Mahasiswa dan Bystander Effect-nya
Command yourself to do what you expect others to do
|
Welcome back to my platform.
Akhirnya gue bisa duduk tenang
setelah beberapa minggu semasa liburan tadi sibuk ngumpulin pundi-pundi rupiah
buat persiapan nikah. Hahahahaha, becanda. Persiapan kuliah maksudnya.
Oke, jadi di postingan Februari kali
ini, gue pengen memberi sebuah informasi yang kerap terjadi di lingkungan
mahasiswa dan masyarakat juga sih. Meskipun kadang, kita nggak sadar bahwa itu
terjadi di sekitar kita. Makanya, di sini gue bakal ngasih pencerahan dengan
sinar UV yang bakal nerangin hati lo untuk bersikap lebih peduli sama hal-hal
kecil di sekitar kita.
Furthermore, gue buka tulisan ini dengan
kasus yang terjadi tahun 1964 di New York; The Murder of Kitty Genovese. Buat yang pengen tahu lebih jauh kasus
pembunuhan itu seperti apa silahkan lo cari sendiri pake mbah google. Terus lo
coba analisis sama kehidupan lo sekarang. I am supposed to get the linked.
Singkat ceritanya gini, jadi pukul 3 dini
hari 13 Maret 1964 waktu Kitty mau balik ke apartemennya di Queens, New York,
dia tiba-tiba diserang sama pembunuh yang nusuk tubuh dia berkali. Yaaa,
sebagai seorang manusia yang dalam keadaan bahaya, spontan dong Kitty teriak
sekenceng-kencengnya buat minta tolong. And at the moment, there was a neighbor
yang denger teriakan dia, and then he open the window, try to looking for what
was happened, catch the murderer with his eyes. But, setelah itu si tetangganya
Kitty malah nutup jendelanya, and he do nothing. Karena nggak ada pihak lain
yang terlibat dan mencoba untuk memberikan bantuan buat Kitty, si pembunuh
akhirnya balik lagi terus dia melakukan tindak asusila dan nusuk Kitty ampe
meninggal dunia.
For more than half an hour
thirty-eight respectable, law-abidingcitizens in Queens watched a killer stalk
and stab a woman in three separate attacks in Kew Gardens. Twice, the sound of
their voices and the sudden glow of their bedroom lights interrupted him and
frightened him off. Each time he returned, sought her out and stabbed her
again. Not one person telephoned the police during the assault; one witness
called after the woman was dead. (Dapusnya gue kasih nih Manning, R.,
Collins, A. 2007. The Kitty Genovese Murder and the
Social Psychology of Helping the
Parable of the 38 Witnesses. American Psychologist Association. 62(6):
555-562).
Setelah diusut, ternyata peristiwa itu
berlangsung sekitar dua puluh delapan menit dan disaksikan oleh 38 orang saksi yang
denger teriakan Kitty dan lihat peristiwa pembunuhan itu.
…
For me, it was 1964; teknologi bukan menjadi standar
hidup semua orang, gadget juga nggak secanggih kayak sekarang, dan aneh rasanya
ketika 1964 adalah tahun di mana semua orang bersikap apatis dan individualis.
Untuk sesaat, gue mikir bahwa “Oke, mungkin
budaya untuk tidak mencampuri urusan orang lain masih menjadi sesuatu yang
sangat sakral di New York.” “Mungkin para saksi nggak mau ikut campur karena
takut terlibat dan bakal berdampak sama diri dia sendiri.” “Mungkin orang-orang yang denger dan liat kejadian itu
masing-masing punya keyakinan bahwa akan ada orang lain di antara mereka yang bantuin
si Kitty.”
Hipotesa gue nggak suudzon, kan?
Oke, gue nggak mau ngebahas betapa begonya
para saksi di lingkungan rumah Kitty, atau betapa kejamnya si pembunuh Kitty,
atau kenapa si Kitty pulang jam 3 dini hari. Konteks postingan gue tidak
mengarah ke sana. Karena kasus yang
kayak si Kitty nggak cuman Kitty doang, ada Larry Froistad sama Raymond Zack juga. Silahkan lo berguru sama mbah lo, deh. Yang mau gue bahasa adalah alasan terkait dengan kejiwaan dan
psikologis manusia saat dihadapkan pada situasi yang serupa.
Oleh para peneliti dan pakar-pakar psikologi,
fenomena si Kitty nggak absah kalo cuman dikasih ke polisi atau ranah hukum
doang. Makanya mereka kemudian melakukan studi penelitian untuk mencari tahu
kenapa ada saksi yang hanya menonton peristiwa dan nggak berinisiatif sama
sekali untk nelpon pihak yang berwajib buat nyelamatin si Kitty.
Akhirnya, tahun 1968 dua orang psikolog; Bibb
Latane sama John Darley ngelakuin sebuah penelitian, dan menurut gue metode
penelitian mereka itu KEREN BANGETTT NGETTTT NGETTT. Jadi, mereka ngadain studi
penelitian sama mahasiswa, awal mulanya mahasiswa disuguhkan diskusi dua arah
(dia dan satu orang lawan bicara), terus mahasiswa yang lain disuguhkan diskusi
kelompok (dia dan lima orang lawan bicara). Habis itu variable kontrolnya
adalah jumlah mahasiswa sama suara pra-rekaman lawan bicara yang lagi kumat epilepsi
. Dan respon yang dijadikan bahan analisis mereka adalah durasi waktu yang
dibutuhkan mahasiswa untuk nyari bantuan (mulai dari bangkit dari duduk, terus
lari buat ninggalin ruangan, sampe nyari peneliti buat ngasih tau ada yang lagi
kumat epilepsi).
Dari penelitian yang dikasih judul Bystander
Apathy Experiment ini, si Bibb dan John akhirnya menyimpulkan bahwa ketika orang-orang
nongki di sebuah grup yang berisi lebih dari 6 orang, maka cuman 31% dari
mereka yang bakal nolong. Tapi, ketika mereka sendirian, ada 75% dari mereka yang
bakal nolong. Menurut mereka hal ini menunjukan adanya difusi tanggung jawab
yang mengakibatkan hilangnya rasa tanggung jawab untuk menolong akibat
keberadaan orang lain yang berdampak pada munculnya sikap diam. Mereka ngerasa bahwa
apa yang terjadi meskipun mereka tau, masalah itu bukanlah tanggung jawab
mereka dan masih banyak orang-orang selain mereka yang bakal ngebantu.
Baru deh
dari penelitian si Bibb ama John itu, gue jadi nemu alasan paling masuk akal
sama diri manusia terutama sama para saksi kasus si Kitty. Dari penelitian itu
juga, gue jadi sadar bahwa gue tidak bisa memberikan judgement dan
menjustifikasi bahwa orang-orang yang menyaksikan peristiwa kejahatan, asusila,
atau sejenisnya adalah orang-orang jahat. Karena itu adalah sisi lain manusia,
yang menurut gue juga pasti gue punya.
Cuman,
jujur, gue sangat tidak mentoleran sikap apatis semacam difusi tanggung jawab
kayak gitu. Karena menurut gue, zaman sekarang dengan tuntutan yang sangat
banyak dari berbagai tajuk global (such as Revolusi Industri 4.0, SDGs, dan
Generasi Emas Indonesia 2045), kita musti kreatif; ingat ya kreatif itu lahir
dari inisiatif. Nggak perlu nunggu orang lain untuk memberikan bantuan cuman karena
takut dicap superhero atau pahlawan kesiangan.
Bystander
effect; menurut gue adalah efek psikologis di mana orang cuman mau berperan
sebagai pengamat doang; ogah buat jadi penolong, penggiat, penggerak, etc.,
sejatinya nggak cuman melulu sama kasus kriminal atau kasus-kasus hukum doang. Tanpa
kita sadari, grup medsos kita yang beragam jenis itu ternyata juga bisa membuat
kita kena Bystander effect.
Jadi,
gini, gue pernah ngalamin satu kejadian waktu krs-an. Gue waktu itu terkendala
sama kuota peserta matakuliah. Terus di grup yang gue punya, ternyata ada juga
temen gue yang terkendala sama halnya dengan gue. And then akhirnya dia ngasih
tau kendala dia di grup, she said kuota matkulnya full, terus dia nggak bisa
ngambil matkul, terus juga dia nanya soal kelas-kelas matakuliah. Dan di saat
itu nggak ada satu orang pun yang respon, termasuk gue.
Sepuluh menit
berlalu, di malam yang sama akhirnya dia chat gue di medsos yang lain. Dan di
saat itu gue sadar betul bahwa ketika gue berinteraksi secara langsung sama dia
di platform chat kita, gue tanpa pikir panjang langsung buka chat dan
ngejelasin gimana solusi buat permasalahan yang dia hadapi. Gue jadi nanya “Lah, kok gue ikut-ikutan bystander gitu,
sih?”
Dari situ,
gue belajar bahwa gue nggak bisa jadi orang yang kayak gitu, gue nggak boleh
jadi orang yang kayak gitu. Percuma kalo gue tahu, tapi nggak ngasih tahu dia
bahkan berharap ada orang lain yang bakal ngasih tau. It’s gotta be useless.
And today,
dia nanya tentang libur atau tidaknya matkul kelas gue hari ini. Detik itu juga
ketika ngidupin data seluler gue, dan notif chat dia masuk, gue buru-buru
langsung ngasih respon ke dia. Dan waktu gue liat chat dia, emang sih dia nanya
udah larut banget. Tapi, gue yakin, bahwa paginya sebelum gue idupin datsel
gue, pasti ada member di grup gue yang udah read chat dia tapi nggak ngasih
respon.
Well, gue
nggak bilang itu sebagai suatu hal yang jahat. Cuman sikap itu mencerminkan
gimana kita di masa sekarang. Membatasi diri kita untuk menjadi orang yang
nggak banyak mikir (bantu apa nggak), jadi orang yang nggak banyak harapan
(tolong dong, si A bantu si B), nggak banyak ngomen (Itu ada orang kecelakaan,
bukannya ditolongin malah direkam). Kalo menurut gue hal itu terjadi karena
kita hidup dengan membagi golongan kelompok berdasarkan “lo bukan bagian dari geng gue, jadi jangan ngikut-ngikut.” atau berdasarkan
“Duh, gue tuh nggak bisa collab sama dia,
jadi tolong, ya kita jangan digabungin.” or depend on intelektual, atau keuangan, atau
apapun itu.
Mungkin buat beberapa orang, ini biasa aja. Tapi, dengan mengkotak-kotakan manusia berdasarkan apapun itu, sama aja kita membuat kasta di sistem masyarakat kita sendiri. Seolah-olah kita yang punya kendali dan kekuasaan segede gaban.
Mungkin
gue juga masih membiaskan diri untuk tidak jadi orang apatis, bersikap layaknya
seorang manusia sosial sembari mengingat
hukum aksi reaksi Newton. Membuka otak dan akal pikiran gue bahwa untuk merespon
suatu kejadian, situasi, pertanyaan, dan hal-hal yang emang butuh jawaban dan
bantuan; gue tidak harus menunggu orang lain.
Karena kita
harus memaksa diri kita untuk melakukan sesuatu yang kita harap akan dilakukan
oleh orang lain.
Belajar menjadi
dewasa meski dengan cara yang amat sederhana.
Sampai ketemu
di postingan bulan ketiga.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus