukir begitu saja di bibirnya saat aku mengangguk pelan.

“Aku sayang kamu Reza. Dan kamu boleh mencoba mengabulkan permintaan Aif tadi.” ucap ku pasti sambil menghalau sebuah ranting pohon kapas yang hampir jatuh mengenai pelipis pemuda sketsa itu.

Sementara Aif  langsung menghambur senyum untuk Reza dan duduk dipangkuannya.

“Apa si, Kak? Ini hujannya belum reda, jadi Aif gak bisa dengar.” ucap Aif setelah Reza balas berbisik di telinganya. Pemuda sketsa itu pun terlihat serba salah.

“Makasih Aif, makasih karena Aif udah ngasih izin Kak Reza buat jaga Kak Tya.”

Sontak aku tertawa begitu saja mendengar ucapan Reza. Aif sengaja membuat suara pemuda sketsa itu lebih nyaring agar aku bisa mendengar.

Sejenak ku biarkan deru hujan menyelimuti percakapan Aif dan Reza. Sementara aku sendiri kembali menemukan banyak kata-kata yang mampu ku rajut menjadi kalimat dan ku rangkai menjadi sebuah ide-ide akan pesan untuk seorang di atas sana. Dan untuk yang kesekian kalinya, hujan menjadi saksi cerita dalam hidupku.

“You’re my rain, Tya. That’s why i’ll kiss the rain , and we’ll kiss in the rain, right?” ucap Reza lalu tersenyum manis padaku.

“Petrichor will come if you try to love the rain.” kataku sembari balas tersenyum padanya.

“Try to love the rain.” ujar Reza lalu memungut ranting pohon kapas yang jatuh di depannya.

Kini, ku harap pemuda sketsa itu mulai kembali menyukai hujan. 
Begitu pula kalian yang membaca cerita ini.


Di bawah naungan hujan 
04 April 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020