Hutan Kota


Hutan Kota

“Sayangilah bumi ini sebagaimana kita menyayangi orang-orang di sekitar kita”

“Alya jadi pergi?” Suara bu Betty membuyarkan lamunanku yang sedari tadi hanya duduk lesu didepan jendela ruang makan.

Nggak tau bu, cuaca lagi nggak nentu kayak gini” jawabku sedikit tidak bersemangat, mengingat rencana yang telah ku siapkan seminggu lalu, nampaknya kembali harus diundur.

Ajak Angga aja Alya, dia pasti bisa bantu kamu” usul bu Betty dengan mengumbar senyum ramahnya.

Dia nggak searah sama saya bu”ku tolak sedikit usul yang hampir setiap hari itu ku dengar.

Tapi kamu sama dia itu kan sudah berteman lama”

Berteman lama pun nggak mesti searah”

Ku angkat tubuhku untuk berdiri meninggalkan ruang makan. Bu Betty memang selalu berhasil membuatku menjadi gadis yang banyak bicara. Terlebih bila mengenai Angga. Ya, Angga Prayuditama yang sosoknya hampir tidak terlihat sejak seminggu yang lalu. Teman terbaik sekaligus sahabat setiaku yang sukses membuat amarah ku memuncak ketika mengingat perdebatan menyebalkan itu.

Temui saja Alya, cuman dia yang punya hobi sama kayak kamu!” teriak bu Betty yang masih terdengar bahkan ketika aku bergegas ke halaman belakang.
***
Kok nggak ajak Alya?”
Ku tatap dosen laki-laki yang seluruh rambut hitamnya hampir memutih itu dengan heran.

“Angga” panggil beliau, karena merasa aku tidak menjawab pertanyaannya.

Dia nggak sepemikiran sama saya pak” jawabku seadanya sambil terus berkerja menyiapkan ratusan bibit pohon trembesi dari barisannya.

Asal kalian tetap kompak saja” sahut dosen yang membimbingku selama hampir tiga tahun lamanya, sembari melangkah keluar meninggalkan ruang observasi.

Mana ada orang yang bersikeras seperti dia itu! Huh!” keluhku mengingat Alya Alya yang menghilang entah kemana sejak seminggu terakhir.

***
Deretan bibit pohon yang baru saja ditanam oleh ratusan masyarakat peduli lingkungan terlihat begitu hidup meski baru berumur beberapa minggu. Langkah kecil puluhan anak-anak yang tertawa dengan begitu riangnya sambil bermain disekeliling pohon-pohon besar trembesi, seakan mampu menggerakkan hati kecil ku agar mengajak lebih banyak orang untuk menjaga kelestarian bumi ini.

“tidak ada gunanya jika hanya duduk tanpa membantu rekanmu”Ku kenal suara itu, Angga baru saja menyapaku dengan sedikit kasar.

Tidak ada gunanya jika kamu hanya menyalahkan para penebang illegal tanpa ikut menanam pohon”

Tidak ada gunanya jika kamu memberikan sejuta pengarahan kepada pengendara motor atau mobil, karena mereka tidak akan pernah bisa lepas dari transportasi efisisen itu”

Dan tidak ada gunanya jika hanya berdebat dengan kamu” sahutku setelah membiarkan dia bicara sesuka hatinya.

“Alya, kita tidak bisa menghimbau mereka dengan berteriak-teriak ditengah kota seperti apa yang kamu rencanakan. Karena hanya segelintir dari mereka yang mau  bersedia atau bahkan tidak ada sama sekali” jelasnya sambil ikut duduk disampingku. Nampaknya dia benar-benar tidak ingin kami bertengkar lebih lama lagi.

Aku hanya takut jika generasi kita nanti tidak lagi bisa seperti mereka” ucapku menjawab penjelasannya sembari mengarahkan kedua penglihatanku kepada anak-anak-anak yang masih bermain di sekeliling pohon trembesi.

Jadi kita baikkan?” tawarnya sambil tersenyum cerah kepada ku.

Maksud kamu?” tanyaku tidak mengerti.

Kamu tidak akan bisa berkerja sendiri tanpa aku, Alya”

Dan kamu tidak akan bisa menanam trembesi jika tidak ada aku yang menghimbau orang-orang”
Dan kami pun tertawa bersama sambil memandang hutan kota yang di dalamnya kami simpan jutaan harapan untuk generasi kami kelak. Do’a yang telah kami tanamkan bersama ribuan bibit trembesi, semoga mereka merekat kuat dengan akar-akar tunggang bersama tanah dan bumi ini. Untuk melindungi kami dan mereka, generasi masa depan kami.

***
“Andai semua orang memiliki sifat seperti gadis ini” pikirku menanggapi tingkah Alya Ananda yang hanya sibuk berkutik pada lembaran artikel berjudul “ Apa yang telah kita berikan pada bumi kita?” . Alya, gadis yang selalu memberiku banyak inspirasi dan ribuan hal berharga yang tidak bisa ku jelaskan. Setiap perkataan yang terlontar dari mulutnya selalu mampu membuat ku bertanya – tanya “ mengapa kami mempunyai hobi yang sama ?” 

Pernah kamu bayangkan tidak, jika  bumi kita nanti seperti satu cup ice cream yang meleleh di ruang terbuka?” Tanya Alya, membuat ku tersadar dari pikiranku yang sedari tadi hanya terfokus pada dirinya.

Padahal alam beserta bumi ini telah menjaga kita, tapi seakan-akan kita justru takut terhadap mereka. Pakai acara masang masker segala pula” sambungnya, yang diakhiri dengan sedikit canda. Padahal aku sendiri belum menjawab pertanyaannya.

“Angga” panggilnya.

“ya, Alya?” jawabku dengan nada bertanya.

Besok sab’tu kita ke sekolah-sekolah ya” ucapnya membuat nafasku berhembus panjang.

Anak-anak kan hatinya lebih peka, siapa tau kali ini berhasil” disahutnya hembusan panjang nafasku itu dengan alasan mengapa dia mengajakku pergi ke sekolah-sekolah.

Kalau kamu ada acara samaDhea, aku bisa pergi sendiri. Oh ya, aku duluan. Kamu juga pulang ya, Angga”

Ku lihat punggungnya yang semakin mengecil di kejauhan. Ku biarkan gadis itu berjalan sendiri membelah langit jingga. Ku tatap arah timur, dimana Alya kini telah menghilang di bawa oleh kaki kokohnya. Hingga lagi-lagi ku hembuskan nafas panjang ku sebelum ku langkahkan kaki ku beranjak pergi. Menuruti permintaan hatiku untuk pulang. Ku hadapkan wajah ku yang terasa lelah ini pada rona-rona menawan sang surya yang sebentar lagi nampaknya akan kembali ke peraduan.

***
“Hallo, selamat pagi, dengan keluarga Prayuditama, Ada yang bisa dibantu?” Suara wanita tua yang begitu familiar terdengar tidak lama setelah ku hubungi nomor rumah tersebut.

“Angga ada bi?” tanyaku dengan harapanAngga tidak lupa bahwa aku mengajaknya hari ini.

“Alya ya? Tadi Angganya baru saja berangkat pergi. Ada pesan? Nanti bibi sampaikan.”

“Iya bi, ini Alya. Oh.. Enggak usah, gak ada pesan kok. Makasih ya bi.” Ku tutup sambungan telepon itu, bahkan sebelum Bi Yati menajawab salamku.

Ternyata dia lebih memilih bersenang-senang dengan Dheadaripada ikut melestarikan bumi, mengecawakan sekali” Entah mengapa kali ini aku benar-benar kecewa padanya.

***
Selamat siang” sapa ku dengan sopan ketika ku langkahkan kaki kananku memasuki ruang kelas yang begitu tenang ini.

“Alya Ananda” sambut seorang guru yang langsung menjambat tanganku, dan ku balas dengan kembali menjabatan tangan beliau sambil tersenyum.

“Alya cuma sendiri?” Tanya bu Fitri begitu melihat sosok ku yang hanya berdiri sendiri di depan pintu.

“Iya bu” jawabku agak tersenyum hambar, teringat kembali oleh sosok Angga Prayuditama yamg seakan lupa dengan janji yang telah ku utarkan padanya.

Ya sudah, ibu tinggal ya Alya. Mereka anak yang penuh perhatian, semoga sifat peduli kamu tertanam pada mereka” ucap beliau dengan lembut dan langsung melangkah keluar meninggalkan ku bersama denggan puluhan siswa-siswa belia ini.

Padahal sekarang waktu telah menunjukkan pukul 12.40 , dan aku telah melewatkan makan siangku dengan singgah di beberapa sekolah dasar yang sebelumnya telah ku hubungi atas kunjunganku. Rasanya begitu menggebu-gebu ketika melihat rona-rona belia generasi penerus bangsa ini. Kelas ini, adalah kelas terakhir yang kunjungi. Semangat dan kepercayaanku semakin bertambah besar ketika empat sekolah dasar yang ku kunjungi sebelumnya begitu antusias dan tertarik untuk ku ajak menanam pohon dihutan kota. Meski kali ini aku sendiri, tidak ada rekan yang menemani atau berdiri disamping ku seperti biasanya.

Perkenakan adik-adik, nama kakak Alya Ananda. Kalian bisa panggil Kak Alya” ucapku memperkenalkan diri.

“Hallo Kak” sapa seorang anak, yang kemudian diikuti oleh teman-temannya.

“Hallo Kak Alya!”

“Hallo semua!” Seruku tak kalah ceria.

Baiklah. Sekarang kakak mau ngajak kalian semua. Kalian mau nggak nerima ajakan kakak?” tawarku dengan sedikit merayu.

Dan anak-anak kelas tiga itu pun tampak toleh kanan toleh kiri, memandang wajah temannya masing-masing.

Besok dihutan kota ada acara menanam pohon bersama. Nah, Kak Alya mau ngajak kalian buat menanam pohon, biar pohon dihutan kota jadi lebih banyak” ucapku langsung menjelaskan, karena mereka terlihat sedikit bingung dengan tawaranku.

Memangnya kenapa Kak kalau pohon dihutan kota kita jadi lebih banyak?” Tanya seorang bocah laki-laki sembari mengangkat tangan kanannya.

Kalau pohonnnya semakin banyak, secara tidak langsung pohon-pohon itu akan menurunkan tingkat polusi atau pencemaran udara yang melanda bumi kita. Kalian tidak mau kan kalau suatu saat nanti paru-paru kalian rusak karena menghirup udara yang kotor?” jawabku dengan lembut agar mereka dapat mengerti maksud dan tujuanku.

Nggak mau Kak Alya. Nanti kalau paru-paru kita rusak, kita gak bisa bernapas lagi” sahut anak perempuan tepat setelah aku menyelesaikan jawabanku.

“Nah, kalo gak mau paru-paru kita rusak, salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan menanam pohon. Menanam pohon itu mudah dan menyenangkan. Selain itu hasil yang kita dapatkan dari menanam pohon juga banyak sekali,adik-adik. Udara disekitar kita jadi lebih bersih dan segar. Kalau hujan, kita punya pohon-pohon yang akarnya akan menyerap air hujan, sehingga air hujan tersebut tidak akan menyebabkan banjir. Dan yang jauh lebih menyenangkannya lagi, kalau kita ikut menanam pohon, itu artinya kita sudah ikut berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi kita”

Kita jadi penyelamat bumi, Kak?”

Sebelum aku sempat mengambil nafas, seorang anak laki-laki langsung bertanya tanpa mengangkat tangan kanannya. Dihiasi dengan mata hitamnya yang berbinar cerah. Dan ku jawab dengan anggukan ramahku.

Wah! Asyik! Kita jadi tambah lebih sehat! Tapi Kak Alya, aku nggak bisa menanam pohon” seru seorang anak perempuan dengan begitu bersemangat, namun diakhiri dengan nada suaranya yang sedikit melemah pelan.

“Nanti adik-adik semua diajarkan cara menanam pohon yang baik dan benar, jadi kalian tidak perlu khawatir” sahutku menghiburnya dan tersenyum kepada semua malaikat belia itu.

“Hore!!!” seru mereka serentak sembari ku tuliskan informasi mengenai kegiatan menanam pohon dipapan tulis.

Besok, siapa saja yang mau ikut bisa datang jam tujuh pagi di hutan kota. Kalian boleh ajak keluarga atau teman-teman kalian yang lain” ucapku meredam kegembiraan mereka.

Tapi besok Kak Alya juga datang kan?” Tanya bocah laki-laki. Sedikit menyelas waktuku untuk bicara.

Iya” jawabku bersama dengan tersenyum.

Baiklah adik-adik, kayaknya waktu Kak Alya sudah habis. Jadi kita akhiri sampai disini ya. Terimakasih untuk perhatian adik-adik semua, selamat siang dan sampai bertemu besok”

“Terimakasih Kak Alya, sampai bertemu besok!”

Ku langkahkan kakiku menuju pintu keluar kelas ini. Rasanya ingin sekali menangiskarena begitu bahagianya. Hingga sosok bu Fitri menghampiri dan menggenggam kedua tanganku.

Terimakasih banyak Alya. Semoga masa depan kita nanti, kelak bisa mewarisi sifat kamu” ucap beliau yang membuatku sedikit terharu.

Sama-sama bu. Amin ” sahutku, sembari ku genggam balik tangan bu Fitri.

Saya pulang dulu ya bu” sambungku yang diikuti dengan anggukan beliau.

“Hati-hati Alya”

Dan tugas terakhirku hari ini adalah menyiapkan peralatan besok. Tempat tujuan ku kali ini adalah hutan kota. Ku langkahkan kakiku dengan cepat, seakan tidak sabar untuk menunggu hari besok tiba.

***
Ternyata Alya tetap pergi meski tidak ada aku yang menemaninnya. Gadis rendah hati yang menyenangkan. Dialah yang mengenalkanku pada bumi, dialah yang mengajarkanku tentang kebaikan alam, dan dialah yang telah membawaku sampai sejauh ini, menjadi mahasiswa dan penananam pohon yang setia.
Ku umbar senyum ramahku ketika kulihat dia telah berdiri didepanku sambil menatap tidak percaya pada peralatan menanam pohon, lengkap dengan pupuk kompos dan selang air yang telah ku siapkan.

“Kamu –“

“Aku tidak akan bisa berkerja sendiri tanpa kamu, Alya” sela ku memotong ucapannya.

“Tidak ada Dhea, dia hanya seniorku” sambungku mencoba meyakinkannya. Ku dekati dia yang berdiri tegap dibawah pohon trembesi.

“Kamu ingat sesuatau?” tanya ku sambil menatap lekat kedua bola matanya.

“Tentu. Ini trembesi kecilku yang selalu kamu rawat” jawabnya dengan tersenyum manis kepadaku.

“Aku tidak akan membiarkan dia mati, karena aku menyayanginya seperti aku menyayangi kamu. Dan aku menyayangi kamu seperti kita menyayangi bumi ini. Aku akan melindungi kamu seperti bumi ini melindungi kita. Itu janji ku. Terimakasih Alya Ananda” ucapku sedikit berbisik ditelinganya. Suara ku berhambur bersama dengan angin yang berhembus kencang.

“Kamu tidak seharusnya berterimakasih pada aku, tapi pada tempat ini.Tempat yang telah menjaga kita sampai sekarang. Ku harap kamu tetap berdiri disamping ku hingga anak cucu kita kelak tau bahwa tempat ini juga untuk mereka.” 
jawabnya sembari berjingkit untuk berbalas berbisik di telingaku.

Lalu kami tersenyum bersama cita-cita dan harapan kami dibawah pohon trembesi yang kokoh ini. Kini aku telah menemukan jawabannya. Ternyata hutan kota begitu menyayangi kami, seperti kami menyayanginya, dan bumi ini.
Di Hutan Kota, 15 Maret 2009






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku dan Egoku

A for Awesome ULM

Kilas Balik 2020